Keesokan harinya, Lisa, Eunwoo, dan yang lain masuk sekolah seperti biasa. Mereka berjalan menelusuri koridor menuju kelas masing-masing. Namun, sebelum itu, Eunwoo mengantar Lisa ke kelasnya terlebih dahulu.
Sepanjang perjalanan, banyak tatapan kagum dan sinis yang tertuju kepada mereka. Penampilan fisik kelima orang tersebut tak bisa dipungkiri menarik perhatian banyak siswa. Ada yang menyukai mereka, tetapi tak sedikit pula yang merasa iri atau tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Wajah dingin dan ekspresi datar yang mereka tampilkan semakin menambah kesan bahwa mereka sulit untuk didekati.
"Sepulang sekolah, jangan ke mana-mana. Kita harus segera pulang," ucap Eunwoo dengan nada tegas, disetujui oleh Ten, Bambam, Seulgi, dan Lisa.
"Masuklah!" perintah Eunwoo sambil mengacak poni Lisa dengan tangan ringannya.
"Aish! Aku sudah merapikan poni ini dengan susah payah!" Lisa berdecak kesal sebelum melangkah masuk ke kelasnya.
Eunwoo dan yang lainnya terkekeh kecil sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju kelas mereka yang kebetulan berada di tempat yang sama.
Setelah berada di dalam kelas, Lisa segera duduk di pojok kanan paling belakang, tepat di sebelah jendela. Tak lama kemudian, Rosé masuk dan langsung menghampiri Lisa dengan langkah cepat.
"Annyeong," sapa Rosé sambil duduk di sebelah Lisa. Dia menopang dagunya dengan kedua tangan dan menatap Lisa penuh rasa ingin tahu.
"Eoh, annyeonghaseyo, eonnie," balas Lisa sopan.
"Lisa-ya, aku dengar kemarin malam kau mengantar eonnie-ku pulang, ya?" tanya Rosé sambil memiringkan kepala.
"Eum, ya. Kebetulan aku sedang di tempat yang sama dengannya," jawab Lisa dengan sedikit ragu.
"Jangan bilang kau yang menyetir motor!" ucap Rosé, suaranya terdengar khawatir. Mendengar kabar bahwa Lisa mengantar kakaknya naik motor membuat Rosé terkejut. Meski baru mengenal Lisa, ia sudah merasa cukup peduli.
Lisa buru-buru menggeleng. "Aniyo, eonnie. Aku bersama Ten oppa dan Bambam oppa. Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada mereka."
Rosé menghela napas lega. "Baiklah, aku tidak perlu menanyakannya. Tapi... mereka terlihat begitu dingin. Dan kau juga, Lisa-ya. Wajahmu datar sekali saat bersama mereka. Aku bahkan ragu-ragu ingin menyapamu."
Lisa tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat dari wajahnya. "Mereka tidak seserius itu, kok. Kalau eonnie mengenal mereka lebih dekat, mereka malah bisa menyebalkan."
"Benarkah? Aku sulit percaya," Rosé tertawa kecil. "Tapi, lihat dirimu sekarang, bukankah kau sedang tersenyum?"
"Ah, iya... aku memang berusaha tersenyum lebih sering, " jawab Lisa sambil mengangguk.
Sejujurnya, Lisa bukan tipe orang yang pandai mengekspresikan perasaannya. Di dunianya yang terdahulu, ia lebih sering menghabiskan waktu sendirian, ditemani oleh buku atau gurunya. Jiyong, ayahnya, jarang sekali hadir dalam kehidupannya. Hal inilah yang membuat Lisa jarang menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya. Namun, setelah bertemu dengan Eunwoo, Ten, Bambam, June, dan Seulgi, dia mulai merasa seperti memiliki keluarga baru, dan itu mengubah sedikit cara pandangnya.
"Tersenyumlah lebih sering. Kau terlihat manis saat tersenyum," ucap Rosé sambil mencubit pipi Lisa dengan lembut.
"Aw, eonnie! Jangan cubit pipiku! yak ku adukan ke Appa Ji" Lisa mengeluh sambil meringis, meskipun dia tidak benar-benar marah.
Rosé tertawa kecil sebelum bertanya, "Ngomong-ngomong, tadi kau mengatakan sesuatu tentang 'Appa Ji'. Siapa itu?"
Lisa tersentak dan dengan cepat menutup mulutnya, sadar bahwa ia hampir mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak ia katakan. "Ah... itu... bukan siapa-siapa. Guru sudah datang, eonnie, lebih baik kau kembali ke tempat dudukmu," ujarnya cepat, mengalihkan pembicaraan.
Rosé mengerutkan dahi sejenak, tetapi akhirnya berdiri sambil mengangguk. "Baiklah. Tapi, lain kali kau harus cerita padaku, ya."
Lisa hanya tersenyum kecil sebelum melanjutkan memperhatikan pelajaran.
Ketika jam istirahat tiba, Wendy, Jennie, Rosé, dan Lisa duduk bersama di kantin. Sebenarnya, Eunwoo meminta Lisa untuk langsung pergi ke tempat rahasia saat jam istirahat, tetapi Rosé sudah terlanjur menariknya ke kantin.
"Lisa-ya, pelan-pelan makanannya. Nanti kau tersedak!" ucap Rosé dengan nada lembut, melihat Lisa makan nasi goreng kimchi dengan lahap.
Belum selesai Rosé berbicara, Lisa tiba-tiba tersedak. "Uhuk, uhuk!" Suara batuk Lisa terdengar keras.
Rosé dengan cepat menyodorkan segelas air minum kepada Lisa. "Minumlah dulu."
"Terima kasih, eonnie," kata Lisa sambil meminum airnya. Dia mengusap-usap perutnya yang sudah kenyang.
"Lisa-ya, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tiba-tiba Wendy berbicara.
"Tentu, eonnie. Apa yang ingin kau tanyakan?" jawab Lisa dengan sopan.
"Kau dekat sekali dengan Eunwoo dan yang lain. Bagaimana kau bisa loncat kelas dua? Dan apa benar kau pernah tinggal di Swiss?"
Lisa terdiam sejenak, berpikir sebelum menjawab. "Hmm, baiklah. Pertama, aku dekat dengan Eunwoo oppa dan yang lain karena mereka sudah seperti keluarga bagiku. Meskipun kami bukan saudara kandung, kami sangat akrab. Kedua, aku bisa loncat kelas karena aku memiliki kemampuan memahami materi dengan cepat. Dan terakhir, ya, aku memang pernah tinggal di Swiss bersama ayahku."
Wendy mengangguk, tampak puas dengan jawaban itu. Namun, dia kembali bertanya, "Kalau begitu, bagaimana dengan ibumu?"
Lisa tiba-tiba terdiam. Senyum tipisnya hilang seketika. "Ibuku meninggal saat melahirkanku, eonnie."
Wendy langsung menunduk, merasa bersalah. "Maaf, Lisa-ya. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu."
Lisa tersenyum pahit. "Gwaenchana, eonnie. Tidak apa-apa. Jangan khawatir."
Rosé dan Jennie yang duduk di sebelah mereka hanya saling berpandangan, tampak prihatin namun tidak ingin memperpanjang suasana.
"Lisa-ya," Jennie tiba-tiba berbicara. "Malam ini, kau mau ikut kami pergi ke pasar malam?"
"Eodilo?" tanya Lisa sambil memiringkan kepalanya.
"Ke pasar malam, tentu saja," jawab Rosé dengan mata berbinar.
Lisa berpikir sejenak, tapi sebelum ia bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara di dalam kepalanya, suara yang familiar.
"Jangan pergi. Ini terlalu berbahaya malam ini. Jika mereka bertanya, katakan saja kau ada urusan keluarga."
Lisa menunduk sedikit dan berkata, "Mianhae, eonnie. Aku tidak bisa ikut. Ada urusan keluarga yang harus kuhadiri malam ini."
Rosé langsung memanyunkan bibirnya dengan kecewa. "Aigoo, kau benar-benar tidak bisa? Aku ingin sekali pergi bersamamu."
Lisa menggeleng pelan. "Jeongmal mianhae, eonnie. Mungkin lain kali."
"Baiklah, kalau begitu. Lain kali kita harus pergi bersama, ya!" ujar Rosé dengan nada penuh harapan.
Wendy yang sedari tadi mendengarkan tiba-tiba berkata, "Oh, aku ingat! Malam ini akan ada gerhana bulan, jadi mungkin langit akan lebih gelap."
"Benarkah?" Rosé tampak bingung.
"Ya, tapi itu justru bagus. Saat bulan meredup, bintang-bintang akan terlihat lebih terang," jelas Wendy.
"Malam yang sempurna untuk melihat bintang, kan?" Lisa menambahkan, mengingat momen-momen di dunia werewolf saat ia sering melihat bintang bersama ayahnya.
"Waah, jinjja?!" Rosé, Jennie, dan Wendy kompak mengucapkan hal yang sama.
Lisa hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different World [On Going]
Fantasy"Aku memang bukan manusia" ... "Ini tidak masuk akal" Rosè "Aku terlanjur menyayangimu walaupun kamu berbeda" Jennie "Bagaimanapun kita tetap saudara" Jisoo "Kami sudah lama menunggumu" Jisoo Jennie Rosé Ketiga gadis Kim dikelilingi bahaya. Akankah...