Bab 12 Neraka Bernama Rumah

1 0 0
                                    

Sejak pertengkarannya dengan Mama malam itu, Papa makin menjadi-jadi. Seperti tidak perlu lagi menutupi keretakan yang terjadi dalam hubungannya dengan Mama. Hampir setiap sore Papa pulang dengan kemarahan yang langsung dilampiaskan dengan berteriak-teriak kepada kami.

"Kalian pembawa sial!" Kalimat itu yang diucapkannya begitu melangkah masuk ke rumah.

"Nggak ada yang laku lagi?" tanya Mama sebagai balasan atas makian itu.

Suara pintu kamar yang dibanting sudah menjawab pertanyaan Mama. Setelahnya, juga terdengar bunyi benda-benda di kamar mereka yang seolah-olah dilemparkan dengan keras.

Hari demi hari, Papa seperti tidak punya semangat lagi untuk bekerja. Papa bahkan tidak lagi membuka toko furnitur kecil yang dirintisnya dengan susah payah. Aku juga makin jarang bertemu dengannya meski kami masih tinggal satu rumah.

Setiap hari, Papa belum bangun saat aku dan Tiffany berangkat ke sekolah. Sementara saat kami pulang, Papa sudah pergi entah ke mana dan baru akan pulang lewat tengah malam, yang ditandai dengan makian dari mulutnya. Seakan-akan makian itu sudah menjadi salamnya sebelum masuk ke rumah.

Saat Mama meminta uang untuk keperluan rumah atau sekolahku dan Tiffany, Papa akan menjual satu demi satu barang yang tersisa dengan harga murah. Sebagian uangnya lalu diberikan kepada Mama setelah sebelumnya mengeluarkan caci maki dan hinaan yang begitu menyakitkan.

Kata-kata yang keluar dari mulut Papa bukan hanya menyakiti hatiku, tetapi lambat laun berubah menjadi rasa benci. Kebencian yang baru kusadari sudah terpupuk dalam diriku setelah peristiwa yang terjadi beberapa minggu sebelum ujian kenaikan kelas.

Siang itu, sepulang sekolah, aku sudah mengamati situasi dari kejauhan. Mobil Papa tidak terparkir di depan rumah, yang artinya aku bisa pulang dengan tenang tanpa perlu khawatir bertemu dan harus mendengar perkataan kotor dari mulutnya.

Setelah meletakkan tas dan mengganti pakaian, aku menyusul Tiffany yang sudah terlebih dahulu duduk menikmati makan siang di meja makan. Sebuah komik tergenggam di tangan kirinya. Kami berdua memiliki kebiasaan unik yang sama, menikmati makanan sambil membaca buku. Entah siapa yang awalnya memulai kebiasaan itu.

"Mama belum pulang?" tanyaku.

"Belum. Lu nggak makan?" tanya Tiffany.

"Mau," jawabku sambil menghela napas.

Aku masih sedikit tidak terima memikirkan bahwa yang menjadi tulang punggung untuk kami bukan lagi Papa melainkan Mama. Sejak uang pemberian Papa tidak lagi cukup, di usia Mama yang tidak lagi muda dan di kota yang tanpa ada sanak keluarga dari pihaknya yang dapat menolong atau sekadar menjadi tempat berbagi, Mama harus berjuang dan mulai memutar otak agar bisa menghasilkan uang.

"Dikit banget lu makan?" katanya begitu melihat porsi makanan yang kuambil.

"Yang penting gua makan."

Setelah apa yang kudengar malam itu, aku sudah berjanji untuk tidak lagi menunjukkan kesedihanku di rumah. Kesedihan yang bisa dijadikan alasan oleh Papa untuk bertengkar dengan Mama.

Saat baru saja beberapa sendok masuk ke mulutku, terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Itu suara mobil Papa. Suara itu langsung membuat selera makanku hilang.

Ketegangan mendadak tercipta. Raut wajah Tiffany juga berubah. Kami makin membeku begitu Papa muncul dari pintu samping yang langsung mengarah ke dapur tempat kami makan. Begitu mendekati kami, Papa langsung mengambil buku dari tangan Tiffany dengan kasar dan melemparkannya ke dalam bak cuci piring. Tanpa berkata apa pun, Papa berlalu masuk ke kamar dan membanting pintunya keras.

Air mataku tumpah. Bisa kulihat hal yang sama di wajah Tiffany. Aku segera bangkit, membawa piringku di tangan kanan, dan bertanya dengan suara terbata-bata sambil menunjuk piring di hadapan Tiffany, "Masih mau?"

Dia menggeleng.

Aku langsung meraih piring itu dengan tangan kiri dan membawanya ke bak cuci piring. Komik yang tadi dibuang Papa ke sana untungnya tidak basah. Kuangkat dan kuletakkan lagi di depan Tiffany. Sengaja aku tidak mengajaknya berbicara karena aku pun masih harus mengendalikan ketakutan dan keterkejutan yang kurasakan.

Selesai mencuci piring, aku dan Tiffany masuk ke kamarnya. Walau kami tidak terlalu dekat, tetapi di saat-saat seperti itu, aku merasa lebih nyaman berada bersamanya dibanding harus sendirian.

Kubawa buku tugasku, novel yang belum selesai kubaca, dan sebotol besar air minum ke kamarnya. Hal itu kulakukan agar aku tidak perlu lagi keluar kamar, kecuali ke kamar mandi. Menghindar dari Papa. Hal itulah yang kami lakukan. Bahkan Tiffany yang adalah anak kesayangan Papa pun sudah tidak pernah lagi mau berada dekat dengannya.

Kami menghabiskan siang hingga sore itu dengan kegiatan kami masing-masing. Sesekali kami akan bercerita dengan suara berbisik agar tidak terdengar oleh Papa. Kami sudah belajar bahwa apa pun yang seharusnya adalah hal yang sangat biasa, bisa dijadikan alasan oleh Papa untuk melampiaskan kemarahannya. Berusaha membuat diri kami tidak kasatmata setiap Papa berada di rumah seolah-olah sudah menjadi salah satu rutinitas harian yang wajib kami lakukan.

Saat sedang asyik berbisik-bisik mengomentari berita yang kami baca dari majalah yang dipinjam Tiffany dari teman sekolahnya. Suara seperti benda yang pecah membuat kami terdiam. Tiffany menatapku seakan-akan ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.

Aku mempertajam pendengaranku, suara berikutnya yang kudengar adalah suara mobil yang melaju menjauh dari rumah. Butuh waktu beberapa menit sampai aku yakin Papa sudah benar-benar pergi. Kubuka pintu kamar Tiffany dan kulongokkan kepala keluar. Setelah benar-benar yakin tidak ada lagi kehadiran Papa di dalam rumah, aku baru melangkah keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi tadi.

Di dapur, terlihat pecahan piring, nasi, dan sayuran sudah berserakan di lantai. Pemandangan itu membuat air mataku sekali lagi menggenang di pelupuk mata. Papa sudah berubah menjadi orang gila dengan lahar kemarahan yang siap ditumpahkannya kapan saja. Padahal baru saja tadi Papa marah hanya karena Tiffany membaca buku sambil makan, tetapi Papa justru melakukan hal yang lebih parah.

Pecahan piring itu langsung kukumpulkan dan rencananya akan kukubur di halaman belakang agar Mama tidak tahu. Tiffany juga langsung mengambil peralatan untuk membersihkan sisa nasi dari lantai. Kami melakukannya dengan cepat sebelum Mama pulang. Kami tidak mau saat Mama pulang bekerja nanti, masih harus melihat kelakukan Papa yang sudah tidak terkontrol lagi.

Saat aku sudah menggali tanah dan mulai memindahkan pecahan piring itu ke dalam lubang, tanpa sengaja bagian ujungnya yang tajam menggores jariku hingga berdarah. Darahnya cukup banyak hingga menetes ke tanah. Melihat darah yang tidak kunjung berhenti, sebuah pikiran mengerikan melintas dalam kepalaku.

Aku membayangkan, seandainya aku melihat langsung saat Papa mengamuk dan menghempaskan piringnya ke lantai tadi. Seandainya aku punya cukup keberanian untuk bertindak, ingin rasanya kuambil piring lain yang lebih besar dari rak dapur. Hal selanjutnya yang muncul di kepalaku adalah aku memukulkan piring itu ke kepala Papa dengan kekuatan penuh hingga bukan hanya piringnya saja yang pecah, tetapi juga kepala Papa. Papa lalu terjatuh ke lantai dengan kepala berlumuran darah.

"Udah?" Suara Tiffany yang bertanya dari pintu belakang menarikku kembali dari bayangan mengerikan itu.

"Belum," balasku setengah berteriak. "Tangan gua berdarah, tolong ambil Handsaplast!"

Dengan satu tangan, aku menyelesaikan pekerjaanku mengubur piring yang pecah itu. Darah yang masih keluar sedikit dari jariku menyebabkan pikiranku terus mengulang bayangan mengerikan itu. Kuakui, aku merasa takut kepada diriku sendiri. Ya, aku merasa begitu mengerikan!

Namun, tidak kupungkiri, hanya dengan membayangkannya saja, ada sedikit rasa puas yang muncul di hatiku. Aku bahkan tersenyum membayangkan kepala Papa yang berdarah terkena pukulanku. Seandainya Papa meninggal, apa kehidupan kami akan lebih baik? Saat itu, sepertinya menjadi anak yatim bukan lagi sesuatu yang menakutkan.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang