Bab 31 Bayang-bayang

1 0 0
                                    

Aku mendesah lega saat merasakan dinginnya air dari pancuran mengguyur tubuhku. Rasa penat setelah seharian duduk di mobil yang membawaku menyusuri jalanan kota Yogyakarta berangsur mereda.

Sambil membiarkan tubuhku menikmati sensasi seperti dipijat akibat tekanan air yang cukup kencang, aku masih harus meyakinkan diriku bahwa saat itu aku benar-benar sudah berada jauh dari rumah. Rasanya semua masih bagaikan mimpi. Tidak pernah kusangka bahwa rencana kepergianku berjalan dengan begitu lancar.

"Sabar sebentar bisa, nggak?" gerutuku mendengar dering ponsel yang tidak berhenti berbunyi sejak tadi. Setelah membungkus rambutku dengan handuk dan mengenakan jubah mandi putih bersih yang disediakan pihak hotel, kuraih ponsel yang kuletakkan di atas wastafel. Nama Tiffany muncul di layarnya.

"Halo, Tiff," sapaku.

"Di mana lu?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Gua baru selesai mandi. Baru sampe hotel."

"Besok lu ke mana rencananya?"

"Kayaknya gua mau ke Prambanan, sorenya ke Parangtritis."

"Pasti jadi?"

"Kayaknya pasti. Hari ini gua udah ke Borobudur, kata sopirnya besok mending ke sana aja. Tumben lu nanya?"

"Gua mau nitip oleh-oleh," godanya.

"Liat ntar, ya. Kalau harganya murah gua beli, kalau nggak, gua pulang tangan hampa," balasku.

"Pelit lu!" Ada beberapa detik berlalu sebelum Tiffany melanjutkan, "Gua tutup, ya! Have fun lu di sana."

"Cuma mau ngomong itu aja?"

"Iya. Bye."

"Bye," kataku sambil menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan.

Hari pertamaku di Yogyakarta akhirnya sudah berakhir. Dengan masih mengenakan jubah mandi, aku duduk di kursi yang menghadap ke cermin. Kubuka galeri ponsel berisi foto-foto yang kuambil di Candi Borobudur. Ternyata hanya sedikit sekali foto yang ada gambar diriku di dalamnya. Itulah salah satu kerugian bepergian sendirian.

Aku menghela napas panjang mengingat kondisiku saat itu. Terkadang hidup memang lucu dan tidak pernah bisa ditebak ke mana alur ceritanya akan berakhir. Seharusnya perjalanan hari itu akan kuhabiskan bersama Felix, tetapi tanpa terduga aku justru berkunjung ke sana dengan hati yang patah untuk kedua kalinya karena seorang lelaki bernama Igor.

Padahal baru setahun lebih berlalu, tetapi kisah yang pernah tercipta antara aku dan Felix rasanya sudah tidak meninggalkan bekas apa pun di hatiku. Apa sebenarnya aku tidak pernah mencintainya sebesar aku mencintai Igor, cinta pertamaku?

Setelah puas melihat hasil jepretanku, kukenakan pakaian, tidak lupa kukeringkan rambutku seadanya, dan naik ke tempat tidur. Lampu kamar sengaja kubiarkan tetap menyala. Kamar itu terasa asing dan terlalu besar untuk kutempati seorang diri.

Felix memesan satu kamar dengan dua tempat tidur. Aku sudah meminta pergantian kamar menjadi yang satu tempat tidur saja, tetapi pihak hotel tidak bisa menyediakannya karena tidak ada kamar pengganti yang tersedia.

Meski tubuhku lelah, tetapi mataku tidak mau terpejam. Menit demi menit berlalu, aku masih berbaring tidak tenang sambil berharap rasa kantuk menghampiriku. Namun, setiap kali tanpa sengaja mataku menatap ke tempat tidur di sebelahku yang tidak ditempati, kubayangkan ada Igor yang sedang tertidur di sana.

Hal itu terjadi berulang kali sehingga akhirnya aku memindahkan koper hitam berukuran sedang, ransel yang kubawa untuk bepergian, serta beberapa bungkus oleh-oleh yang sempat kubeli tadi ke atas tempat tidur itu hanya agar aku tidak lagi membayangkan sosok Igor di sana. Baru setelahnya aku bisa terlelap.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang