Bab 13 Kehilangan yang Diharapkan

1 0 0
                                    

Leher belakangku sudah terasa sakit karena terlalu lama menunduk, punggung dan pinggangku juga mulai pegal akibat berjam-jam duduk menghadap meja belajar, sementara tangan kananku mulai dari pergelangan hingga ke bahu sudah hampir mati rasa. Ujian kenaikan kelas sudah di depan mata. Materi yang harus kusalin masih begitu banyak.

Sejak kondisi keuangan kami kian mengkhawatirkan, fotokopi adalah suatu kemewahan yang tidak lagi bisa kunikmati. Aku enggan meminta uang kepada Mama untuk keperluan itu.

Di saat teman-teman sekelasku mendaftar untuk memperoleh fotokopi lembar latihan soal ujian dengan membayar sejumlah uang, aku lebih memilih untuk meminjam buku-buku latihan soal yang masih bisa kutemukan di perpustakaan. Batas peminjaman yang hanya dua buku setiap satu minggu dan itu pun hanya untuk dua hari, mengharuskanku bekerja keras memindahkan materi penting ke buku tulisku.

Sebenarnya aku bisa saja meminjam kepada Molly dan Diana, tetapi sejak keadaan rumah yang berubah begitu drastis, secara tidak langsung juga ikut mengubahku. Rasa rendah diri kerap kali menghampiriku. Apalagi setelah uang jajan yang bisa Mama berikan jumlahnya jauh berkurang.

Aku mulai menghindar, terutama saat mereka mengajakku untuk ke kantin. Satu atau dua buah kue yang kubeli dari penjual kue pinggir jalan kujadikan alasan untuk menolak ajakan mereka. Saat uang pemberian Mama sudah habis untuk keperluan sekolah yang tidak bisa kuakali seperti uang iuran, aku harus menahan lapar seharian.

Baru saja aku beranjak dari kursiku untuk meregangkan urat-uratku yang sudah tegang, suara bantingan pintu terdengar dari luar. Suara itu sudah tidak terlalu mengagetkan lagi. Rasanya tiada hari tanpa mendengarnya.

"Mobil kamu mana?" Mama bertanya.

"Kujual!"

"Kenapa dijual? Memang duitnya buat apa?"

"Aku butuh duit! Mau mulai kerja lagi." jawab Papa.

Seandainya punya keberanian dan tidak harus memikirkan norma kesopanan, ingin rasanya aku memaki. Setelah semua barang di toko dijual sampai tidak bersisa. Setelah benda-benda berharga di rumah satu per satu hilang tidak berbekas tanpa kami tahu ke mana sebagian uang hasil penjualannya, mengapa Papa baru berpikir ingin memulai usaha lagi setelah menjual mobil hasil kerja kerasnya? Mengapa harus menunggu sampai kondisi kami begitu terpuruk? Ke mana akal sehat Papa?

"Mana sebagian duitnya? Minta! Buat bayar sekolah," pinta Mama.

"Masih berani minta duit? Kalian yang bawa sial masih berani minta duit ke aku?" teriak Papa.

"Kalau bukan minta ke kamu, minta ke siapa lagi?"

"Bukannya bantu cari duit malah nyusahin!"

Apa?! Papa masih berani berkata begitu kepada Mama. Padahal sejak Papa tidak bekerja, Mama sudah bekerja untuk menutupi kekurangan uang yang Papa berikan, tetapi Papa seolah-olah menutup mata terhadap perjuangan Mama. Sebuah kata makian kotor sudah siap terlontar dari bibirku.

"Masa duit jual mobil itu nggak dikasih buat anak-anak? Sekolah mereka itu butuh duit."

"Aku nggak peduli! Itu anakmu, kamu urus sendiri! Mereka cuma pembawa sial!"

Aku menutup kedua telingaku begitu kudengar hinaan yang sudah sangat sering dilontarkan Papa. Kalimat bahwa kami adalah pembawa sial itu terus terngiang-ngiang dalam ingatanku.

"Duitnya kamu kasih ke pelacur itu?" teriak Mama.

"Berisik!"

"Ngaku! Buat anak-anak kamu nggak mau tanggung jawab malah ngurusin orang lain. Memangnya mereka lebih penting dari kami?"

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang