Bab 23 Terpuruk

2 0 0
                                    

Dengan berlinang air mata, kukendarai sepeda motorku kembali ke kantor. Bila diibaratkan pesawat, aku sebagai sang pilot sudah menerapkan mode autopilot hingga rasanya hampir sebuah keajaiban, aku berhasil tiba dengan selamat. Aku bahkan beberapa kali kehilangan fokus dalam perjalanan sejak keluar dari halaman restoran milik Felix, tahu-tahu aku sudah berada di parkiran kantor.

Pekerjaan yang masih menumpuk di mejaku mau tidak mau membuatku tidak bisa terlalu larut dalam kesedihan. Tetap kuusahakan menyelesaikan tugasku semampuku, meski setiap beberapa waktu, aku harus berhenti untuk sekadar menghela napas keras atau menghapus air mata yang sesekali masih mengalir.

Sakit rasanya mengingat alasan yang diberikan Felix tadi. Dia seharusnya ada di sisiku saat keluargaku kembali terguncang oleh kepulangan Papa. Bukannya melarikan diri dan mengambil jalan termudah dengan memutuskan hubungan kami. Tidak kusangka, Felix bisa demikian egois.

Kemarahanku juga tertuju untuk Papa yang dengan seenaknya kembali setelah bertahun-tahun menghilang dari kehidupan kami. Bahkan seandainya dia kembali membawa permohonan maaf kepada Mama dan harapan untuk memperbaiki keadaan, belum tentu aku mau untuk tinggal satu rumah lagi dengannya.

Papa justru kembali tanpa penyesalan dan malah mengusir kami dari rumah. Melihatnya melakukan itu kepada kami, membangkitkan kembali kebencian yang awalnya kupikir sudah kukubur dalam-dalam. Rasa benci itu berkali-kali lipat daripada sebelumnya. Bahkan sempat terpikirkan olehku, kenapa dia tidak menghilang saja untuk selamanya. Tanpanya kehidupan kami memang sedikit pincang, tetapi kami baik-baik saja.

Keadaanku yang seperti itu tentu saja membuat beberapa rekan kerjaku menyadari ada sesuatu yang tidak beres, tetapi aku sangat menghargai keputusan mereka yang memilih untuk mengabaikanku. Walau aku mendapati mereka yang memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga jam pulang kerja, tidak ada yang berani bertanya apa pun kepadaku.

Begitu tiba di rumah, rumah dalam keadaan kosong. Tiffany sedang jadwal tugas siang dan baru akan pulang nanti malam sementara Mama sepertinya akan pulang mendekati waktu maghrib. Suasana rumah seperti itu yang kuinginkan. Suasananya mendukung untukku yang sedang patah hati. Dengan bebas aku bisa meluapkan tangisku tanpa takut didengar oleh siapa pun.

Kuambil Chani dari dalam kamar dan kupeluk tubuhnya sambil berbaring di sofa ruang tamu. Di sela-sela tangis, kuganti foto profil di media sosial yang semula fotoku bersama Felix saat kami berlibur ke pantai, menjadi gambar seorang malaikat bersayap hitam yang sebelah sayapnya hangus terbakar. Malaikat itu berdiri menunduk di tepi jurang. Ya, seperti itulah perasaanku.

Kuhapus juga foto-foto yang menampilkan wajah Felix dari akun media sosialku. Melihat kembali satu per satu momen kebersamaan dengannya yang sudah kuabadikan, mengingatkanku pada saat-saat indah bersamanya. Kenangan indah yang harus hancur hanya karena sebuah badai yang sudah kuperingatkan dari sebelum hubungan kami dimulai.

Baru sekitar lima puluhan foto hilang dari galeri, kutaruh ponselku dan segera berlari ke kamar mandi setelah mendengar bunyi anak kunci yang coba dimasukkan ke dalam lubangnya. Mama pulang dan aku tidak pernah mau Mama melihatku menangis.

Rasanya tidak nyaman untuk menangis saat ada Mama di rumah. Apalagi saat nanti malam Tiffany pulang. Di rumah kontrakan kami yang hanya ada dua kamar, aku, Mama, dan Tiffany yang biasanya tidur di kamar terpisah harus berbagi kamar. Kamar yang satunya kami gunakan sebagai gudang untuk menyimpan barang-barang yang sangat jarang kami gunakan.

Setelah mandi dan bersiap-siap, kutahan air mataku, kukuatkan hatiku, lalu keluar kamar. Sambil berlalu aku pamit kepada Mama dan bilang aku mau keluar sebentar. Mau jalan-jalan. Alasan yang tidak sepenuhnya bohong.

Baru saja melaju keluar pagar rumah, meski samar, aku masih bisa mendengar ponselku berdering. Kuhentikan sepeda motorku tanpa mematikan mesinnya. Saat kukeluarkan dari dalam tas, nama Igor terpampang di layar ponselku.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang