Aku masih terpaku menatap ke arah lelaki yang sudah berdiri di hadapanku. Meski sudah melihat tato di tangan kananya, memegang tangannya, bahkan merasakan kehangatan pelukannya, aku masih tidak percaya dia nyata. Mendadak aku takut bila aku berbicara dan mengurai kesunyian di antara kami, dia akan hilang dan aku sendirian lagi berdiri menatap ke batas cakrawala.
"Kenapa pas di bandara telepon aku nggak diangkat?" tanya Igor. Matanya memicing ke arahku.
Suaranya membuatku terkejut. Ternyata dia benar-benar nyata, bukan hanya halusinasiku saja seperti saat di Candi Prambanan.
"Csilla? Kenapa pas di bandara telepon aku nggak diangkat?" ulangnya.
Teringat olehku panggilan telepon darinya sesaat setelah aku keluar dari ruang tunggu hendak menuju ke pesawat yang akan membawaku ke Yogyakarta. Ya, aku memang mengabaikannya, tetapi bagaimana Igor tahu bahwa saat itu aku sedang berada di bandara?
"Kenapa? Bingung gara-gara aku tau waktu itu kamu di bandara, baru mau naek pesawat?" lanjutnya.
Aku terdiam, lidahku kelu. Bagaimana Igor bisa tahu sedemikian spesifik? Apa dia juga berada di sana?
"Kenapa nomorku diblokir? Mana handphone?" Igor mengulurkan tangannya meminta ponselku.
Melihatku yang tidak juga bereaksi untuk mengeluarkan ponselku, dengan tidak sabar Igor melangkah ke belakangku. Aku bisa merasakan saat dia membuka resleting ranselku dan mencari keberadaan ponselku. Setelah menemukan apa yang dia cari, dia menyambar tanganku dan menempelkan jari telunjuk kananku agar bisa mengakses ke dalam ponselku.
Setelah mengutak-atiknya sebentar, bunyi pesan masuk tidak henti terdengar. Igor menunjukkan layar ponsel ke depan wajahku. Mataku langsung terbelalak menatap ke angka penunjuk berapa banyak pesan yang masuk, angkanya terus naik hingga hampir menyentuh angka seratus.
"Baca sendiri!" perintahnya.
Seluruh pesan yang masuk adalah darinya.
[Kenapa nggak angkat telepon?]
[Kamu mau ke mana?]
[Nomor aku diblokir?]
[Langsung hubungi aku kalau sudah baca pesen ini!]
[Csilla?]
[Kenapa ngehindarin aku?]
[Masih belum dibuka juga blokirnya?]
[Kamu kenapa? Apa masalahnya?]
Masih banyak pesan lain yang isinya hampir sama. Aku tidak membaca semuanya. Perasaanku sudah campur aduk Aku benar-benar tidak menyangka Igor akan menghubungi terus-menerus.
"Kenapa cari aku lagi? Bukannya ...?" tanyaku.
"Bukannya apa? Bukannya aku udah sama Chiara? Siapa yang bilang kalau aku balikan sama dia? Cuma karena selembar foto itu, kamu langsung pikir kami balikan?" omel Igor.
"Terus apa kalau bukan itu alasannya? Aku nggak bego! Cewek sama cowok yang pernah pacaran, makan malem sama-sama pas hari ulang tahun cowoknya, di restoran mewah, kamu mau bohongin siapa kalau kalian nggak balikan? Kamu tanya sama sepuluh orang juga, mungkin sembilan bakal jawab kalau kalian balikan!" balasku.
Igor mendengus, sepertinya emosi sudah menjalar sampai ke ubun-ubunnya. "Kamu kebanyakan nonton drama Korea. Serius! Pikiran kamu ke mana-mana!"
Aku melengos. Kulangkahkan kakiku menjauh darinya. Namun, baru beberapa langkah, Igor menarik tanganku. Langkahku terhenti dengan tangan yang terulur ke belakang.
"Aku nggak balikan sama dia. Kamu mau denger penjelasan aku dulu?" tanya Igor pelan. Suaranya seakan-akan menyatu dengan suara deburan ombak.
Aku berbalik menghadap Igor. Kutarik tanganku dari genggamannya. Aku bertolak pinggang di hadapannya hanya agar dia tahu bahwa aku benar-benar marah. Kutengadahkan kepalaku agar bisa menatap ke matanya. Aku ingin mencari kejujuran di sana.
"Aku beneran nggak balikan sama dia. Aku ke Jakarta juga bukan karena dia. Aku ada urusan kerjaan."
Saat mengatakan tentang urusan pekerjaan, tatapan mata Igor yang tadinya begitu tajam berubah menerawang. Dia juga mengalihkan tatapannya dariku. Aku menangkap hal itu sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang dia tutupi.
"Saking pentingnya sampe nggak bisa pamit, ngomong sepatah kata aja nggak? Itu hari ulang tahun kamu, lho, Gor!"
"Gimana kamu minta aku buat ngabarin kalau uang aku, eh ... uang Papa nyaris raib puluhan juta hanya gara-gara aku percaya sama temen aku dibanding langganannya Papa?" bentaknya lebih kepada dirinya sendiri.
"Apa?"
"Itu alasan aku berangkat buru-buru, aku sampe nggak berani bilang sama Papa. Makanya aku juga nggak sempet kasih tau kamu."
"Terus?"
"Ya, semuanya udah beres hari itu juga. Urusannya nggak separah yang aku pikir," jawab Igor. "Kita lewatin aja bagian itu, yang kamu permasalahin itu bagian aku sama Chiara, kan? Aku sama dia malem itu karena dia yang ngajakin ketemuan, bukan aku!" lanjutnya.
"Kamu bisa nolak, kan?" ucapku spontan. Setelah kalimat itu terlepas dari mulutku, aku baru sadar bahwa aku tidak punya hak apa pun untuk marah hanya karena Igor menerima ajakan Chiara.
"Aku bakal nolak kalau aku nggak inget pernah janji buat ngajak dia ke sana waktu kami masih sama-sama."
"Tapi kalian sekarang sudah putus!" Nada suaraku meninggi tanpa bisa kukontrol. Lagi-lagi perasaan yang sudah berhari-hari terpendam tanpa tahu harus kulampiaskan ke mana seolah-olah muncul ke permukaan.
"Ya. Kami memang sudah putus. Aku juga udah nggak ada utang janji apa-apa sama dia. Janji yang tersisa udah aku tepati dengan ketemu sama dia malem itu. Sekarang kami cuma temen, nggak lebih! Kamu bisa percaya?"
Aku terdiam, rasanya semuanya begitu mendadak. Informasi yang kuterima benar-benar jauh berbeda dari apa yang kupercayai. Aku semula berpikir bahwa tidak ada lagi harapanku untuk bersama Igor, tetapi tiba-tiba harapan itu dijatuhkan dari langit ke hadapanku hingga terasa sangat tidak nyata.
"Kenapa? Nggak percaya? Tunggu sebentar!" Igor mengeluarkan ponselnya. Lalu menekan beberapa nomor.
"Mau telepon siapa?" tanyaku.
Igor tidak menjawab. Dia menyalakan mode loudspeaker, mengeraskan volume, lalu dia mendekat ponselnya ke arahku hingga kami berdua bisa mendengar saat siapa pun yang dihubungi Igor menjawab panggilannya.
Setelah beberapa kali hanya terdengar nada sambung, suara seorang perempuan terdengar nyaring dari ponselnya.
"Halo. Iya, Gor. Kenapa telepon? Mau ngabarin udah jadian sama Csilla, ya?" ujar perempuan di seberang sana. Disusul suara tawanya yang begitu renyah.
Mataku membelalak menatap Igor. Tanpa sadar aku menahan napas. "Siapa?" tanyaku tanpa suara.
"Chiara," jawab Igor dengan cengiran di wajahnya. Ada senyum kemenangan di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Terhubung oleh Bintang
Novela JuvenilCsilla Angelina sama sekali tidak pernah menyangka, bila ramalan bintang akan mengantarkan Igor Ferdinand sebagai cinta pertamanya. Sayang, usia keduanya yang masih sangat muda, membuat hubungan mereka berakhir buruk. Bertahun-tahun berlalu, mereka...