Bab 9 Putus

1 0 0
                                    

"Csil, ikut kita sebentar!" ajak Diana sambil menarik tanganku.

"Aku lagi males, Di. Kalau mau ke kantin, kamu sama Molly aja. Aku lagi nggak pengen makan," tolakku. Aku mengira Diana akan mengajakku jajan ke kantin.

"Bukan ke kantin. Pokoknya, kamu ikut aja," jawabnya makin kencang menarikku agar mengikutinya.

Sebenarnya saat itu aku benar-benar sedang tidak bersemangat. Tubuhku sudah lemas sejak pagi. Makin siang bukannya membaik, tetapi justru makin tidak enak. Aku yang berencana mencari cara agar bisa berbicara dengan Igor, tidak bisa berpikir jernih. Kepalaku terasa sakit seperti dipukul-pukul. Aku juga berkeringat dingin. Kening dan punggungku terasa basah, lengket, dan sangat tidak nyaman.

Dengan langkah terseret-seret aku mengikuti Diana dan Molly yang mengajakku ke arah belakang gudang sekolah. Hari itu, tidak ada murid-murid yang nekat merokok karena baru saja beberapa hari sebelumnya dilakukan razia besar yang khusus untuk menangkap basah mereka yang merokok di sana.

"Kita mau ngapain ke sini?" tanyaku.

"Kamu tunggu aja dulu. Sebentar lagi orangnya dateng," jawab Diana.

"Siapa?"

"Tunggu aja, Csil. Tenang," jawab Molly.

Aku bersender ke dinding gudang. Aku tidak lagi mempedulikan lagi apakah seragamku akan kotor karena menempel ke dinding yang terlihat kusam dan penuh coretan itu. Aku butuh tempat bersandar. Kepalaku terasa makin sakit.

"Orangnya udah dateng," kata Diana menunjuk ke satu titik.

Igor berjalan ke arah kami. Awalnya aku mengira akan melihat Vanda dan Hanna yang akan mengikuti di belakangnya. Namun, sepertinya Igor benar-benar sendirian.

"Kami tinggal, ya," kata Diana lalu berjalan menjauh.

"Good luck!" kata Molly tanpa suara, yang kumengerti dengan membaca gerak bibirnya. Setelahnya dia langsung berlari menyusul Diana.

Igor sudah berdiri di depanku, tangannya terlipat di depan dadanya. "Mau ngomong apa?"

Aku terdiam sesaat, kupikir Igor yang ingin berbicara denganku. Namun, ternyata Diana dan Molly yang merencanakan agar aku bisa berbicara dengan Igor.

"Kenapa kemaren kamu nggak dateng?" tanyaku.

"Kayaknya aku nggak pernah janji bakal dateng tiap hari."

Aku tertegun. Aku berharap bahwa aku salah saat mendengar ada nada kurang bersahabat dalam jawaban yang diberikannya.

"Kamu masih marah?" Aku bertanya lagi, mengabaikan jawabannya tadi.

"Kamu udah tau jawabannya dari kemaren. Jadi nggak usah nanya lagi, Csil!"

"Csil? Di sini nggak ada siapa-siapa, kenapa kamu nggak panggil aku Say kayak biasa?" Sakit rasanya mendengar Igor memanggil namaku setelah sekian lama aku selalu mendengarnya memanggilku dengan panggilan sayang setiap kali dia datang ke rumah.

"Sekarang kita lagi di sekolah, kamu jangan aneh-aneh!" bentaknya.

Rasa dingin yang membekukan terasa begitu menusuk hingga ke tulangku. Dingin itu merambat mulai dari ujung kaki lalu perlahan naik hingga ke tengkuk. Suara dentuman-dentuman aneh yang seirama dengan degup jantungku juga terdengar seakan-akan memenuhi kepalaku. Mataku mulai berkaca-kaca mendengar bentakannya.

"Kamu ngebentak aku?" tanyaku tidak percaya.

"Kamu yang mulai!" bentaknya makin keras.

"Jadi sekarang aku yang salah?" Suara yang keluar dari mulutku sudah berupa bisikan.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang