Bab 27 Lelaki Milikku?

1 0 0
                                    

Untukku, bukan hari Minggu namanya bila tidak menghabiskan waktu dengan tidur siang. Namun, hari itu ada seseorang yang tanpa rasa bersalah mengganggu hari santaiku.

"Mau ngapain?" tanyaku cukup ketus.

Seandainya Igor memang mau mengajakku keluar, seharusnya dia memberi tahu terlebih dahulu, agar aku tidak usah merebahkan diri ke kasur. Bila sudah mencium aroma gulingku, tidak akan ada yang bisa menyeretku bangun, kecuali hal itu benar-benar penting.

"Aku mau minta ditemenin."

"Ke mana?" tanyaku malas.

"Pokoknya kamu ikut aja. Aku nggak akan bawa kamu ke tempat macem-macem! Gantian kamu yang nemenin aku!"

Aku menghela napas. Aku tahu bahwa aku sudah kalah saat Igor mengungkit jasanya menemaniku sewaktu aku putus dengan Felix. Bahkan, andai pun Igor tidak mengungkit hal itu, tetap saja tidak pernah sekali pun aku menang bila berdebat dengannya.

"Apa aku bisa nolak? Hari ini aja .... Please ...." Aku masih mencoba. "Ya-ya-ya ...?" Tanpa menunggu jawaban Igor, aku langsung berbalik hendak masuk lagi ke rumah.

"Jangan lama-lama ganti bajunya!" balas Igor.

Bila ada orang yang paling tahu cara membuatku tidak kuasa menolak, Igor orangnya. Bahkan Felix tidak pernah tahu trik itu.

Ternyata hari itu, Igor mengajakku ke sebuah studio tato yang berada di daerah yang tidak pernah kukunjungi. Andai saat itu Igor menurunkanku di tengah jalan tanpa ponsel dan uang, juga tidak ada orang untuk kutanyai, sepertinya aku tidak akan tahu ke mana kakiku harus melangkah untuk pulang.

"Astaga! Selama ini aku mikirnya harus ke Jakarta cuma buat bikin tato, ternyata di sini ada!" seruku begitu melihat bagian dalam tempat itu.

"Makanya gaul sedikit jadi orang, masa kalah sama orang yang baru balik dari Jakarta," ledek Igor.

Aku mencibir. Kuakui aku memang kurang gaul. Meski kondisi keuanganku sudah membaik, aku masih enggan mengikuti gaya hidup teman-temanku yang setiap akhir minggu akan nongkrong di kafe untuk melepas penat. Lebih baik uangnya kutabung untuk keperluan yang lebih penting nantinya.

Begitu memasuki studio tato itu, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari pemiliknya. Dia seperti sengaja hanya mengenakan singlet untuk menutupi tubuh bagian atasnya, seakan-akan hendak memamerkan tato di tubuhnya.

Hampir seluruh lengan kanannya penuh dengan tato yang saking abstraknya, aku bahkan tidak tahu gambar apa saja yang sudah bergabung di sana. Ada juga di dadanya, beberapa gambar yang hanya terlihat sebagian karena tertutup singletnya. Saat lelaki itu berbalik badan mempersiapkan peralatannya, aku melihat tato gambar kepala harimau di bahu kirinya yang terbuka.

"Suka yang mana?" tanya Igor mengalihkan perhatianku dari lelaki itu.

Igor menunjukkan gambar-gambar yang sepertinya dia desain sendiri. Semua gambarnya mirip, hanya berbeda di beberapa detail kecil. Bila tidak teliti melihatnya, beberapa gambar akan terlihat sama.

"Ini mau dibikin di mana?" tanyaku sambil menggeser-geser jariku di layar ponselnya.

"Di sini," jawab Igor menunjuk ke lengan bagian dalam tangan kanannya.

Kulirik sekilas ke arahnya. "Sebesar apa?"

"Dari sini sampai sini." Igor menunjuk lipatan di sikunya hingga ke pergelangan tangan.

Mataku terbelalak menatapnya. "Sepanjang itu?"

Sejujurnya, bukan ukuran tato atau rasa sakit yang nantinya Igor rasakan saat proses pengerjaannya yang membuatku begitu terkejut. Namun, aku memikirkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Sepertinya Igor akan membuatku menghabiskan hari Minggu dengan menemaninya di sana.

"Kenapa? Kebesaran?" tanya Igor.

"Itu kira-kira berapa lama ngerjainnya?"

"Nggak tau."

"Terus ngapain ngajak aku kalau tau bakalan lama?" Kurebahkan tubuhku ke sofa, kupeluk bantalnya, dan kututup mataku rapat-rapat.

"Buat bonceng aku pas pulang kalau tangan aku sakit sampe nggak bisa bawa motor."

Andai lelaki pemilik studio tato itu keluar sebentar saja dari ruangan tempat kami duduk, akan kupukul kepala Igor dengan bantal sofa itu berkali-kali sebagai hukumannya.

Namun, sekesal-kesalnya aku kepada Igor, aku tetap saja ingin tahu tato mana yang akan dia lukiskan ke lengannya. Aku ingin ikut andil dalam memilihkan gambar yang selamanya akan terpatri di tubuhnya.

Setelah beberapa kali berdebat dengan suara berbisik-bisik, akhirnya sebuah tato yang terdiri dari tiga elemen menjadi pilihan akhir kami. Gambar pertama adalah kemudi kapal di bagian lengan atas. Lalu ditambahkan gambar tali tambang yang terikat di sana menjuntai memanjang hingga ke lengan bawahnya. Ujung tali yang satunya terikat pada sebuah jangkar kapal yang akan diukir di pergelangan tangannya.

Saat gambar itu dilukiskan ke lengan Igor yang berkulit putih, aku tidak bisa membohongi diriku. Lengan itu tampak lebih menggoda. Sketsa itu tampak begitu menyatu dengan lengannya yang kekar. Padahal saat itu, gambarnya baru sekadar saja, bahkan hanya digambar dengan menggunakan pulpen, belum ditambahkan detail rumit yang akan menyempurnakannya. Aku saja sudah sangat tidak sabar menunggu hasil akhirnya, apalagi Igor.

Setengah jam pertama aku masih berani melihat saat alat tato itu mulai bekerja, tetapi lama-kelamaan, aku menyerah saat melihat titik-titik darah muncul makin banyak bahkan beberapa tetes sudah hampir mengalir. Sambil bergidik ngeri, kuputuskan untuk tidak melihat prosesnya lagi.

Setelah hampir tiga jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda akan selesai. Menurut apa yang tadi dijelaskan, pengerjaan yang paling rumit adalah pada detail tali tambangnya yang memerlukan ketelitian lebih.

Erangan Igor yang tadinya hanya sesekali juga makin sering terdengar. Aku tidak tahu apakah harus merasa kasihan atau tertawa geli mendengarnya.

Saking bosannya menunggu, perutku mulai lapar. Kurogoh ke dalam kantung jaket Igor mencari kunci motornya. Kukenakan jaket.

"Aku keluar sebentar," ujarku saat lelaki itu berhenti untuk menyeka titik-titik darah di lengan Igor. Kugerakkan tanganku menunjukkan kode bahwa aku ingin makan.

"Tunggu bentar!"

Tangan kirinya merogoh ke saku celananya bagian depan. Dia lalu mengeluarkan dompet cokelat miliknya, belum sempat aku menduga-duga, dompet itu sudah disodorkannya kepadaku.

"Bawa aja," ujarnya enteng.

Sepertinya Igor sudah kehilangan akal sehatnya karena terlalu lama menahan sakit. Bisa-bisanya dia menyerahkan dompetnya kepadaku. Aku ingin menolaknya, tetapi lagi-lagi kehadiran lelaki itu di sana membuatku menghindari berdebat dengan Igor. Aku takut lelaki itu akan kehilangan fokus dan membuat ketelitiannya berkurang.

Setelah memasukkan dompet Igor ke dalam tas, aku segera keluar dan melajukan sepeda motor Igor mencari kedai makanan terdekat.

Pilihanku jatuh pada sebuah warung mi ayam yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sambil menunggu pesananku diracik, kubuka dompet Igor. Bukan untuk mengambil uang dari sana. Biar bagaimanapun pas-pasannya kondisi keuanganku, aku masih sanggup membayar bila hanya untuk semangkuk mi ayam yang harganya hanya dua belas ribu rupiah.

Tujuanku membuka dompet itu hanya satu, aku bisa merasa begitu dekat dengannya. Bukankah ponsel dan dompet adalah dua benda paling pribadi yang sangat sering dibawa-bawa, tetapi tidak bisa sembarangan dipegang orang lain?

Hanya dengan memegang dan membuka dompet itu, aku merasa satu perasaan yang menyenangkan. Aku merasa Igor adalah milikku.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang