Belum juga aku melepas helm yang kukenakan, Igor sudah bertanya, "Terakhir kali aku liat, motor kamu belum selecet ini? Jatuh?"
Kuabaikan pertanyaan Igor. Dengan tertatih, aku turun dari sepeda motor. Pergelangan kakiku terasa makin sakit saat digerakkan. Bahkan saat melepaskan sandal saja, aku menggigit bibirku menahan rasa sakitnya. Sepertinya kakiku tanpa sengaja terkilir saat berusaha menahan berat tubuh ditambah beban sepeda motorku saat jatuh tadi.
"Bener jatuh?" tanyanya begitu aku sudah duduk di sebelahnya. Gerakan kikukku itu tidak lepas dari pengamatannya.
"Iya."
"Jatuh apa ketabrak?"
"Jatuh," gumamku. Rasa terkejut yang sejak tadi menemaniku berangsur menghilang. Aku baru sadar betapa dingin dan gemetarnya tubuhku. Bulu kudukku meremang mengingat apa yang baru saja kualami.
"Kapan?"
"Barusan." Aku setengah berbisik.
Berbagai pikiran buruk yang sejak tadi tertunda, menghampiriku. Bagaimana seandainya aku jatuh dan kepalaku menghantam trotoar? Meski menggunakan helm, aku bisa saja gegar otak. Bagaimana seandainya saat itu aku pingsan dan malah ada orang yang berniat jahat di dekatku? Mereka bisa saja berpura-pura menolongku, tetapi justru merampas sepeda motor beserta tas berisi dompet dan ponselku, sementara tubuhku ditinggalkan begitu saja di sana. Bagaimana seandainya ada mobil di belakangku saat aku jatuh? Aku bisa terlindas! Namun, untung saja malaikat maut sepertinya sedang bertugas di tempat lain.
"Barusan?" Suara Igor meninggi. Ada keterkejutan dalam nada suaranya. "Terus nggak kenapa-kenapa, kan?" Igor terlihat khawatir. "Lagian kamu nggak denger! Aku udah bilang mau nemenin, pake ditolak! Liat, kan, sekarang gini jadinya!" omel Igor.
Seharusnya Felix yang khawatir dan mengomeliku, bukan Igor. Tanpa bisa kucegah, air mataku mengalir begitu nama Felix muncul dalam benakku.
"Hei .... Sakit banget, ya? Di mana yang sakit?" Igor mendekatiku. Tangannya menyentuh bahuku.
Erangan terlepas dari mulutku. Sekali lagi kugigit bibirku menahan sakit. Sentuhan Igor termasuk ringan seandainya dilakukan sebelum aku jatuh, tetapi saat itu bahuku rasanya seperti dipukul.
Lagi-lagi, Igor terkejut melihat reaksiku yang sepertinya tidak dia duga. Tidak akan ada orang dalam keadaan baik-baik saja yang akan mengerang hanya dengan disentuh sedikit saja.
"Maaf, ya," ujarnya.
Igor menurunkan sedikit resleting jaket yang kukenakan. Lalu dengan pelan dia menyingkap jaketku hingga bagian bahu kananku terbuka. Saat itu aku mengenakan pakaian tanpa lengan, hingga Igor bisa dengan lebih leluasa melihat apakah ada cedera yang serius di sana.
Otakku sepertinya mengalami korsleting, bisa-bisanya aku diam saja diperlakukan seperti itu. Aku malah ikut melihat ke arah bahuku. Lebam besar kebiruan tampak di sana. Igor mengelus lebam itu lembut. Saat jarinya menyentuh lukaku itu, seperti ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku.
"Di tempat lain ada nggak?" tanya Igor.
"Nggak tau, tapi bagian sini sakit semua." Kuarahkan jariku ke bagian kanan tubuhku, kutunjuk bahu hingga ke pergelangan kakiku.
Igor terlihat menggerakkan tangannya menuju ke pahaku yang tertutup celana jin, tetapi sebelum dia sempat menyentuh bagian itu, dengan segera kutangkap tangannya.
"Jangan pegang!" Bahkan sebelum disentuh pun, pahaku rasanya sudah berdenyut-denyut.
Setelah yakin Igor sudah mengurungkan niatnya, kulepaskan cekalan tanganku. Namun, Igor justru menggenggam tanganku.
"Tangan kamu dingin banget," katanya.
Agar tidak menyinggung perasaannya, kutarik perlahan tanganku dari genggamannya. Korsleting di otakku sudah berangsur membaik, hingga muncul perasaan aneh karena membiarkan seorang teman lama menggenggam tanganku.
"Kamu jatuh di mana?"
Dengan suara yang kuusahakan senormal mungkin, kuceritakan secara singkat kejadian yang menimpaku tadi, tetapi kulewatkan bagian saat aku berpapasan dengan mobil Felix. Igor tidak perlu tahu tentang itu.
"Besok nggak usah bawa motor ke kantor, nanti biar aku yang jemput."
"Nggak usah repot, tadi aja aku masih bisa pulang sendiri," bantahku.
"Emang kalau baru jatuh itu belum kerasa sakitnya, kamu tunggu aja besok! Pokoknya besok aku jemput!"
Ternyata benar apa yang Igor katakan, keesokan harinya saat bangun tidur, tubuhku terasa remuk. Sakitnya bukan hanya di bagian kanan, tetapi seluruh tubuhku sepertinya protes setelah terbanting kemarin.
Ketika aku bercermin sebelum berpakaian, lebam kebiruan kemarin tampak makin menghitam. Lebam itu bukan hanya di bahu, tetapi juga di panggul, paha, dan betis kanan. Bahkan ada lecet di beberapa tempat, kemungkinan karena kulitku yang bergesekan keras dengan pakaian yang kukenakan.
Rasa sakit yang kurasakan menghambat pergerakanku. Berpakaian pun terasa sulit karena menggerakkan tangan dan mengangkat kaki pun aku harus pelan-pelan. Untuk sementara waktu, aku tidak bisa mengenakan rok ke kantor karena lebam itu akan membuatku tampak seperti korban kekerasan.
Pagi itu, Igor benar-benar datang tepat waktu untuk mengantarku ke kantor. Kedatangannya membuat Mama heran, aku bisa melihat raut wajahnya yang seperti penuh tanda tanya. Mama pasti sudah curiga sejak Felix tidak muncul lagi di rumah. Bahkan saat kami harus menghadapi kepulangan Papa, dia juga sama sekali tidak datang menunjukkan perhatiannya. Aku yakin, nanti malam Mama pasti bertanya tentang itu dan aku sudah harus siap untuk menceritakan berakhirnya hubunganku dengan Felix.
Bukan cuma hari itu saja Igor datang menjemputku, tetapi selama satu minggu penuh, dia tidak pernah absen untuk mengantar dan menjemputku ke kantor. Setiap pagi dia akan muncul di depan rumah, malah kadang dia datang dalam kondisi baru bangun tidur dan belum mandi. Aku bisa melihat itu dari matanya yang masih sayu dan terlihat seperti orang yang dibangunkan secara paksa.
Hal itu tentu saja membuat beberapa rekan kerjaku bertanya-tanya karena meski setahun lebih berhubungan dengan Felix, terhitung dengan jari berapa kali mereka melihatku diantar dan dijemput olehnya.
Meski saat itu aku beralasan bila aku baru saja kecelakaan, tetapi tetap saja mereka merasa aneh. Mengapa justru lelaki lain yang mengantar dan menjemputku, bukannya Felix?
Awalnya aku masih berusaha profesional untuk tetap memegang semua data transaksi antara perusahaan tempatku bekerja dan Felix. Aku juga masih menyahut bila ada yang memanggilku dengan sebutan Nyonya Felix. Aku berusaha benar-benar bersikap biasa-biasa saja. Jujur, malu rasanya mengakui bahwa aku yang sejak berhubungan dengan Felix dijuluki Cinderella karena berhasil menaklukkan hatinya, justru harus kehilangan dia di saat hubungan kami sudah hampir melangkah lebih serius.
Hingga pada akhirnya, berita tentang usainya hubunganku dan Felix tidak bisa kututupi lagi. Semua tampak jelas saat dengan terpaksa aku meminta bantuan salah seorang dari mereka untuk menggantikanku mengurus semua pekerjaan yang harus berhubungan langsung dengan Felix, seperti menelepon atau bertemu dengannya.
Sejak saat itu, satu kantor mengetahui bahwa kisah cinta Cinderella-ku sudah berakhir. Dentang loncengnya sudah terdengar dan tidak ada sepatu kaca yang bisa menuntunku kembali kepadanya.
Selama seminggu itu juga, Igor datang ke rumah setiap malam. Dia akan mengajakku mengobrol hal-hal apa pun mulai dari yang receh hingga aneh sekalipun. Hal yang paling sering kami bicarakan adalah tentang masa lalu dan waktu-waktu yang kami habiskan sebelum kami bertemu lagi.
Meski tidak menghapus sepenuhnya rasa sakit yang diakibatkan oleh Felix, kehadiran Igor berhasil mengalihkan perhatianku. Felix hanya sesekali muncul dalam benakku saat aku bersama dengan Igor.
Namun, ada satu hal yang selalu kutahan untuk tidak kutanyakan kepada Igor. Apa Chiara tahu tentang perhatian Igor itu?
Hingga suatu malam, ketika aku sudah mulai sedikit terbiasa dengan status baruku, aku memberanikan diri bertanya kepada Igor. Saat itu kami sedang duduk menikmati susu kedelai yang dijual di pinggir jalan dekat alun-alun kota.
"Gor?"
Igor menengok. Dia tidak menjawab.
"Chiara tau?" tanyaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Terhubung oleh Bintang
Fiksi RemajaCsilla Angelina sama sekali tidak pernah menyangka, bila ramalan bintang akan mengantarkan Igor Ferdinand sebagai cinta pertamanya. Sayang, usia keduanya yang masih sangat muda, membuat hubungan mereka berakhir buruk. Bertahun-tahun berlalu, mereka...