Bab 26 Rumit

1 0 0
                                    

[Nanti malem bisa dateng ke rumah?]

Kubaca sekali lagi pesan dari Igor itu. Sepertinya dia salah kirim. Tidak mungkin rasanya Igor memintaku datang ke rumahnya. Untuk apa?

[Kamu salah kirim, ya?] Kuketik pesan balasan untuknya.

[Nggak, malem ini Mama ulang tahun. Kamu bisa dateng, kan? Tapi, aku nggak bisa jemput. Nggak papa, kan?]

Malu rasanya membayangkan pergi ke rumah Igor yang nantinya pasti ramai oleh tamu yang datang. Belum lagi bertemu dengan orang tua Igor. Di sana juga pasti banyak kerabatnya yang lain. Apa sebaiknya kutolak undangan Igor itu? Namun, alasan apa yang harus kuberikan?

Setelah berpikir sejenak, dengan sangat tidak kreatif, kugunakan satu-satunya alasan yang mampir di kepalaku.

[Malu, ah.]

[Kalau kamu malu, aku jemput!]

Aku kalah telak, tidak bisa lagi menolak. Aku pernah berpikir, apa aku yang terlalu penurut dan tidak mau ambil pusing apalagi ribut-ribut karena setiap kali Igor meminta sesuatu, sulit untukku menolaknya.

Pernah kuutarakan tentang sikap yang selalu ingin menang sendiri. Sebagai jawabannya, Igor lalu bercerita bahwa dari hasil psikotes yang pernah dia ikuti dahulu, dia memiliki kecenderungan untuk memimpin dan selalu ingin lebih dominan. Sejak itu, aku sudah belajar untuk memahami sikapnya yang terkadang terkesan sedikit memaksakan kehendak.

[Ya, udah. Nanti aku dateng. Nggak usah jemput.]

Tidak enak juga rasanya membiarkan Igor meninggalkan acara keluarganya hanya untuk datang menjemputku.

Jadilah malam itu, kukenakan gaun hijau selutut tanpa lengan dengan aksen rimpel di bagian bawahnya. Sudah kurias juga wajahku seadanya hanya dengan sapuan bedak dan lipstik. Bagian mata kubiarkan apa adanya, bukan karena yakin mata dan alisku cantik, tetapi karena menggambar alis adalah musuh bebuyutanku sejak belajar merias diri.

Saat baru saja hendak keluar sambil menenteng sepatu hak tinggi putih kesayanganku di tangan kanan, jaket dan kunci motor di tangan kiri, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Kuabaikan saja karena memang mobil itu tidak kukenal. Setelah mesinnya padam, sosok lelaki yang sudah sangat tidak asing, keluar dari mobil.

Penampilan Igor membuatku pangling. Dia yang biasanya datang mengenakan atasan kaus, hari itu tampil rapi dalam balutan kemeja putih dan jas semi formal biru tua. Aku bahkan berkali-kali secara terang-terangan melihat ke arahnya.

"Hey .... Kenapa diem? Tumben nggak cerewet kayak biasa?" tanyanya.

Pertanyaannya membuatku tersadar. "Ah .... Nggak apa-apa. Pangling," jawabku jujur.

Setelah berpamitan dengan Mama, kami langsung melaju ke rumah Igor. Itu adalah pertama kalinya aku datang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan jantungku sudah berdegup kencang. Rasanya seperti saat Felix mengajakku bertemu keluarganya untuk pertama kali. Kupukul pelan keningku begitu bayangannya muncul, berharap bisa mengusir kenangan tentang Felix dari ingatanku.

"Kenapa?"

"Nggak, pusing aja. Kamu bawa mobilnya keseringan ngerem mendadak," jawabku asal-asalan.

Setelah berkendara sekitar dua puluh menit, kami memasuki jalanan kecil menuju ke rumah Igor. Bahkan dari jauh, aku bisa melihat sudah banyak motor dan mobil yang terparkir di pinggir jalan. Bisa kubayangkan seramai apa suasana di dalam sana.

Igor memarkirkan mobilnya di halaman tetangga yang berjarak beberapa rumah. Saat mobil sudah berhenti dengan sempurna, degup jantungku kian kencang. Sebelum turun dari mobil, kupejamkan mata sesaat. Kutarik napas, kutahan hingga hitungan kelima, baru kuembuskan keluar dengan keras berharap hal itu bisa membuatku tenang.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang