Bab 18 Kenangan yang Menyapa

1 0 0
                                    

Jangan pikirkan dia! Kalimat itu kuulang-ulang dalam hati sambil menunggu pesananku diantar. Sama sekali tidak kusangka, pertemuan dengan Igor yang hanya beberapa detik itu terus terbayang-bayang. Tubuhku bahkan masih memberikan reaksi yang sama seperti delapan tahun lalu saat pertama kali aku melihatnya.

Meski aku juga terkejut karena hampir tertabrak, saat melihat wajahnya yang masih seperti dalam ingatanku, rasa dingin yang membekukan itu kembali hadir. Untunglah, begitu pesananku datang, manis dan dinginnya es krim rasa cokelat itu berhasil mengalihkan perhatianku darinya.

"Lu pesenin lebih nggak buat gua?" tanya Tiffany yang sudah duduk di hadapanku. Entah apa yang kupikirkan hingga aku tidak menyadari kedatangannya.

"Nggaklah! Gua juga nggak tau lu selesai jam berapa. Kalau lu mau pesen, pesen aja, gua yang bayar."

"Lu tau nggak tadi gua ketemu siapa?" tanyanya begitu selesai melakukan pemesanan.

"Siapa? Gua kenal?"

"Jelas kenallah! Kalau nggak, ngapain gua nanya," jawabnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal. Belum sempat aku berpikir, Tiffany melanjutkan seakan-akan sudah tidak sabar untuk melihat reaksiku, "Gua ketemu Igor."

Nama itu, hanya mendengar namanya saja membuatku tersedak. Aku batuk tidak terkendali. Hidungku rasanya seperti ditusuk, bahkan air mata sudah sedikit menggenang di pelupuk mataku. Segera kuraih sehelai tisu yang disodorkan oleh Tiffany.

"Kenapa lu? Masa baru denger nama Igor aja sampe segitunya?"

Aku hanya menggerak-gerakkan tanganku sebagai jawaban. Beberapa detik kubutuhkan hingga rasa sakit di hidungku mereda.

"Terus?"

"Awalnya gua nggak inget dia siapa. Kita liat-liatan aja kayak orang bego. Gua sampe bilang, ni cowok ngapain liat gua sampe segitunya? Terus dia nyamperin gua. Dia inget gua adek lu!"

"Terus?"

"Gua nanya dia, mau nomor hape lu apa nggak?"

"Lu nanya gitu ke dia?" Aku setengah berteriak. "Terus?"

"Dia jawab mau, nggak taulah, ya, apa itu sebenernya dia mau nolak cuma nggak enak sama gua," jawab Tiffany santai.

"Terus?"

"Kebanyakan terus, lu! Terus gua kasihlah! Tungguin aja, paling nanti dia kontek."

Seandainya saat itu aku sambil mengunyah makananku, dipastikan akan ada insiden tersedak untuk kedua kalinya. "Lu beneran kasih ke dia?" ujarku cukup keras.

"Benerlah, ngapain gua boong."

Belum sempat aku mengoceh, pesanan Tiffany diantarkan ke meja kami. Kubayar pesanan kami sambil sesekali melotot ke arahnya. Setelahnya, pembicaraan kami tidak lagi berlanjut karena begitu tiba di rumah, aku harus bergegas untuk makan malam dengan Felix.

Felix menjemputku tepat waktu. Dia mengajakku makan di sebuah restoran makanan laut yang berada di tepi pantai. Letaknya cukup jauh dari rumah, butuh waktu sekitar satu jam berkendara untuk mencapainya. Restoran itu dipilih karena Felix masih ingat perkataanku setengah tahun yang lalu, bahwa aku ingin makan di sana saat melihat berita pembukaannya di koran lokal.

Sebenarnya bukan makanannya yang menarik perhatianku. Restoran serupa bisa dengan mudah ditemui tanpa harus pergi jauh-jauh. Aku justru lebih tertarik pada bentuk bangunan restorannya yang menyerupai kapal yang sedang bersandar, lengkap dengan layar kapalnya. Bahkan dari foto-foto yang kulihat di internet, interiornya pun dibuat sedemikian rupa agar pengunjung seolah-olah berada di atas kapal bajak laut.

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang