5: Berjanji

3K 588 124
                                    

Happy reading!

***

Berisik. Satu kata yang sangat mewakili kondisi apartemen [Name] saat ini. Dia memang sangat senang dan bersyukur bisa kembali ke masa lalu dan berkesempatan merubah kembali dirinya. Namun, dia tak senang jika harus kembali merasakan ketidak harmonisan keluarganya.

Dulu di lintas waktu murni, setiap pagi tiada hari tanpa kedua orang tuanya yang berselisih. Tak lupa juga dengan dirinya yang tiada hari tanpa disalahkan. Lalu di lintas waktu saat ini pun dirinya kembali merasakannya. Merasakan posisi tertidak nyamannya.

Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Hal itu lah yang terus [Name] lakukan selama duduk di meja makan. Tidak ada kehangatan di sini. Hanya ada suara berisik dari sang ibu yang sedang mengomel perihal tagihan listrik dan dirinya yang pulang larut dengan keadaan memar semalam.

"Aku lelah seperti ini! Kalian berdua tidak ada yang beres satu pun!" omel Takara, ibunya. "Punya suami seperti lupa diri, memberi uang bulanan tidak stabil. Punya anak perempuan sangat bodoh karena ikut-ikutan geng-geng tidak jelas. Apa kau tidak bisa mencontoh Miya, [Name]? Malam hari dia belajar, bukannya berkelahi. Kau mau jadi apa? Mau jadi seperti ayahmu?!"

Terlalu blak-blakan sehingga membuat [Name] melirik sang ayah. Ayahnya yang bernama depankan Wataru tersebut hanya diam dengan wajah datarnya. Seperti sudah terbiasa dengan omelan pagi sang istri yang menyelekit.

"Apa kalian tidak bosan seperti ini? Setidaknya berguna lah untukku! Aku capek mengurus semuanya!" Takara terlihat geram dengan [Name] dan Wataru yang tetap diam untuk semua omelannya pagi ini.

Dulu di lintas waktu murni, ketika Takara mengomel seperti itu sering kali membuat [Name] menyahutinya dan membalas kalimat tak pantas ibunya dengan kalimat yang lebih tak pantas untuk diucapkan. Namun, dengan jiwa menjelang 27 tahun yang berada di raga menjelang 15 tahunnya membuat [Name] bisa sedikit lebih tenang.

Dari pada membalas perkataan sang ibu lebih baik [Name] tetap diam karena tak akan ada habisnya berdebat dengan ibunya.

"Aku juga sudah berapa kali bilang padamu, Suamiku, kalau memakai barang elektronik itu secukupnya saja. Tagihan listrik sedang naik sekarang!" Takara masih mengomel sembari menyajikan sarapan untuk keluarganya terkecuali [Name].

Tak pernah [Name] ingat Takara mau menyajikan sarapan untuknya dan hal tersebut sering kali membuat [Name] merasa tak diadili. Terpaksa mengambil sarapan sendiri, ketika tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan sang ibu membuat [Name] tak bergerak dari tempat duduknya seketika.

Memakan sarapan Takara membuat [Name] mengingat dengan kejahatannya di masa depan. Memejamkan kedua matanya, [Name] kembali menarik diri untuk duduk. Menghela nafas panjang dan sekarang [Name] sudah tak bernafsu untuk makan.

Bayang-bayang bagaimana dirinya memasak dan memakan ibunya di masa depan masih tergambar jelas. Terlebih dengan ayahnya yang juga ia buat senasib. Pengaruh obat-obatan terlarang dan kondisi mental yang tak baik benar-benar menghantarkan [Name] pada lingkaran hitam dunia.

Hukuman mati adalah hukuman yang tepat untuk [Name] dan dia sendiri tidak tahu apakah kesempatan yang ia dapat kali ini baik atau tidak. Rasanya, kembali menikmati masa lalunya juga bukanlah hal yang baik.

"Kau mau kemana?"

Pergerakan [Name] yang mengangkat tubuhnya dari atas kursi terhenti. Dia menoleh, menatap Miya sang kembaran yang duduk di sebelahnya dengan tatapan kelamnya. "Ke sekolah," sahut [Name] sekenannya.

"Lihat. Anak tak tau diri ini mau pergi ke sekolahnya tanpa menghabiskan sarapan yang sudah aku buat." Takara kembali melemparkan kalimatnya sehingga membuat [Name] memejamkan kedua matanya.

𝐂𝐇𝐀𝐍𝐂𝐄 || Tokyo Revengers ➖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang