Bab 25 Dua Orang yang Tersakiti

1 0 0
                                    

"Kenapa tiba-tiba nanya Chiara?"

Suara Igor terdengar dingin. Dia mengalihkan pandangannya ke arah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang berjalan perlahan mencari tempat untuk parkir. Alun-alun itu memang hampir selalu ramai setiap malam menjelang akhir minggu.

"Ya, harusnya dari awal aku nanya. Kemaren-kemaren anggep aja aku emang egois, aku nggak mikirin dia. Aku terima-terima aja kamu dateng. Jujur, aku malah sengaja nggak nanya soal dia."

Kuhela napasku begitu menyadari betapa egoisnya aku. Nama Chiara tidak pernah kusebutkan di depan Igor. Bahkan setiap kali namanya muncul di benakku, aku selalu berusaha menepisnya jauh-jauh agar tidak mucul rasa bersalah di hatiku.

Nama Chiara selalu berhasil membuatku merasa seperti orang jahat. Membuatku merasa tidak ada bedanya dengan Felix yang berduaan dengan wanita lain di saat masih menjalin hubungan denganku. Hanya bedanya, aku yang merebut waktu dan perhatian dari kekasih orang lain. Ah, lagi-lagi Felix!

"Chiara nggak tau. Dia juga nggak perlu tau!" jawab Igor tanpa menatapku.

"Dia nggak nanya?" tanyaku heran.

Hubungan macam apa sebenarnya yang dijalani oleh Igor dan Chiara? Aneh rasanya bila Chiara sama sekali tidak curiga. Apa dia tidak menghubungi Igor? Apa tidak terpikirkan olehnya mengapa hampir setiap malam di jam-jam tertentu, Igor tidak bisa dihubungi? Apa insting Chiara tidak berfungsi?

Apa alasan yang diberikan Igor sangat masuk akal sehingga tidak membangkitkan kecurigaan Chiara? Bukankah aku juga sempat percaya pada alasan yang diberikan Felix saat dia menghindariku dahulu?

"Kalian lagi ada masalah?" Kuberanikan diriku untuk bertanya.

"Kita pulang aja, yuk?" ajak Igor tiba-tiba. Tanpa menunggu jawabanku, Igor langsung membayar apa yang kami makan.

Aku pun dengan tergesa-gesa menghabiskan susu kedelaiku yang masih tersisa setengah gelas. Tidak terbiasa rasanya menyisakan makanan dan minuman yang sudah dibeli meskipun itu dibayar dengan uang Igor. Mubazir! Setelahnya aku bergegas menyusul Igor yang sudah naik ke sepeda motornya dan siap melaju.

Suasana hati Igor sepertinya memburuk. Aku bisa merasakannya dari cara Igor melajukan sepeda motornya. Beberapa kali aku menahan napas dan memejamkan mata saat Igor berkendara begitu dekat dengan kendaraan yang lain. Bahkan beberapa kali juga kuremas bahunya karena dia tidak kunjung menekan tangkai rem saat sepeda motor kami sudah hampir mencium bagian belakang kendaraan di depan.

Saat kami tiba di depan rumahku, aku lega bukan kepalang. Trauma karena jatuh beberapa waktu lalu belum hilang, Igor justru mengajakku untuk uji nyali sekali lagi. Setelah turun dari boncengannya dan melepaskan helmku, langsung kulampiaskan kekesalanku.

"Kamu sadar nggak kalau tadi itu bahaya, Gor?" omelku. "Astaga! Baru juga ini badan mau sembuh, nggak biru-biru lagi, kamu malah ngajakin ngebut kayak pembalap!" lanjutku. Masih terbayangkan olehku seberapa dekat jarak antara kakiku dengan sebuah mobil merah yang melaju di samping kami.

Igor diam saja, dia sama sekali tidak merespon ucapanku.

"Aku cuma jatuh dikit aja udah mau remuk, gimana kalau tadi kita beneran nabrak? Kamu mau ngajak aku mati bareng? Aku belum nikah, Gor! Gila aja mati umur segini!" Aku masih mengomel.

Igor seperti menulikan dirinya. Tanpa berkata apa-apa dia langsung berjalan menuju ke teras. Dia menjatuhkan diri ke kursi panjang dari kayu yang memang sudah ada sejak kami mengontrak rumah itu.

"Udah ngomelnya? Sekarang giliran aku yang cerita, boleh?"

Kukeluarkan dengusan tak ubahnya kerbau menghadapi sikapnya yang seakan-akan tidak peduli dengan perjudian yang baru saja dilakukannya dengan malaikat maut.

"Mau cerita apa?" tanyaku begitu aku sudah duduk di sebelahnya.

Igor lalu bercerita, sebenarnya sejak masih di Jakarta, dia sudah merasakan perubahan sikap Chiara. Jalan dua tahun hubungan mereka, wanita itu mulai menunjukkan perubahan sikapnya.

Ada saja alasannya untuk menghindar dari Igor. Mulai dari lembur, jalan-jalan dengan teman sekantornya, menemani ibunya ke mal, dan berbagai alasan lain yang terkadang terkesan begitu mendadak direncanakan. Dia juga tiba-tiba memiliki berbagai aktivitas baru yang membuat frekuensi pertemuannya dengan Igor menjadi lebih sedikit.

Chiara juga mulai tidak ingin ditemani bila bepergian ke mana-mana. Dia masih tetap memberi tahu Igor, tetapi setiap Igor ingin mengantar dan menjemputnya, Chiara beberapa kali menolak.

Igor pernah mendengar selentingan kabar yang mengatakan bahwa Chiara beberapa kali terlihat jalan berdua dengan lelaki lain. Namun, saat Igor menanyakan tentang hal itu, Chiara mengelak. Dia berhasil meyakinkan Igor dengan sikapnya yang biasa-biasa saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa setiap kali Igor datang berkunjung ke rumahnya.

Keadaan itu mulai berubah saat Igor harus pulang untuk mengurus usaha ayahnya. Lagi-lagi Igor mendapat kabar dari teman-temannya bahwa Chiara di sana sudah mulai berani terang-terangan mengumbar hubungannya dengan lelaki lain. Namun, lagi-lagi Igor menutup telinganya karena saat dia mencoba menghubungi Chiara melalui pesan singkat atau telepon, Chiara masih merespon. Entah Igor yang terlalu bodoh atau Chiara yang terlalu cerdik dalam bertindak.

Di malam ayah Igor masuk rumah sakit untuk kedua kalinya. Dia yang sedang menunggui ayahnya di luar kamar rumah sakit bermaksud mengisi waktu dan mengusir kebosanan dengan mengobrol dengan Chiara. Namun, jawaban yang diterima Igor jauh di luar dugaannya.

"Kamu tau dia bilang apa?" tanya Igor.

Aku diam saja. Pertanyaan itu kuanggap tidak memerlukan jawaban. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik.

"Dia minta aku jangan hubungi dia lagi. Buat dia, hubungan kami nggak lebih dari mimpi buruk." Igor tertawa kecil, tetapi ada kesedihan yang kurasakan dalam tawanya, seperti sedang mentertawakan dirinya sendiri.

"Chiara ngomong gitu?"

Igor mengangguk lemah. Ada kesedihan yang sepertinya sudah lama dipendamnya sendiri. Sungguh, ada rasa bersalah lain yang muncul di hatiku. Saking sibuknya aku dengan kesedihanku sendiri, hingga aku tidak melihat kesedihan di wajah Igor, lelaki yang dengan setia menemaniku. Entah ke mana julukan psikolog gadungan yang sering kubangga-banggakan.

"Kamu mau liat bukti pesennya?"

Igor lalu menunjukkan pesan dari Chiara. Kata-kata yang digunakan Chiara tidak hanya menyakitkan, tetapi bagiku sudah termasuk penghinaan. Makin kugeser ke bawah, justru aku yang emosi. Aku masih tidak percaya wanita yang begitu cantik dengan senyumnya yang manis bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu kasar.

Ada tiga bukti transfer yang masing-masing nilainya lima juta rupiah disertai keterangan di bawahnya yang menarik perhatianku.

[Aku transfer balik duit kamu selama kita jalan. Aku nggak mau ada urusan lagi sama cowok kayak kamu! Satu lagi, jangan coba-coba cari tau apa pun tentang aku!]

"Kamu minta dia ...." Kututup mulutku yang hampir kelepasan bicara.

"Aku nggak pernah minta dia balikin duit aku!" Igor terdengar marah.

"Maaf ...."

"Kamu mau tau lanjutannya?" Igor berhenti sebentar, seakan-akan mencari kekuatan untuk melanjutkan ceritanya. "Dia udah jadian sama cowok lain, yang lebih segalanya dari aku. Pengusaha tambang asal Kalimantan. Wajar aja kalau dia milih cowok itu, kan?"

Aku tidak menjawab. Aku tidak mau menghakimi keputusan Chiara. Aku membiarkan saja Igor yang memilih sendiri apa yang ingin dia percayai.

Kutatap wajah Igor yang memandang ke langit malam. Ironis rasanya, orang yang datang menghiburku justru adalah seseorang yang juga tersakiti, bahkan mungkin lukanya lebih dalam dariku.

"Jadi, itu alasan kamu nelepon aku malem itu?" tanyaku.

"Sebenernya aku bisa aja nelepon orang lain, tapi nggak tau kenapa, nama kamu yang muncul pertama kali di pikiran aku."

Aku adalah orang pertama yang terpikirkan oleh Igor saat butuh teman. Sementara Igor adalah orang pertama yang datang saat aku terpuruk. Takdir sepertinya sedang mempermainkan kami.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang