DELAPAN BELAS: PICK UP

5 2 0
                                    

Aditya melihat beberapa lembar hasil ulangan hariannya di taman sekolah, ia duduk merenung sendiri. Ia kembali mempertanyakan dirinya sendiri. Lagi-lagi nilainya turun, ia berada di peringkat dua, dan Risha peringkat pertama. Aditya bukannya ambisius ingin selalu peringkat pertama. Ia juga bukannya iri pada Risha. Tapi memang nilai-nilainya yang turun, dan ia sedang menyalahkan dirinya sendiri. Alisnya bertaut dan keningnya berkerut semakin dalam. Ia sedang memikirkan, apa saja yang ia lakukan selama di kelas XI hingga nilai-nilainya turun. Meski orang-orang di sekitarnya berusaha menghiburnya, mulai dari teman-temannya dan guru-gurunya, yang memaklumi karena memang kesibukan Aditya yang cukup padat di kelas XI mulai dari Ketua OSIS, lomba KIR, olimpiade matematika, dan kepanitiaan-kepanitiaan lain di sekolahnya, tapi Aditya sama sekali tidak terhibur.

Plak!

Suara tepukan yang cukup keras diarahkan ke bahu kanannya. Tidak sakit, karena yang digunakan memukul bahunya hanya beberapa lembar kertas hasil ulangan harian milik Risha. Aditya tidak menoleh, ia hanya melirik orang yang baru saja menepuk bahunya tersebut dengan tatapan tidak suka karena telah mengganggu waktu sendirinya.

"Whoah! Bisa juga lo punya ekspresi kayak gitu, gue kira kalem-kalem aja," seru Risha sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kirinya karena terkejut dengan ekspresi Aditya. Aditya hanya diam tak menanggapi komentar Risha.

"Ngapain lo di sini? Tumben-tumbenan sendirian aja, Liana mana?" tanya Risha bertubi-tubi. Aditya hanya mengangkat bahunya malas.

"Serius ini lo, Dit?" Risha masih heran dengan sikap Aditya yang baru ia lihat ini.

"Lo mau apa ke sini?" tanya Aditya balik dengan nada malas.

"Enggak papa, gue lagi pingin jalan-jalan aja, terus liat lo sendirian di sini, kayaknya serius banget." Aditya hanya mengembuskan napasnya. Melihat reaksi Aditya tersebut, Risha berusaha menyelidik. Ia melihat kertas-kertas hasil ulangan harian yang sedang digenggam oleh Aditya.

"Lo masih kepikiran sama nilai-nilai lo?" Aditya tidak menjawab, tapi Risha yakin jawabannya "iya".

"Ga usah dipikirin kali, Dit. Manusia kan nggak sempurna, lo juga manusia biasa. Ga mungkin lah lo embat semua, udah Ketua OSIS, pinter, ganteng, tanggung jawab, punya pacar cantik. Ya sekali-sekali lo nikmatin lah sesuatu yang nggak bisa lo dapetin, contohnya nilai-nilai lo itu. Lagian juga nilai lo nggak anjlok banget, itu juga masih ulangan harian." Risha menunggu reaksi Aditya, tapi ia menoleh pun tidak.

"Ya kali, Dit, kalo nilai lo tetep bagus semua dengan segala kesibukan lo selama ini, itu artinya lo udah level dewa, bukan manusia lagi. Jangan perfeksionis banget apa jadi orang! Entar gampang stress, loh!" Aditya akhirnya menoleh pada Risha dan tersenyum tipis.

"Thanks!" ucap Aditya lalu berdiri dari tempat duduknya lalu menepuk pelan bahu Risha dengan kertas-kertas yang ia genggam.

"Gue balik dulu," ucapnya sambil melambaikan tangan pada Risha. Risha hanya balas tersenyum.

"... lo nikmatin lah sesuatu yang nggak bisa lo dapetin ..."

Ucapan Risha masih terngiang-ngiang di kepala Aditya. Aditya tersenyum samar sambil menggeleng pelan.

---

Risha baru saja keluar dari rumah dan sedang membuka gerbang rumah untuk mengeluarkan sepedanya. Tapi baru saja gerbang sedikit terbuka, ia sudah dikagetkan oleh sesosok manusia yang berdiri sejak tadi menunggunya di depan gerbang.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Risha dengan nada ketus.

"Mau jemput lo buat berangkat ke sekolah bareng," jawab remaja pria tersebut dengan senyum ramah, terlewat ramah malah.

"Gak perlu repot-repot, gue bisa berangkat sendiri."

"Gak repot kok, Sayang. Gue dengan senang hati bersedia antar-jemput lo setiap hari." Risha hanya mendesah mendengar jawaban remaja blasteran tersebut, ya, itu Leo. 

Tak ingin peduli padanya, Risha kembali masuk dan menuntun sepedanya keluar. Meladeni Leo hanya buang-buang tenaga. Tapi tetap saja Leo keras kepala, ia berdiri menghadang Risha yang akan mengeluarkan sepedanya.

"Ck! Minggir nggak lo?!" ancam Risha masih dengan nada ketus. "Mau gue tabrak?"

"Gimana sih sepeda gini doang mau nabrak gue?" Leo tersenyum miring sambil menahan sepeda Risha dengan tangannya, tentu saja mempesona. Tapi Risha sudah terlanjur sebal, sehingga bukannya terpesona malah muak. Risha berusaha membebaskan sepedanya dari tangan Leo, tapi tenaganya kalah besar. Sepagi ini Risha sudah bad mood dibuatnya. Risha pun melipat tangannya di depan dada sambil menatap Leo sebal. Risha mendengus, tapi Leo justru tertawa. Mereka berdua tidak menyadari kalau ada mobil lain yang berhenti di depan rumah Risha.

"Sorry, Risha sama gue, lo bawa aja sepedanya," ucap Nara tiba-tiba mengagetkan Risha dan Leo. Kemudian tanpa peringatan ia langsung mengambil tangan Risha yang sedang terlipat lalu menggiringnya masuk ke mobilnya.

"Lo kenapa bisa ke rumah gue? Lo tau kalo Leo bakal ke rumah gue juga?" tanya Risha yang penasaran saat mereka sudah dalam perjalanan ke sekolah. Nara menjawabnya dengan mengangguk, tapi Risha masih tidak puas dengan jawaban tersebut.

"Gue tau banget Leo itu persisten. Kalo dia pingin sesuatu dia bakal berusaha segigih mungkin buat dapetin sesuatu yang dia mau itu." Nara melirik Risha yang melongo mendengar penjelasannya. Nara tahu bahwa Risha masih belum paham maksudnya hingga membuatnya gemas sendiri melihat wajah Risha.

"Dia mau elo, Risha!" tegas Nara sambil mengacak gemas rambut Risha yang saat ini sedang dikepang dua dengan sedikit anak rambut yang membingkai wajah ovalnya. Risha mendesis sambil merapikan rambutnya, ia paling tidak suka kalau ada orang mengacaukan tatanan rambutnya.

"Jadi dia serius suka sama gue?" Risha bertanya untuk memastikan.

"Leo nggak pernah nggak serius kalo dia bilang suka sama seseorang."

"Oh my God!" Risha menepuk jidatnya sambil kembali menghadap ke jalanan di depannya, masih tidak menyangka dengan kenyataan yang baru saja dia terima. Nara hanya tersenyum tipis ketika melirik Risha yang sedang membuat ekspresi lucu di wajahnya.

"Menurut lo besok dia bakal ke rumah gue lagi nggak?" tanya Risha yang sudah mulai mencerna semua informasi tersebut.

"Mungkin, kemungkinannya 99%."

"Hah?!" Risha kembali melongo dan sekali lagi membuat Nara tersenyum.

Risha menggaruk rambutnya yang tak gatal. Bola matanya mulai bergerak ke kanan dan ke kiri. Nara sudah hafal kebiasaan Risha yang menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri saat ia sedang berpikir keras. Memang benar, Risha sedang memikirkan cara untuk menghindar dari Leo esok.

"Tenang aja, besok gue jemput lagi," ucap Nara menenangkan sambil mengacak rambut Risha.

"Iiih, jangan berantakin rambut gue!" protes Risha yang hanya dibalas senyuman oleh Nara.

---

PRETENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang