Berikan satu alasan kenapa kalian ingin cerita ini tetap lanjut?
Jujur kadang insecure kalau lihat lapak tulisan penulis lain yang ramai komentar dari pembaca. Sejak hiatus lama memang lapak jadi lebih sepi, komen n vote tidak sebanyak dulu. Pembaca aktif juga lebih sedikit. Kadang berpikir untuk berhenti nulis, tapi berat ninggalin hobi yang sudah sejak lama digeluti. Makasih utk yang masih terus support.Happy reading
Mutia tak bisa memungkiri jika dia jauh lebih bahagia dan lebih banyak tertawa setelah menerima Alvin menjadi bagian dari hidupnya, tapi menikah adalah sesuatu yang belum ia pikirkan dalam waktu dekat.
Banyak ketakutan yang Mutia rasakan. Ia merasa belum begitu mengenal Alvin. Memang selama berpacaran, Alvin begitu baik dan perhatian. Laki-laki itu tak pernah berkata kasar dan sering kali mengalah menghadapi keegoannya. Laki-laki itu bisa bertahan kendati Mutia kerap bersikap manja dan absurd. Mutia takut jika menikah nanti, sikap Alvin akan berubah dan tidak semanis saat masih pacaran.
"Mutia, apa kamu sudah siap menikah? Aku menunggu kesiapanmu."
Mutia masih membisu. Di satu sisi ia pun ingin merasakan bagaimana rasanya membangun rumah tangga dan memiliki seseorang yang akan menghabiskan seumur hidup dengannya. Namun, di sisi lain banyak ketakutan mendera.
"Aku takut kamu akan berubah jika nanti kita menikah. Siapa yang bisa menjamin rasa cinta akan bertahan sepanjang pernikahan? Bagaimana jika kamu nanti bosan denganku? Lalu kamu mencari pelarian di luar. Kamu selingkuh di belakangku atau kamu menyembunyikan banyak kebohongan."
Alvin melongo sekian detik. "Kenapa kamu berpikir sejauh ini? Berpikir sesuatu yang negatif dan belum terjadi. Kalau kamu berpikir buruk seperti ini, sampai kapan pun kamu akan takut menikah."
Mutia beranjak dan melangkah mendekat ke arah tirai. Ia menerawang ke arah luar jendela dari celah sempit. Alvin mengikutinya. Ia mematung di belakang gadis itu.
"Kamu masih meragukanku?"
Pertanyaan Alvin membuat Mutia tersentak. Ia berbalik dan menatap Alvin tanpa ekspresi.
"Wajar jika aku ragu. Mungkin saja kamu mau menikahiku karena sudah telanjur tidur denganku. Dan sebagai gadis yang masih memandang bahwa menjaga kesucian sebelum menikah adalah hal krusial, aku merasa sangat bersalah karena malam itu aku nggak bisa mengontrol diri. Tapi aku nggak bisa terus berlarut menyalahkan diri. Aku belajar untuk menerimamu. Tapi ketakutan menikah itu kadang muncul."
Alvin mencerna baik-baik penuturan Mutia dan ia mencoba memahaminya. Kini dalam benaknya bergelut sebuah pilihan. Ia berpikir sudah saatnya untuk jujur pada Mutia bahwa tidak terjadi sesuatu yang lebih pada malam itu. Ia tidak mereguk kesucian Mutia. Namun, ia juga tahu risiko dari kejujurannya, mungkin bisa saja membuatnya kehilangan Mutia. Mutia merasa dibohongi lalu meninggalkannya.
"Mutia, aku ingin jujur satu hal."
Mutia mengernyitkan dahi. Ditatapnya wajah Alvin yang seolah menyiratkan kepanikan.
"Jujur soal apa?"
Alvin mengembuskan napas. Ia berharap Mutia bisa menerimanya dan tetap bersedia menikah dengannya setelah tahu fakta yang sebenarnya.
"Sebenarnya malam itu tidak terjadi sesuatu yang lebih. Ya, kita memang bermesraan, ciuman, pelukan, tapi aku nggak sampai hati melakukan sesuatu yang lebih. Apalagi kamu juga sedang berada di bawah pengaruh alkohol. Aku tidak sebejat itu. Aku tidak ingin merusakmu. Kamu tidak punya beban apa pun Mutia dan mungkin setelah ini, kamu akan meninggalkanku." Alvin sedikit mengangguk. Ia akui ia benar-benar jatuh cinta pada Mutia. Namun, ia tak akan menahan wanita itu. Jika wanita itu memutuskan untuk menyudahi hubungan, ia siap.
Mutia terperangah mendengarnya. Selama ini ia menganggap dirinya sudah tak suci dan tak pernah berpikir untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lain karena aib itu membebani langkahnya. Sekarang Alvin mengatakan realita yang sebenarnya. Ia masih suci dan tak memiliki keterikatan apa pun dengan Alvin. Ia bisa memilih pergi jika ia mau. Namun, rasanya berat jika harus menyudahi hubungannya dengan Alvin. Mutia terlanjur merasa nyaman dan mulai tergantung dengan keberadaan Alvin.
Mutia terlalu gengsi untuk mengakui jika ia lebih takut kehilangan Alvin. Ia ingin Alvin tetap bertahan di sisinya. Ia memikirkan kata-kata yang tepat, yang tidak akan mengesankan jika ia membutuhkan Alvin. Ia merasa lega dan berterima kasih karena laki-laki itu bisa mengendalikan diri dan tidak mengambil sesuatu yang belum menjadi haknya. Ia semakin yakin jika Alvin memang laki-laki yang baik untuknya.
"Terima kasih untuk kejujuranmu, Alvin. Aku nggak akan mundur. Kamu memang tidak mengambil keperawananku, tapi kamu udah lihat aku tanpa baju. Kamu udah mencuri banyak ciuman dari bibirku, dari tubuhku. Kamu jangan lupakan itu. Jadi kamu harus tetap bertanggung jawab." Mutia sedikit terbata. Beberapa kali ia bahkan memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rasa malunya.
Alvin sedikit bengong. Apa itu artinya Mutia tidak mau melepaskannya dan juga tak ingin pergi darinya?
"Ya, sedari awal aku memang mau bertanggung jawab. Tapi aku ingin menikahimu bukan semata untuk tanggung jawab. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Aku sayang kamu. Aku ingin kita menikah dan menjalani hidup bersama."
Mutia mencoba memaknai sinar yang berpendar dari kedua mata Alvin. Ia mencoba mencari tahu, apa benar-benar ada ketulusan di dalamnya?
"Jadi, aku tanya sekali lagi, apa kamu mau menikah denganku?" Alvin menatap Mutia lekat, "singkirkan semua ketakutanmu. Aku butuh kamu untuk sama-sama belajar saling memahami dan menjaga cinta hingga akhir."
Mutia membisu. Ia pandangi wajah garang Alvin yang tak sejalan dengan hatinya yang lembut. Mutia mengangguk. "Ya, aku bersedia."
Alvin tersenyum lembut. Ia bopong tubuh Mutia dan berputar satu kali. Keduanya tertawa. Alvin menurunkan tubuh Mutia dan kembali menatapnya lebih dalam. Ia menangkup pipi Mutia dengan kedua telapak tangannya.
"Makasih, Sayang." Alvin menyapu bibir Mutia dengan bibirnya. Ciuman hangat itu terasa semakin bermakna dan menguatkan perasaan yang sebelumnya dilanda keraguan.
******
Keyara tersenyum lebar kala dua garis merah tercetak jelas di testpack yang ia pegang. Tak terasa air mata menetes pelan. Arga berjalan menuju arahnya.
"Gimana hasilnya, Sayang?"
Keyara menunjukkan testpack itu di hadapan wajah Arga.
"Garis dua, Sayang. Aku hamil." Keyara tersenyum senang. Kali ini senyum itu dibarengi dengan rasa haru dan linangan air mata yang terus berjatuhan.
Segaris senyum pun tertambat di kedua sudut bibir Arga. Ia bahagia melihatnya. Kehadiran buah hati dalam rahim Sang Istri memang sudah ia idamkan.
"Alhamdulillah, Sayang. Aku seneng banget. Nanti aku anter kamu periksa ya untuk memastikan dan aku ingin tahu apa anak kita baik-baik saja di sini." Arga mengusap perut Keyara masih dengan sorot mata yang berkaca.
"Iya, Mas. Alhamdulillah, semoga bayi kita sehat-sehat di dalam dan diberikan kelancaran sampai nanti melahirkan."
"Aamiin. Kamu nggak boleh capek-capek, harus makan yang bergizi. Pokoknya aku akan jagain kamu dan anak kita." Arga menundukkan badannya lalu mendaratkan kecupan di perut Keyara.
Keyara tersenyum sekali lagi. "Makasih, Sayang. Nanti kita ke rumah Bunda, ya. Kita kasih tahu Ayah dan Bunda."
"Mereka pasti bahagia banget." Arga masih tersenyum. Ia memeluk Keyara dengan rasa cinta yang semakin kuat.
Keyara menyandarkan kepalanya di dada Arga dan tersenyum lembut. Ia memejamkan mata dan berterima kasih atas segala anugerah yang sudah diberikan Tuhan padanya.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Tears
RomanceKeyara Ravata di masa lalu adalah gadis yang paling dibenci, pelaku bullying, semena-mena, dan berkuasa. Hingga peristiwa pahit memutarbalikkan keadaan. Kehidupannya yang serba sempurna runtuh dalam sekejap. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecela...