Bab 29 Pembalasan

1 0 0
                                    

[Kamu lagi sama Chiara?]

[Iya, aku lagi sama dia.]

Pesan dari Igor itu membuat benakku membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi di antara mereka berdua. Momennya terlalu sempurna untuk dilewatkan. Entah siapa yang memulainya, tetapi aku yakin bahwa hubungan mereka yang sudah lama terputus akan terjalin kembali. Tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal selain itu.

Bukankah Igor sendiri yang mengatakan bahwa dia harus berangkat ke Jakarta karena ada urusan sangat penting yang harus dia selesaikan. Lalu dia sendiri mengaku sedang bersama Chiara malam itu. Rasanya terlalu naif bila aku menganggap pertemuan mereka hanya sebuah kebetulan.

Meski jauh di dalam hati, masih ada sedikit harapan bahwa apa yang kubayangkan itu hanyalah sekadar tebakan dan dugaanku saja, tetapi fakta yang terpampang di depanku seakan-akan mengatakan sebaliknya. Berulang kali pikiran yang saling bertolak belakang itu bergantian menghantui hariku sehingga membuat suasana hatiku berantakan.

Emosiku yang tidak stabil membuatku dengan penuh percaya dirinya dan menggebu-gebu karena emosi, langsung mengubah pengaturan ponselku agar semua panggilan dan pesan masuk dari Igor tidak akan menimbulkan bunyi apa pun. Hal yang akhirnya justru membuatku setiap beberapa menit sekali melirik ke ponsel, aku khawatir melewatkan panggilan atau pesan darinya.

Kegalauanku tidak hanya sampai di situ saja, setiap kali aku menyadari bahwa Igor sama sekali tidak menghubungiku, aku akan komat-kamit memakinya, "Igor bodoh! Jahat! Udahlah, habis ini kamu jangan cari aku lagi!" Namun, saat lirikan berikutnya dan masih tidak ada pesan darinya, aku sekali lagi akan komat-kamit, tetapi bukan untuk memakinya melainkan memohon agar dia menghubungiku.

Saking labilnya sikapku yang seperti kembali ke masa remaja sejak mengetahui kebersamaan Igor dan Chiara, malam harinya, untuk mengisi waktu kosong karena Igor yang tiba-tiba menghilang, kusibukkan diri di gudang. Aku berencana membongkar sebuah kardus berisi komik yang tidak pernah lagi dikeluarkan sejak kepindahan kami.

Kubawa keluar kardus itu ke ruang tamu. Sambil duduk di lantai, aku mulai membongkar isinya satu per satu. Aku sengaja melakukannya pelan-pelan. Setelah mengeluarkan satu komik, aku akan mengingat kembali jalan ceritanya.

Aku memisahkan komik-komik itu menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah komik yang sudah terlupakan dan ingin kubaca kembali. Sementara kelompok kedua adalah komik yang saking membosankannya, akan kukembalikan lagi ke dalam kardus.

Hal itu ternyata cukup menyita perhatianku. Meski tidak kumungkiri bahwa aku masih beberapa kali melirik ke ponsel yang kuletakkan di dekatku agar aku tahu bila nanti Igor menghubungiku.

Setelah satu jam lebih berkutat dengan komik yang baunya sudah sedikit apek, aku harus kembali menelan kekecewaan. Igor sepertinya sudah melupakanku. Lagipula sudah tidak ada gunanya lagi mencariku bila sudah ada Chiara bersamanya.

Tiba-tiba, saat tanganku hendak mengeluarkan tumpukan komik paling bawah, mataku menangkap ada sebuah amplop cokelat yang terselip di sana dalam kondisi terlipat. Setahuku semua surat penting sudah dipisahkan ke dalam map plastik biru. Lalu apa yang terselip di sana? Meski saat pindahan, aku yang mengemas kardus itu, aku sama sekali tidak ingat pernah memasukkan amplop cokelat itu ke dalamnya.

Sungguh, aku tidak punya ekspektasi apa pun saat mengeluarkan isi di dalamnya, tetapi apa yang kutemukan jauh di luar dugaanku. Amplop itu berisi hadiah yang pernah diberikan Felix saat ulang tahunku yang kedua puluh empat.

Menemukan hadiah itu membuatku pikiran kembali mengingat Felix. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Meski kami tinggal satu kota, tidak pernah sekali pun kami bertemu. Jangankan dengan sosoknya, berpapasan dengan mobilnya di jalan pun sudah tidak pernah lagi terjadi.

Sebelum pikiranku menggali terlalu dalam kenangan tentang Felix, terdengar notifikasi pesan masuk di ponselku. Tanpa bisa dicegah, harapanku melambung mengira bahwa Igor yang mencariku, tetapi sedetik kemudian bahkan sebelum aku meraih ponselku, aku sadar bahwa tidak mungkin pesan itu dari Igor. Aku sendiri yang mengatur agar tidak ada bunyi apa pun khusus untuknya.

Nama Tiffany muncul di layar ponselku. Dia mengirimkan sebuah foto. Firasatku sudah tidak enak bahkan sebelum aku membukanya. Aku dan Tiffany sangat jarang berkirim pesan, jadi rasanya pasti ada sesuatu yang tidak beres sampai dia harus mengirimkan sebuah foto untukku.

Dengan sedikit ragu, kubuka pesan darinya. Seketika jantungku berdegup begitu kencang. Aku tidak siap dengan apa yang kulihat. Entah dari mana Tiffany memperolehnya. Di foto itu, tampak Igor yang sedang bersama seorang wanita. Aku masih ingat wajah wanita itu meski hanya satu kali melihatnya. Wanita itu Chiara.

Mereka tampak sedang makan malam berdua di sebuah restoran mewah yang berada di puncak sebuah gedung. Aku mengetahuinya dari latar belakang foto itu. Tampak pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap cahaya lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berdiri di sekitar tempat mereka berada.

Mereka memang tidak bermesraan, bahkan tidak terjadi kontak fisik di antara keduanya, tetapi entah mengapa, melihat mereka berdua duduk satu meja dengan pemandangan yang begitu romantis dan senyum yang terukir di wajah mereka membuat perasaanku begitu kecewa.

Seakan-akan untuk membuatku makin menderita, Tiffany melingkari deretan angka yang terletak di sudut kiri bawah foto itu. Foto itu diambil tepat pada hari ulang tahun Igor. Hal itu makin diperkuat dengan adanya sebuah kotak hitam kecil yang masih terikat pita di atas meja mereka. Aku menduga bahwa itu adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh Chiara untuk Igor.

Tiba-tiba saja aku merasa begitu rendah diri. Hadiah dari Chiara pasti sesuatu yang harganya mahal. Aku langsung membayangkan beberapa benda yang harganya mungkin setara dengan setengah bulan gajiku. Sungguh tidak sebanding dengan pemberianku yang hanya sebuah kue ulang tahun!

Meski sudah mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan terpahit sekalipun, tetapi saat kenyataan itu dilemparkan ke depan wajahku, tetap saja membuatku begitu terpukul. Sudah tidak ada lagi yang bisa kuharapkan. Igor meninggalkanku untuk kedua kalinya.

Suasana hatiku yang sejak pagi sudah berantakan, bertambah parah. Komik yang sudah bertebaran di lantai tidak lagi menarik minatku. Kumasukkan kembali ke dalam kardusnya, bahkan dengan susunan yang lebih berantakan daripada sebelumnya.

Saat aku baru saja hendak memasukkan amplop cokelat dari Felix itu. Sebuah ide gila terbersit di benakku. Apa Felix sempat membatalkan paket perjalanan ke Yogyakarta itu dan mengambil kembali uangnya? Bila dia tidak melakukan itu, apa ada batas waktu kedaluwarsanya? Bukankah Felix sendiri yang bilang aku bisa mengisi tanggalnya sesuka hatiku? Seandainya pun memang ada perubahan tarif, bukankah itu berarti aku hanya perlu membayar kekurangannya?

Kupastikan, aku akan mengurusnya ke kantor travel tempat Felix memesan paket liburan untuk kami. Dari alamat yang tertulis di kwitansinya, jarak dari kantorku tidak terlalu jauh. Aku bisa datang ke sana saat jam istirahat siang.

Bila semuanya sudah beres, akan kuurus cutiku untuk empat hari ke depan. Lagipula, hari itu bertepatan dengan pertengahan bulan. Aku biasanya paling sibuk di awal dan akhir bulan. Jadi, seharusnya aku bisa tenang meninggalkan rumah dan rutinitasku untuk menenangkan diri.

Igor bisa saja menghilang tanpa memberitahuku, aku pun bisa melakukan hal yang sama. Bila nanti dia kembali dengan nama Chiara Merci di hatinya, aku akan kembali dengan tidak ada lagi nama Igor Ferdinand di hatiku!

Kita yang Terhubung oleh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang