Senin. Satu minggu sudah berlalu sejak kepindahanku ke SMA Tunas Bangsa. Ketika sudah sampai ke tempat dudukku dan Molly, aku terkejut mendapati dua buah tas di atas meja yang menandakan bahwa tempat kami sudah diisi oleh orang lain. Ketika kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, sepertinya ada perubahan pada posisi tempat duduk hari itu.
"Kamu duduknya di sana." Molly menghampiriku. Dia memegang kedua bahuku lalu setengah mendorong, mengarahkanku ke kursi yang masih kosong dua baris ke belakang dari tempat dudukku semula.
"Kenapa, Mol?" Aku bingung. Sepertinya tidak kudengar pengumuman apa pun tentang perpindahan tempat duduk.
"Setiap Senin, kita bakal rolling. Jadi sebelah kiri mundur dua baris, sebelah kanan maju dua baris. Kamu ikut orang depanmu mundur."
"Jadi, hari ini aku bakal duduk sama siapa?" tanyaku. Kuletakkan tas ke atas meja yang berada di deretan paling belakang.
Molly celingak-celinguk mencari seseorang. "Orangnya belum dateng," katanya kemudian.
"Siapa?"
"Igor."
"Igor? Igor Ferdinand?" Aku setengah berteriak saking terkejutnya.
"Betul!" Molly mengerlingkan mata dan menyunggingkan seringai di bibirnya.
Kuputar kedua bola mataku. Rasanya masih sedikit risi dengan kebiasaan saling menggoda yang akan dilakukan hampir seluruh penghuni kelas saat melihat ada salah seorang dari anggota kelas kami yang berdekatan dengan lawan jenis. Menurutku hal itu norak.
Seolah-olah kebetulan, Igor melangkah masuk ke kelas sesaat setelah kami menyebut namanya. Kucoba untuk tersenyum kepadanya. Namun, senyum itu sama sekali tidak ditanggapi. Igor hanya masuk untuk meletakkan tasnya lalu keluar lagi. Melihat kesombongan Igor membuatku sekali lagi memutar bola mata. Aku tidak bisa menahan diri untuk mendengus kesal saat Molly menggodaku lagi dengan suara batuk yang dibuat-buat.
Setelah selama bertahun-tahun belajar dalam kelas yang hanya dihuni oleh siswi dengan berbagai macam konflik khas perempuan, untuk pertama kalinya aku harus duduk bersebelahan dengan laki-laki. Aku bertanya-tanya, mengapa dari sekian banyak murid laki-laki di kelas, harus Igor yang orang pertama yang duduk di sebelahku?
Sejujurnya, aku tidak punya masalah apa pun dengannya. Hanya saja, kesanku terhadap sosok Igor tidak terlalu baik mengingat tatapannyalah yang membuatku tidak nyaman pada hari pertama dahulu.
Jam pelajaran dimulai. Aku berusaha keras agar bisa berkonsentrasi mengikuti materi yang disampaikan. Hingga akhirnya, tiga jam pelajaran yang masing-masing berlangsung selama empat puluh lima menit terlewati. Ada jeda waktu lima belas menit sebelum jam pelajaran keempat dimulai. Ternyata duduk sebangku dengan Igor tidaklah seburuk yang kupikirkan. Dia tidak berbuat ulah atau melakukan sesuatu yang bisa membuatku terganggu. Namun, gangguan justru datang dari diriku sendiri.
Sepanjang pelajaran aku harus terbiasa dengan degup jantung yang tidak bisa diajak berkompromi. Telapak tanganku juga lebih basah dibanding biasanya. Berkali-kali aku harus menyekanya dengan tisu. Keringat membuat pulpen yang berasa di tanganku terasa licin sehingga tidak nyaman untuk digenggam.
Hanya sebentar duduk bersama Igor membuatku memiliki penilaian tersendiri terhadapnya. Biasanya siswa dikategorikan dalam dua golongan. Golongan pertama adalah siswa pintar, tetapi pendiam. Sementara golongan kedua adalah siswa dengan nilai yang hampir di bawah rata-rata dengan kelakuan yang cukup mengesalkan. Namun, Igor tidak termasuk di antara keduanya.
Igor seolah-olah berada di tengah. Dia cukup pendiam, terkesan serius, dan tidak bersahabat, tetapi menurutku, Igor tidak terlalu pintar. Saat tadi namanya disebut secara acak untuk mengerjakan soal di papan tulis, Igor gagal di soal yang menurutku tidak terlalu sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Terhubung oleh Bintang
Novela JuvenilCsilla Angelina sama sekali tidak pernah menyangka, bila ramalan bintang akan mengantarkan Igor Ferdinand sebagai cinta pertamanya. Sayang, usia keduanya yang masih sangat muda, membuat hubungan mereka berakhir buruk. Bertahun-tahun berlalu, mereka...