Chapter 9

6.6K 827 123
                                    

Pagi masihlah dingin, sedingin sikap Arga yang semakin menjadi. Hujan mengguyur deras seakan menahan orang-orang untuk beraktivitas. Pria itu kembali pada kebiasaannya, mengabaikan pakaian yang telah disiapkan Keyara. Ia pilih sendiri kemeja dan dasi yang ia suka. Bahkan, ia selalu menghindari kontak mata dengan istrinya.

Kesabaran Keyara kembali diuji. Ia tahu, pernikahannya tak akan bisa diselamatkan dan ia pun memilih untuk berpisah. Ia tengah menguatkan hati. Sering pula merangkai kata dalam benak untuk mengutarakan kejujurannya pada Sang Mertua. Pernikahan yang terlihat sempurna di mata mertuanya ini nyatanya menorehkan banyak luka. Layaknya kain yang berlubang di banyak tempat, tak akan ada yang mampu menutup jika tak ada yang menambal. Bahkan jika hanya ada satu hati yang  berjuang untuk menambal, semua tak akan lagi bisa tampak indah. Mencintai dari satu pihak itu menyakitkan.

Keyara mematut diri di cermin, merapikan bajunya. Sedangkan Arga merapikan kemejanya sendiri. Sesekali ia melirik Sang Istri, mencermati kembali penampilan istrinya yang kian hari semakin rapi. Tak ada lagi tatapan polos yang pasrah seperti dulu. Ia tampak lebih percaya diri dengan pendar mata yang tajam dan penuh kekuatan.

"Setiap hari semakin rapi, wajar kalau aku curiga kamu dan Andra ada sesuatu." Arga tak tahan juga untuk mengomentari penampilan Keyara. Ketika Keyara menolehnya, Arga kembali membuang muka. Ia alihkan tatapannya pada bayangannya yang memantul di cermin.

"Apa tidak ada pembahasan lain?" tanya Keyara singkat. Ia menatap Arga lebih tajam dari biasanya.

Arga balas menatap balik Keyara. Wajahnya dingin. Ia kembali mencari tatapan sendu Keyara yang seakan memohon belas kasih darinya. Tatapan yang mengharapkan cinta. Kini semua seperti terenggut begitu saja. Tak ada lagi jejak-jejak mendamba seperti yang sering wanita itu tunjukkan. Apa Keyara tak lagi mencintainya?

"Aku hanya ingin memastikan. Jika memang kalian ada hubungan, tak perlu ditutupi."

Keyara tersenyum miring. Seharusnya ia yang curiga jika Arga dan Mutia menjalin hubungan mengingat keduanya masih menyimpan rasa.

"Kenapa? Bukankah Mas nggak peduli dengan apa pun yang aku lakukan? Aku cukup punya malu dan harga diri. Meski aku nggak dianggap istri, aku tetap memosisikan diri aku sebagai wanita bersuami. Harusnya aku yang curiga sama Mas Arga. Mas Arga dan Mutia masih saling mencintai."

Arga tercekat. Ia tak menyangka jika Keyara kini selalu berani membalas ucapannya. Ia sengaja tak membalas ucapan Keyara kali ini untuk menyiksa perasaan Keyara. Ia biarkan Keyara dengan prasangkanya semata untuk mencari tahu apa masih ada kecemburuan di hati wanita itu.

Melihat Arga mematung, Keyara berjalan melewati laki-laki itu. Melihat Keyara datar dan tak bereaksi, Arga gregetan sendiri. Ia tarik tangan Keyara kasar hingga tubuh istrinya menyentuh tubuhnya. Tanpa menunggu reaksi Keyara, Arga mencumbu bibir wanita itu dengan begitu rakus seolah tengah menunggu momen ini sekian lama. Keyara sedikit memberontak, tapi pelukan ketat Sang Suami benar-benar melumpuhkannya. Napas terdengar naik turun, saling berkejaran. Arga tak mau melewatkan kesempatan. Ia terus saja memagut bibir Keyara tak peduli istrinya kewalahan untuk menetralkan napasnya yang masih memburu. Di sisi lain Keyara tak bisa memungkiri jika ia pun menikmati ciuman yang tiba-tiba itu.

Arga melepas ciumannya setelah ia butuh menghirup oksigen dengan lebih leluasa untuk mengatur napas. Keduanya saling menatap dengan napas yang masih terengah-engah. Keyara menatap Arga dengan pandangan bertanya, kenapa laki-laki itu seolah menginginkannya di saat perpisahan itu semakin dekat. Arga pun menatap lekat Keyara dengan berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri untuk tak menyentuh wanita itu lebih intim meski godaan itu semakin menguat. Rintik hujan menjadi satu-satunya sumber suara yang memecah kesunyian.

"Aku yakin sampai di sekolah nanti, ciumanku akan terus membekas. Setidaknya ini akan membantumu mengontrol tindakanmu setiap kali bertemu Andra dan masih mengingat akan statusmu yang sudah bersuami." Arga menatap Keyara tajam, tanpa senyum, tanpa rasa terima kasih karena ia pun begitu menikmati momen panas barusan. Jika tak ingat akan gengsi dan jarum jam yang semakin bergeser, mungkin Arga sudah melanjutkan aktivitas itu ke sesuatu yang lebih intim.

Behind the TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang