Chapter 20

4.1K 370 43
                                    

Mutia mengerjap. Ia masih merasa sedikit pusing. Ia amati sekeliling ruangan dan ia paham, ini bukan kamar hotel yang ia sewa. Ia kaget melihat sosok yang terbaring di sebelahnya tanpa pakaian. Lebih terkejut lagi ketika ia menyadari bahwa tubuhnya pun polos dan hanya terbungkus selimut.

Mutia kaget bulan kepalang mengetahui pria yang bersamanya adalah Alvin, laki-laki yang ia benci dan penghalang yang akan mengacaukan rencananya.

"Ngapain kamu di sini?" Mutia bicara keras dan menatap Alvin yang masih terpejam.

Laki-laki yang bertato di lengan itu perlahan membuka mata. Ia menatap Mutia dengan wajah yang datar.

"Apa kamu lupa semalam? Kamu mabuk dan hampir dilecehkan temanmu di club. Aku bawa kamu ke sini. Dan kamu agresif banget semalam. Jadi ini bukan salahku. Kita menghabiskan malam bersama atas dasar suka sama suka." Alvin duduk dan menanggapi Mutia dengan santai. Sementara, wajah Mutia berubah merah padam.

"Kurang ajar kamu! Brengsek! Kamu manfaatin keadaanku yang lagi mabuk dan nggak sadar." Mutia melempar satu bantal ke wajah Alvin. Ia geram bukan main. Ingin ia cekik Alvin saat itu juga.

"Aku nggak memanfaatkan keadaan. Semalam kamu minta disentuh. Laki-laki mana ada yang menolak." Alvin berusaha tenang meski jauh dalam hati ada rasa tak tega menutupi kejadian yang sebenarnya. Dia tak sampai hati merampas kehormatan Mutia atau perempuan-perempuan lain. Meski ia akui salah karena sempat lupa diri bermesraan dengan Mutia meski tak sampai pada permainan inti. Setidaknya keangkuhan Mutia akan sedikit terbungkam.

Melihat tubuh Mutia yang hanya terbalut selimut ingatkan kembali akan sensasi panas semalam yang masih terngiang dalam benak Alvin. Entah kenapa ada ketertarikan pada gadis itu. Mungkin jika Mutia tetap pada prasangkanya, gadis itu akan terikat padanya.

"Dasar brengsek! Harusnya kamu tahan diri. Aku sedang mabuk dan tak sadar, harusnya kamu tahan diri. Ini sama saja kamu sengaja ngancurin hidupku! Brengsek!" Mutia mencoba memukul Alvin dengan kedua tangannya, tapi Alvin menepisnya.

Alvin semakin sulit mengendalikan gerak Mutia yang tiba-tiba brutal. Ia baringkan tubuh Mutia dengan kedua tangannya yang masih menahan tangan Mutia. Alvin berada di atas tubuh Mutia dan berusaha menguasai gadis itu agar tak lagi menyerangnya.

"Semua sudah terlanjur terjadi. Mau kamu apa?" tanya Alvin tegas.

"Aku masih perawan, Bego!!! Dan semalam kamu mereguk paksa!" Mutia berteriak, tapi kemudian suaranya melemah dan terisak.

Alvin terkejut dan tak menyangka jika Mutia benar-benar masih perawan, sesuatu yang rasanya mustahil dipertahankan gadis yang terkadang terlihat liar itu. Ia bersyukur semalam ia mampu menahan diri. Melihat Mutia menangis percikkan rasa iba dan ia melemahkan genggamannya.

"Okay, aku akan bertanggung jawab," ucap Alvin sembari menatap Mutia yang masih terbaring dengan air mata yang terus berlinang.

Mutia masih saja menangis. Ia berpikir, tanggung jawab seperti apa? Menikahinya? Sama sekali tak terbayangkan jika ia harus menikah dengan Alvin, laki-laki bertato dan tampak seperti mafia jahat. Mungkin ia sedikit mewarisi ketampanan ayahnya, sama seperti Arga yang juga mewarisi ketampanan ayahnya, tapi Alvin sama sekali bukan tipe laki-laki yang disukai Mutia. Bagaimana bisa ia menikah dengan Alvin jika Mutia tak mencintainya. Sedangkan jika ia menikah dengan laki-laki lain, apa akan ada laki-laki yang menerimanya dengan aib masa lalu? Semua orang segan padanya dan menganggapnya perempuan cerdas, beretika, serta berkelas. Bagaimana jika statusnya yang tak lagi perawan akan dianggap sebagai aib tak termaafkan oleh suaminya kelak? Ia masih memiliki setitik harapan untuk kembali bersama Arga. Bagaimana jika laki-laki itu tahu dirinya bermain gila dengan Alvin?

"Kenakan kembali pakaianmu. Setelah ini kita cari sarapan." Alvin bangun dari posisinya perlahan.

Mutia melirik seonggok baju yang tergeletak di lantai. Ia duduk dengan mata yang masih sembab bahkan ia tak peduli bagian atas tubuhnya terekspos dan Alvin bisa melihat seluruhnya. Apa yang perlu ditutupi lagi, Alvin sudah merampas semuanya.

"Aku mau balik ke Jakarta," ucap Mutia datar. Ia melirik ke arah Alvin. Hingga detik ini ia masih membenci Alvin. Namun, tawarannya untuk bertanggung jawab mungkin tidak sebaiknya ia tolak.

"Bagaimana kalau aku hamil?" Mata Mutia melotot. Ia bertambah stres dan takut jika harus hamil di luar nikah dengan seseorang yang tak ia harapkan.

"Aku akan bertanggung jawab, entah kamu hamil atau nggak." Alvin menegaskan kata-katanya sekali lagi.

Mutia tak menjawab. Ingin marah pun percuma. Semua amarahnya tak akan mampu mengembalikan apa yang sudah hilang.

******

Keyara mengembuskan napas lega setelah kembali ke rumahnya yang selalu membuat rindu kala jauh. Arga pun lega meski masih enggan untuk kembali bekerja. Honeymoon singkatnya bersama Keyara di Bali terasa begitu berkesan. Setidaknya meluangkan waktu sibuknya untuk berlibur telah mengisi kembali energi yang dulu terforsir untuk bekerja.

Keyara mengambil sebotol air dari dalam kulkas lalu menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia mengamati Arga yang tengah menerima panggilan telepon. Seusai berbincang di telepon, Arga mendekat ke arah istrinya.

"Key, Ayah pulang dari Australia, jadi Bunda mengundang kita makan malam di rumah."

Keyara tersenyum. "Okay, Mas. Aku juga kangen sama Bunda. Sekalian kita bawa oleh-oleh untuk Ayah dan Bunda."

Arga mengangguk pelan. "Mandi, yuk."

Keyara menyipitkan matanya. "Mandi bareng?"

Arga tersenyum lebar. "Iya, lah. Kayak di hotel kemarin, kita mandi bareng terus."

Keyara tertawa kecil. "Yang kemarin belum puas ya, Mas?"

Arga memeluk pinggang Keyara dan menyatukan keningnya dengan kening istrinya.

"Belum, waktu selalu terasa singkat kalau sama kamu. Pingin lebih lama lagi berduaan sama kamu." Arga mengangkat dagu Keyara dan mengecup bibirnya lembut. Kecupan yang terlalu singkat untuk dilewatkan, kecupan yang berubah menjadi lebih dalam dan menuntut.

Arga mengangkat tubuh Keyara dan wanita itu refleks melingkarkan kakinya pada pinggang suaminya. Mereka kembali berciuman hingga keduanya menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi, mandi bersama diiringi dengan kemesraan yang rasanya tak pernah bosan untuk mereka ulang.

******

Malam ini Arimbi menyiapkan masakan spesial untuk menyambut kedua putranya, Arga dan Alvin. Sudah lama ia tak berkumpul dengan semua anggota keluarga. Kepulangan suaminya dari Australia membuat rencananya berjalan mudah untuk mempertemukan semua anggota keluarga.

Arimbi bahagia melihat Arga semakin mesra dengan Keyara. Ia berharap Alvin pun akan menyusul Sang Kakak, bertemu dengan wanita yang baik dan menikah.

Suasana yang awalnya ramai dengan gelak tawa seketika meredup kala derap langkah Alvin memasuki ruangan dengan menggandeng seorang perempuan.

Arga terkejut, begitu juga dengan Keyara. Mereka bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Alvin dan Mutia?

Arimbi pun terkejut melihat kedatangan Alvin bersama Mutia, pasalnya Alvin tak memberi tahu sebelumnya bahwa ia akan datang bersama Mutia.

"Malam Ayah, Bunda, Kak Arga, dan Kak Key. Malam ini aku ingin mengenalkan seseorang, yang pastinya kalian juga sudah mengenalnya. Tapi malam ini aku akan mengenalkan Mutia sebagai pacar Alvin." Alvin melirik Mutia dan tersenyum.

Mutia mengulas senyum, senyum termanis yang ia mampu. Meski tidak bisa memiliki Arga, setidaknya ia tetap bisa menjadi bagian dari keluarga Dirgantara. Matanya menatap Arga tajam. Ia berpikir, mungkin masih ada kesempatan memiliki laki-laki itu. Namun, ia tahan diri untuk tidak memperhatikan Arga lebih dalam. Saat ini ia hanya perlu fokus pada Alvin, sebagai "pacar dan calon suami".

Rasanya Arga kehilangan selera makan. Bukan lantaran cemburu, ia tak cemburu dan pastikan tak lagi ada cinta untuk Mutia. Ia hanya tak mengerti, di antara sekian banyak laki-laki kenapa harus Alvin yang Mutia pilih? Ia tak mau berprasangka buruk, tapi entah kenapa sulit baginya melihat Mutia sebagai wanita polos dan tulus setelah ia tahu karakter asli wanita itu.

******

Lanjut gak? 😁



Behind the TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang