BAB 23 || Teori Cinta Qinara ||

5 2 0
                                    

°°°

HAI
Seperti biasanya, aku kembali lagi dengan bab terbaru dan kayaknya hari Rabu bakalan jadi jadwal buat publikasi bab terbaru "Dari Jingga, Untuk Fase"

°°°

Sepanjang perjalanan pulangnya ke Jakarta, pikiran Mahardika dipenuhi dengan perkataan Mama Qinara. Ini pertama kalinya orang tua dari cewek yang ia dekati memintanya untuk menjauhi anaknya.

"Kalian masih muda, daripada menghabiskan waktu bersenang-senang dengan drama percintaan sekolah kalian. Bagaimana kalau kau fokus pada sekolah dan pelajaranmu? Tante nggak mau terjadi hal buruk pada Qinara, apalagi kalian sudah kelas 12 sekarang." kata Mama.

Fokus ke sekolah sama pelajaran, yah. Gue nggak begitu ingat kapan terakhir kali gue serius sama perihal nilai di rapot, membatin Mahardika.

"Ma, besok Mama bisa ke sekolah buat ambil rapot?" tanya Mahardika yang sedang berbincang dengan Mamanya lewat telepon rumah. "Maaf, Sayang. Mama nggak bisa ke sekolah, Mama lagi banyak kerjaan dan besok ada perjalanan bisnis ke Jogja. Bibi Minah yang bakal gantiin Mama, oke?" jawab Mama di seberang sana.

"Iya," jawab Mahardika, singkat. Mahardika berdiri diam di depan telepon rumah berwarna hitam. Tatapannya tampak kosong dan saat Bibi Minah memanggilnya dia memasang senyuman tipis di wajahnya.

Sesampainya di rumah, Mahardika dibuat bingung dengan mobil yang terparkir di garasi rumahnya. Dari plat nomor mobil tersebut, dia langsung tahu siapa yang datang. Mahardika segera masuk ke dalam rumah dan dia melihat dua orang sedang berbincang di ruang tamu, seorang wanita paruh baya dan pria paruh baya yang tidak lain adalah orang tuanya.

"Dika pulang~" ucapnya dengan nada suara bersemangat karena sudah lama sekali tidak melihat Mamanya. Wanita paruh baya yang masih mengenakan setelan jas rapi yang memancarkan aura "wanita bisnis" tersebut menoleh ke sumber suara, senyuman lebar langsung menghiasi wajahnya seraya ia berjalan menghampiri Mahardika dengan kedua tangan terbentang siap untuk memeluk anak semata wayangnya tersebut.

"Dika, setelah sekian lama akhirnya Mama bisa meluk kamu lagi" ucapnya dengan nada suara lembut dan dia mengelus-elus belakang Mahardika yang membalas pelukannya. Mama melepas pelukannya lebih dahulu dan melihati Mahardika mulai dari kepala sampai ujung kakinya.

"Kenapa, Ma?" tanya Mahardika "Kamu tambah tinggi?" tanya Mama, anak lelakinya itu langsung tersenyum saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan Mamanya.

"Iya, Ma. Tambah tinggi, tambah cakep juga" jawab Mahardika dengan nada bercanda. Mama melihati wajah Mahardika dan memegangnya, tatapan mata wanita itu terlihat pantulan dari wajah anaknya.

"Maafin Mama, Dika. Mama terlalu sibuk sama kerjaan dan baru bisa kembali ke Jakarta sekarang," kata Mama. Kalimat maaf selalu saja terucap dari mulut Mama setiap kali Mama kembali ke Jakarta setelah berbulan-bulan hingga bertahun-tahun menghabiskan waktunya untuk bekerja di New York.

"Gapapa, Ma. Lagian ada Bibi Minah dan Pak Saroso di rumah buat nemanin Dika, terus ada teman-teman Dika juga" jawab Mahardika lalu tersenyum tipis.

Seperti biasanya dia memasang wajah tersenyum, ia terpaksa melakukannya karena Mahardika tidak mau membuat Mamanya cemas. "Ngomong-ngomong, berapa lama Mama di Jakarta?"

"Sekitar dua bulan," jawab Mama.

"Kenapa? Nggak biasanya kamu tanya berapa Mama netap di Jakarta," lanjutnya. Mahardika kemudian tersenyum, "ada yang mau Dika kenalin ke Mama...dan juga Papa" jawab Mahardika yang sempat ragu untuk menyebut kata "Papa" yang ia tujukan kepada ayah tirinya.

Dari Jingga, Untuk FaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang