Benar apa yang sering kudengar dalam lagu maupun kata-kata puitis tentang perasaan seseorang yang sedang patah hati. Katanya, meski seseorang berada di keramaian, tetapi bila hatinya sedang merasakan kehilangan yang besar, tetap saja akan terasa sepi. Persis sama seperti apa yang kurasakan.
Ruang tunggu bandara tempatku duduk begitu ramai oleh suara-suara para penumpang yang sudah bercampur menjadi satu, menciptakan bunyi dengungan yang memenuhi seluruh ruangan. Namun, aku merasa sendirian. Tidak ada wajah yang kukenal di sana.
Makin aku memperhatikan orang-orang di sekelilingku, makin aku merasa tersesat. Aku sungguh berbeda dari orang-orang di sekitarku. Sebagian dari mereka tampak seperti orang-orang yang akan berangkat karena urusan pekerjaan. Terlihat dari cara berpakaian mereka yang mengenakan setelan kerja, lengkap dengan sepatu dan tas kerjanya. Mereka juga tampak sibuk dengan panggilan telepon yang tidak henti.
Sebagian lagi tampak seperti orang-orang yang berencana berlibur. Terlihat dari wajah mereka yang begitu semringah. Gestur mereka juga santai, bahkan ada canda tawa yang tidak henti mereka lontarkan kepada teman-teman seperjalanannya.
Mungkin di sana, di antara kerumuman penumpang, hanya aku yang berangkat sendirian bukan karena urusan penting, tetapi karena patah hati.
Aku masih tidak percaya bila aku sudah berada di Jakarta, menanti penerbangan selanjutnya yang akan membawaku ke Yogyakarta. Nama baik keluarga Felix memang tidak perlu diragukan lagi. Saat aku datang ke kantor travel tempat Felix memesan paket liburan kami, aku dilayani dengan begitu ramah.
Tanpa banyak prosedur sulit, aku bisa mendapatkan apa yang kuinginkan. Cukup dengan menyerahkan kwitansi pembayaran yang kubawa, menunggu beberapa saat hingga mereka bisa mengatur semuanya. Aku sudah bisa langsung menentukan tanggal keberangkatan. Semuanya prosesnya seakan-akan dilancarkan agar aku bisa secepatnya melupakan Igor.
Hal yang makin membuatku yakin bahwa memang aku diminta untuk segera melupakannya adalah aku bahkan bisa berangkat tiga hari setelah semuanya selesai kuurus tanpa biaya sepeser pun. Untung aku masih bisa menahan diri untuk tidak bersorak kegirangan saat agen yang melayaniku mengatakan tidak ada biaya tambahan meski sudah hampir dua tahun berlalu.
Sebenarnya pihak travel memintaku untuk menginap satu hari di Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, tetapi untuk apa? Bukankah dengan aku tahu bahwa Igor juga berada di kota yang sama, tetapi kami tidak bisa saling bertemu, akan membuatku merasa lebih kecewa lagi?
Alasan itulah yang membuatku dengan tegas menolak usulan itu. Lebih baik aku kelelahan karena dua penerbangan langsung dibandingkan harus memikirkan kemungkinan bertemu dengan Igor dan Chiara.
Aku tahu, pikiran itu memang bodoh. Jakarta begitu luas, rasanya tidak mungkin kami bisa bertemu secara kebetulan. Namun, aku juga selalu percaya bahwa bila memang sudah ditakdirkan, apa pun bisa saja terjadi.
Aku memang melakukan perjalanan itu agar dapat melupakan Igor. Agar nanti aku bisa kembali sebagai Csilla yang baru, yang tidak akan galau lagi karena masalah percintaan. Pada kenyataannya, sepanjang waktu, aku berkali-kali melihat ke sekelilingku, berharap bisa bertemu dengan Igor di sana. Ya, bukan Csilla Angelina namaku bila pikiran dan hatiku bisa berjalan seirama.
Rasanya ingin kuhantamkan kepalaku ke kaca bening yang berada tepat di sebelahku begitu menyadari betapa bodohnya aku. Padahal aku sendiri yang sengaja mengatur agar tidak keluar dari bandara hanya supaya tidak bertemu dengannya, tetapi aku juga yang berharap bertemu dengannya di dalam bandara. Bodoh! Aku bahkan berkali-kali memaki diriku sendiri.
Seakan-akan kebodohanku belum cukup, setiap kali aku sudah melihat ke sekeliling dan yakin bahwa tidak ada Igor di sana, aku kembali membuka galeri di ponsel yang tidak pernah lepas dari tanganku. Aku melihat lagi foto Igor dan Chiara yang dikirimkan oleh Tiffany.
Senyum yang tampak di wajah mereka, membuat hatiku begitu sakit. Entah mengapa meski aku tahu hal itu akan menyakitkan untukku, aku tidak bisa berhenti menatapnya. Otakku seperti ingin menyiksa diri habis-habisan. Aku membayangkan apa yang bisa saja terjadi di antara mereka malam itu. Mereka bisa saja saling memaafkan, merayu, dan mengeluarkan janji-janji manis untuk memperbaiki hubungan mereka.
Saat aku hampir mulai membayangkan ke hal-hal yang lebih jauh, terdengar panggilan kepada seluruh penumpang jurusan Yogyakarta untuk segera naik ke pesawat. Segera kusiapkan boarding pass beserta kartu pengenalku. Kuselipkan ponselku ke kantung celana.
Baru saja aku hendak bangkit setelah menyandang ransel yang kubawa, antrean ternyata sudah mengular. Kutunggu beberapa saat hingga antreannya hanya tersisa beberapa orang, baru aku melangkah ke sana.
Saat menyerahkan boarding pass di tanganku kepada seorang petugas wanita, aku bisa merasakan getaran dari saku celanaku. Saat kuraih ponsel yang layarnya sudah retak di bagian sudutnya itu, nama Igor terpampang di sana.
Sepertinya semesta sedang mempermainkanku. Sedikit lagi aku akan berangkat dengan tujuan melupakannya, tetapi mengapa justru pada saat itu dia mencariku setelah beberapa hari menghilang?
Wajahnya dan Chiara yang tersenyum ke kamera di malam ulang tahun Igor lagi-lagi terbayang dalam benakku. Kubiarkan ponsel itu terus bergetar tanpa ada niat sedikit pun untuk mengangkatnya.
Sambil menunggu antrean yang ternyata terjadi lagi di dekat pintu pesawat, segera kublokir nomor Igor sebelum ada panggilan atau pesan yang masuk darinya. Niatku sudah bulat. Sudah tidak ada gunanya lagi Igor menghubungiku. Lebih baik tidak ada kontak di antara kami bila tujuannya hanya untuk mengabarkan bahwa kisah cintanya dan Chiara yang sudah berakhir, terjalin kembali. Aku tidak butuh itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Terhubung oleh Bintang
Novela JuvenilCsilla Angelina sama sekali tidak pernah menyangka, bila ramalan bintang akan mengantarkan Igor Ferdinand sebagai cinta pertamanya. Sayang, usia keduanya yang masih sangat muda, membuat hubungan mereka berakhir buruk. Bertahun-tahun berlalu, mereka...