Bab 14 Kehilangan yang Lain

1 0 0
                                    

Suara teriakan dan sorak sorai terdengar dari lapangan basket. Pertandingan antar kelas sedang berlangsung untuk mengisi waktu kosong setelah ujian kenaikan kelas selesai hingga hari pengambilan rapor tiba. Keseruan di luar sana tidak menarik minatku sedikit pun untuk ikut bergabung ke dalamnya. Aku mengasingkan diri dan mengamati dari dalam kelas yang nyaris kosong.

"Csil, boleh kita ngobrol sebentar?" tanya Molly yang sudah berdiri di sampingku.

Ada jarak begitu besar yang sudah membentang di antara aku, Molly, dan Diana karena sikapku yang selalu menghindari mereka.

"Boleh. Mau ngobrol apa?"

Molly lalu duduk di sebelahku. Rasanya sedikit aneh karena sudah lama kami tidak duduk bersisian.

"Tapi kamu jangan tersinggung, ya," ujarnya.

Perasaanku langsung tidak enak. Aku menggigit bibirku, cemas.

"Papa kamu bener pergi dari rumah?" tanya Molly dengan suara lirih.

Jantungku berdegup kencang, seakan-akan memukul rongga dadaku dari dalam. "Kamu tau dari mana?"

"Mamaku denger dari temennya." Lalu, seperti ada keraguan di wajahnya sebelum Molly melanjutkan, "Jadi bener?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, semua beban yang kupendam, kuluapkan di hadapan Molly. Mulai dari pertengkaran antara Mama dan Papa sampai pada Papa yang akhirnya pergi meninggalkan kami.

"Kenapa kamu nggak cerita?"

"Aku malu, Mol. Malu, marah, terhina, bahkan ngerasa nggak pantes temenan sama kalian lagi," jawabku jujur.

Kuakui, aku malu dengan keadaanku yang seperti jatuh ke titik terendah saat itu. Terkadang aku marah pada kenyataan yang harus kuhadapi. Aku terhina setiap kali teringat kata-kata Papa yang menyebut kami pembawa sial. Aku juga merasa tidak pantas karena aku seperti bukan lagi Csilla yang dahulu, ada perubahan begitu besar dalam diriku. Perubahan yang hanya aku yang bisa memahaminya.

"Sekarang kamu yang ngebuat aku ngerasa bersalah. Sahabat macam apa yang nggak tau dan ngebiarin sahabatnya nanggung beban seberat itu sendirian?" Molly menghela napas. "Kamu tau, selama ini aku sama Diana bener-bener nggak tau apa yang bikin kamu semarah itu. Berkali-kali kami mikir kamu marah sama kami gara-gara masalah Igor," lanjutnya.

Aku menggeleng cepat. "Bukan, sumpah bukan itu."

Giliranku yang menghela napas. Igor, nama itu terasa begitu jauh, tetapi juga begitu dekat dalam waktu bersamaan. Sejak hari kami putus sampai saat itu, hampir tidak ada interaksi apa pun antara aku dengannya. Meski beberapa kali bayangannya sempat muncul dalam mimpiku, tetapi begitu terbangun, seluruh perhatianku tersedot oleh masalah di rumah yang jauh lebih pelik.

"Jadi, sampai sekarang papa kamu beneran nggak ngasih kabar?" tanya Molly kembali ke pembicaraan awal.

Aku mengangguk. "Mending dia nggak usah balik lagi, Mol. Biar kami miskin kayak sekarang, jauh lebih baik daripada waktu dia ada di rumah."

Setelah Papa pergi, dalam setiap percakapan, begitu sulit untuk mulutku mengucapkan kata "Papa".

"Kamu harus janji, ya, lain kali kalau ada kejadian kayak gini, jangan disimpen sendiri," pesan Molly.

"Iya," jawabku sambil tersenyum. "Aku akan coba buat nggak nutupin apa pun dari kamu lagi."

"Jangan cuma sama aku, kamu harus janji buat terbuka sama siapa aja yang bakal jadi sahabat kamu nantinya. Jangan pernah nanggung beban sendirian, biar kami nggak bisa bantu, kalau kamu cerita, paling nggak beban kamu bisa sedikit berkurang. Percaya sama aku," lanjut Molly.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang