Bab 21 Retak

3 0 0
                                    

"Gor? Kenapa bisa di sini? Bukannya papa kamu lagi di rumah sakit?"

"Udah ada Mama yang jaga, nanti malem giliran aku. Ini sengaja dateng buat bantuin kamu," jawabnya santai.

"Kerjaan kamu?" tanyaku.

"Nggak masalah kalau cuma sehari ditinggal. Udah .... Kamu tenang aja, aku udah beresin semua sebelum dateng." Aneh, melihat senyumnya membuatku merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Hari sudah gelap saat semua barang sudah dalam perjalanan ke rumah kontrakan kami. Butuh dua kali bolak-balik untuk mobil yang kusewa agar semuanya berhasil diangkut. Ditambah satu kali jalan untuk mengambil barang pesananku di toko pecah belah tadi.

Setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, kukeluarkan kunci rumah milikku dari dalam tas dan kuletakkan di atas meja ruang tamu. Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku, bahwa hari itu aku akan meninggalkan rumah yang sempat kuanggap berada di daerah pedalaman saat pertama kali aku datang dari Jakarta.

Sebelum benar-benar pergi, kusempatkan untuk menatap rumah bercat putih dengan kusen pintu dan jendela yang terbuat dari kayu. Berat rasanya meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di rumah itu. Apalagi saat mataku menatap ke arah kursi rotan di teras sebelah kanan, di sanalah tempat yang memiliki banyak kenangan bersama Igor dan juga Felix.

Felix, dia masih juga belum menghubungiku. Aku bahkan sudah tidak peduli lagi, mungkin aku sudah terlalu lelah sehingga yang kuinginkan hanya merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Namun, mengingat barang yang belum disusun, hal tersebut terasa masih begitu jauh.

Bunyi gemuruh yang terdengar dari jauh membuatku tersadar. Sebelum hujan turun, aku harus bergegas. Masih banyak yang harus kukerjakan di rumah kontrakan nanti. Dengan berat hati, kupacu sepeda motorku berlalu dari sana.

Dalam perjalanan, aku menyempatkan untuk singgah ke sebuah rumah makan untuk membeli nasi bungkus untuk kami. Melihat banyaknya menu makanan yang tersaji di depan mata, aku baru merasakan betapa laparnya perutku. Pantas saja, aku baru sadar bila bekal makan siang tadi hanya kumakan setengah.

Aku tiba di rumah kontrakan kami tepat pada saat barang terakhir sudah diturunkan. Kepalaku langsung berdenyut-denyut melihat begitu banyak barang yang ditumpuk sembarangan. Sepertinya akan butuh beberapa hari sampai semuanya bisa tersusun dengan rapi.

Kubayar sejumlah uang dan kuberikan sebungkus nasi yang kubeli kepada sopir mobil yang lupa kutanyakan namanya itu. Kuucapkan juga terima kasih kepadanya atas kebaikan hatinya bersedia untuk membantu kamu menaikkan dan menurunkan barang. Hal yang sebenarnya tidak ada di kesepakatan awal.

Kuajak Mama, Tiffany, Igor, dan Rendy untuk makan bersama. Mereka juga pasti sama laparnya denganku. Entah karena saking laparnya atau karena kami makan bersama sambil bercengkerama layaknya sebuah keluarga, makanan yang kubeli itu terasa sangat enak.

Keluarga? Melihat kedekatan antara Tiffanny dengan Rendy, dia memang kemungkinan besar akan bergabung dalam keluarga kami, tetapi Igor, dia tidak lebih hanya seorang teman lama yang hadir kembali. Namun, saat aku mengatakan kata "keluarga" di dalam hati, aku merasa benar. Seolah-olah Igor memang akan menjadi anggota keluarga kami, tetapi bagaimana dengan Felix?

Kusudahi makanku, memikirkan ketidakhadiran Felix membuat nafsu makanku hilang. Kubungkus kembali makananku, lalu berjalan ke teras. Kumasukkan nasi bungkus yang masih tersisa setengah porsi lebih ke dalam kantong plastik sampah yang digantungkan di pohon rambutan yang berada di halaman depan.

Saat kuedarkan pandanganku ke sekeliling rumah baru kami itu, aku masih tidak percaya semua bisa berubah begitu cepat. Kehadiran Papa sekali lagi menghancurkan hidup kami, sama seperti saat dia pergi dahulu.

Bayangan Felix kembali menghampiriku. Entah ke mana dia. Dengan perasaan tidak karuan karena lelah, marah, kecewa, yang semuanya bercampur menjadi satu, kukeluarkan ponselku dari saku celana dan kuketik pesan untuk Felix.

[Segitu sibuknya sampe nggak ada waktu buat aku?]

Tidak kutunggu hingga tanda centang duanya berubah warna, langsung kumasukkan kembali ponsel itu ke saku celanaku.

Namun, beberapa menit kemudian ponselku berdering. Tanpa perlu melihat siapa yang menelepon, aku sudah tahu itu pasti Felix.

"Halo," jawabku ketus.

"Kenapa, Sayang?"

"Kamu ke mana aja? Segitu susahnya, ya, cuma buat bales pesen aku?" Tidak kucoba untuk menyembunyikan kekesalanku.

"Kan, kamu udah tau aku bakalan sibuk terus berapa hari ke depan. Tumben kamu nggak pengertian?"

"Aku bukannya nggak ngerti, tapi masa cuma buat bales pesen aku aja berapa kata, kamu nggak bisa? Bisa, kan, telepon kabarin aku pas parkir, atau pas temen kamu itu lagi angkat telepon? Kalian nggak mungkin ngobrol sepanjang waktu, kan?" Aku terlalu marah hingga tanpa sadar aku sudah berteriak kepadanya.

"Hei .... Hei .... Kenapa kamu semarah ini? Ada apa sebenernya?"

"Kamu juga bisa, kan, sejelek-jeleknya telepon aku pas temen kamu ke toilet atau malah kamu sendiri yang ke toilet! Kalian nggak mungkin ke toilet bareng, kan?" Aku masih melampiaskan kekecewaanku.

"Sayang .... Kalau kamu masih marah kayak gini, aku tutup teleponnya, ya. Kita ngobrol lagi pas kamu udah agak tenang." Suara Felix mulai terdengar tidak sabar.

"Papa balik!"

Felix tidak menjawab, ada keheningan selama beberapa detik yang makin membuatku tidak sabar.

"Kamu denger aku, nggak?" tanyaku.

"Denger. Terus?"

"Kami baru pindah rumah. Nanti alamatnya aku kirim ke kamu. Kamu bisa dateng?" tanyaku. Biar bagaimana pun aku masih berharap Felix akan datang. Dia masih kekasihku yang seharusnya ada di sisiku saat aku butuh bantuan.

"Aku nggak bisa janji, nanti aku kabarin kamu lagi." Jawaban Felix jauh dari harapanku.

"Kamu nggak bisa mentingin aku satu kali ini aja?"

"Udah, ya? Temenku udah manggil."

"Halo, Felix! Aku belum selesai ngomong!" Bahkan sebelum aku selesai berbicara, sambungan telepon itu sudah terputus.

Kekesalanku memuncak. Saking kesalnya, aku bukannya meluapkan marahku dengan berteriak, tetapi justru tangisku pecah. Dengan kasar kuseka air mataku dengan punggung tangan.

Baru saja aku berbalik hendak masuk ke rumah. Igor sudah berdiri di depan pintu. Matanya menatapku lekat. Aku mengartikan tatapannya sebagai tatapan iba dan itu membuatku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Air mataku kembali jatuh.

"Jangan liat aku kayak gitu." Suaraku bergetar. Aku mencoba terlihat kuat, tetapi yang terjadi justru aku terdengar begitu menyedihkan. Kutundukkan kepalaku dan melangkah menuju tempatnya berdiri.

Namun, Igor tidak beranjak, dia tetap menghalangiku jalanku. Walau dalam posisi menunduk, ekor mataku bisa melihat bahwa dia tidak mengalihkan tatapannya dariku.

"Minggir, Gor! Aku mau masuk!" ujarku.

Melihat Igor yang masih tetap tidak bergeser, dengan emosi kutabrakkan tubuhku kepadanya dengan harapan dia akan mengalah dan membiarkanku masuk. Namun, Igor justru menarik tubuhku hingga masuk ke dalam pelukannya. Kepalaku bahkan sudah bersandar di dadanya.

Aku terkejut, tetapi tidak ada keinginan untuk meronta. Aku justru membenamkan kepalaku makin dalam ke dalam pelukannya. Kubiarkan isakanku terendam oleh dadanya.

Entah berapa lama aku menangis dalam pelukan Igor. Aku baru mengangkat kepalaku saat terdengar suara ponsel yang bukan milikku. Pelukan Igor mengendur.

"Sorry, Csil, Chiara nelepon," ujarnya.

Aku mengangguk. Kulepaskan pelukanku dan kubiarkan Igor melangkah ke depan untuk berbicara dengan Chiara. Saat tadi aku memeluknya, aku benar-benar lupa bila Igor sudah memiliki seorang kekasih. Bahkan aku lupa bahwa aku juga masih kekasih Felix. Namun, kali itu, tidak ada rasa bersalah yang muncul dalam hatiku.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang