Chapter 11

7.3K 920 93
                                    

Keyara mengerjap. Ia memandang lepas pada selimut yang membungkus tubuhnya. Selimut yang juga menutup tubuh Arga yang terbaring di sebelahnya. Tentu ia tak lupa pada momen indah sekaligus panas yang belum pernah terjadi selama pernikahan mereka. Jejak-jejak gairah Arga masih tercetak di bagian-bagian tubuhnya dan ia juga mendapatkan jejak yang sama di bagian tubuh suaminya. Sejenak ia berpikir, entah bagaimana mereka melakukannya semalam. Segala perselisihan dan dinginnya hubungan yang selama ini mewarnai, semalam seolah lebur, benar-benar lebur.

Keyara seperti melihat Arga dalam sosok yang berbeda. Wajah dingin itu tak ada lagi. Gurat kekesalan dan kemarahan yang sering kali terpendam di balik datarnya ekspresi Arga juga sama sekali tak tampak. Laki-laki itu memperlakukannya begitu lembut dan ia merasa begitu digilai.

Tak ada satu pun bagian tubuhnya yang lolos dari jari-jari Arga ketika menjamah dengan lembut, layaknya sapuan yang hadirkan gelenyar aneh dengan getaran membara dari setiap desahan. Kecupan yang jua mendarat sempurna di segala sisi, embusan napas Arga yang begitu lembut di telinganya, dan desah Arga yang berkali-kali ia dengar, semua seakan mengacaukan pikiran Keyara pagi buta ini. Antara percaya atau tidak, gunung es itu mencair hanya dalam semalam.

Keyara hendak beranjak, tapi ia menyadari jika tubuhnya benar-benar polos tanpa sehelai benang. Diliriknya Arga yang masih terpejam. Ia melangkah pelan menuju kamar mandi, takut membangunkan Arga.

Arga mengerjap kala mendengar gemericik air dari kamar mandi. Matanya mengarah pada selimut yang kosong tanpa Keyara di sebelahnya. Ia tahu Sang Istri tengah membersihkan diri di kamar mandi. Ia menyingkap selimut itu lalu tampak olehnya satu bercak kemerahan di atas sprei. Arga tersenyum tipis. Keyara memang benar-benar masih suci sebelum ia koyak hartanya yang paling berharga, harta yang memang sudah menjadi haknya. Sekian lama hanya bisa berfantasi tentang indahnya malam panas antar laki-laki dan perempuan, malam ini ia benar-benar merasakannya. Benar-benar luar biasa.

Momen sarapan menjadi lebih tenang dari biasanya. Arimbi bersepeda pagi sehingga tidak bisa ikut sarapan bersama putra dan menantunya.

Dua insan saling berhadapan dengan sikap yang kaku, lebih sungkan dibandingkan sebelumnya, dan sesekali netra itu saling memandang. Namun, saat menyadari muara pandangan masing-masing, dua-duanya sedikit salah tingkah. Rasa-rasanya semua terasa lebih asing dari biasanya. Lupa pada malam panas yang menyatukan mereka dan   mengantarkan pada sensasi asing, tapi mampu menghanyutkan sekaligus menerbangkan pada puncak kenikmatan.

"Aku siapkan bekal, ya." Keyara memulai percakapan meski dadanya masih berdebar tak karuan. Satu hal krusial yang ia jaga telah terenggut dengan jalan yang sudah semestinya. Bukan suatu kesalahan, tentu saja. Ini bentuk ketaatannya pada suami. Namun, ia juga memikirkan jika perpisahan itu benar-benar terjadi. Jauh di lubuk hati ia ingin Arga tetap di sisi.

Arga terperanjat mendengar pernyataan Keyara, sementara pikirannya masih berkelana pada jejak-jejak sensasi semalam yang masih terasa. Pria itu mengangguk.

"Makasih," balas Arga singkat.

Satu kata yang begitu bermakna. Mungkin ini pertama kali Arga berterima kasih padanya untuk satu hal sederhana.

Keyara mengambil kotak bekal dan mulai menata nasi serta lauk. Arga terpaku menatap gerak cekatan Keyara. Ada banyak kata yang ingin terucap, tapi semua seolah teredam keheningan.

"Hari ini aku akan mengantarmu, sekalian aku berangkat," ujar Arga seraya menatap Keyara yang tengah menutup kotak bekal.

Keyara menoleh ke arah Arga. "Aku berangkat sendiri saja. Pulangnya aku mau mampir ke kantor komunitas. Kalau bawa motor sendiri, akan lebih mudah dan menghemat waktu."

"Apa kamu perlu mobil?" tanya Arga kemudian.

Keyara menggeleng. "Aku kurang cakap menyetir mobil."

Behind the TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang