Bab 1 Mata Sedingin Es

9 1 0
                                    

Aku mempercepat langkah. Pintu gerbang bercat biru langit yang hanya tinggal beberapa meter di depanku itu hampir ditutup sepenuhnya oleh seorang lelaki berseragam satpam. Untunglah aku berhasil menyelipkan tubuhku yang terbilang mungil melalui celahnya sesaat sebelum pintu itu tertutup sempurna. Langkahku terhenti bersamaan dengan bunyi pintu besi yang saling beradu di belakangku.

Di hadapanku sudah terlihat bangunan sekolah sederhana dan tidak bertingkat. Bangunan itu mengelilingi sebuah lapangan basket yang berhasil kukenali dengan melihat dua ring usang di sisi kanan dan kirinya. Di pinggir lapangan tampak sebuah tiang berdiri tegak menunjuk ke langit tanpa ada bendera yang berkibar di ujungnya.

Terlihat juga banyak murid yang masih bercanda di depan kelas mengingat bel masuk baru akan berbunyi beberapa menit lagi. Pemandangan yang benar-benar baru itu membuatku memalingkan wajah sambil mengembuskan napas dengan cukup keras.

Bangunan itu jauh berbeda dengan sekolahku yang dahulu. Tanpa bisa dicegah, aku mulai membandingkan kedua tempat itu. Dalam pikiranku muncul gambar sebuah gedung berlantai tiga dengan dinding bercat jingga.

Di depan gedung tersebut, terdapat halaman luas yang biasa digunakan untuk upacara bendera setiap hari Senin dan senam bersama setiap hari Jumat. Di sana juga terdapat tiga lapangan untuk para siswi berolahraga; lapangan basket, bulutangkis, dan tenis.

Teringat juga satu ruangan yang menjadi favoritku. Perpustakaan dengan koleksi bukunya yang begitu banyak, mulai dari ensiklopedia, majalah, cerita rakyat, hingga kamus bahasa asing. Biasanya, setiap kali masa ujian sudah berakhir, beberapa rak buku berisi komik dan novel dari dalam maupun luar negeri, yang biasanya dikunci, akan dibuka untuk dipinjam. Saat menatap lagi ke bangunan yang berada di depanku, aku bahkan ragu apakah sekolah itu memiliki satu ruangan khusus untuk perpustakaan.

Namun, dari semua perbedaan yang terpampang nyata, hal yang paling membuatku tidak nyaman adalah sekolah baru itu sekolah campuran, tidak seperti sekolah lamaku yang khusus untuk perempuan.

Setelah mencoba menepis semua kenangan yang muncul dalam benakku, sekali lagi aku mengembuskan napas dan mulai bersiap menghadapi hari pertamaku di sekolah itu.

Dengan langkah gontai aku berjalan mencari ruang guru. Sebenarnya aku tidak tahu di mana letaknya, tetapi enggan rasanya untuk bertanya. Namun, mengingat area sekolah yang tidak terlalu luas, seharusnya tidak akan terlalu sulit untuk menemukan ruang tersebut. Cari saja ruangan yang tidak banyak murid berkumpul di sana, dapat dipastikan itu adalah ruang kepala sekolah atau ruang guru. Semudah itu.

Ketika melewati bagian depan kelas menuju ke arah ruangan yang kuperkirakan adalah ruang guru, aku berusaha mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap kepadaku. Mungkin mereka hanya merasa asing dengan wajahku.

Saat sudah dekat dengan ruangan yang tidak tampak keberadaan murid-murid di sekitarnya, bisa kulihat sebuah papan petunjuk tergantung di kusen atas pintu yang menunjukkan bahwa tebakanku benar.

Sebelum masuk, kuketuk pintunya. Aku memilih menghampiri seorang guru wanita yang mengenakan pakaian batik biru tua yang duduk paling dekat dengan pintu masuk.

"Good morn ...." Sapaanku terhenti. Kebiasaan menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi di sekolahku yang lama masih terbawa hingga saat itu. "Ehem .... Selamat pagi, Bu. Saya Csilla Angelina, murid pindahan dari SMA Xaverius," lanjutku.

"Ah .... Kebetulan. Saya Emma, guru Matematika sekaligus wali kelas kamu di XI IPA 2. "

"Iya, Bu." Aku mengangguk. "Jadi saya langsung mencari kelas saja atau bagaimana, Bu?"

"Kamu tunggu di depan dulu. Nanti waktu jam pelajaran mulai, kamu ikut saya ke kelas."

"Terima kasih, Bu. Permisi."

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang