Aku tahu aku tidak punya kesempatan meski aku yang menemukannya lebih dulu. Aku yang pertama berkenalan dengannya di hari pertama masuk SMP. Aku yang mengenalkannya pada Gana, dan di hari yang sama aku tahu bahwa perasaanku bertepuk sebelah tangan. Melihat mereka berdua sungguh menyakitkan. Mengapa Gana tidak segera menyatakan perasaannya saja pada Liana dan segera menjadi pasangan? Maka aku tidak akan lagi menyimpan harapan kosong ini. Setidaknya aku bisa menyerah pada perasaanku tanpa penyesalan. Tapi mengapa mereka terus menyiksaku seperti ini? Membuatku terus berharap tapi tak membiarkanku punya kesempatan.
Aku tahu aku tidak punya harapan. Tapi sore ini sepulang sekolah, aku ingin setidaknya mencoba sekali. Sejak awal aku memang tidak mengharapkan apa-apa. Jika ia menolakku, aku benar-benar akan berhenti. Tapi jika ia menerimaku, kuanggap ini hanya kesempatan yang ia berikan padaku.
"Lian, aku suka kamu, mau jadi pacarku?" ucapku tiba-tiba saat kami sudah tiba di depan rumahnya dengan mengendarai mobilku. Liana terkejut dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana reaksinya. Aku menghadap ke depan sambil memejamkan mata.
"Aku..."
"Kamu nggak perlu jawab sekarang," potongku setelah membuka mata. Meski aku tahu pasti apa jawabannya, tapi aku tidak ingin mendengarnya sekarang. Setidaknya beri aku waktu.
"Kamu pikir dulu aja, tiga hari, cukup?" tawarku sambil tersenyum menatapnya. Ia tampak gugup dan bimbang, tapi kemudian ia mengangguk. Aku bernapas lega karenanya. Aku tidak berharap dalam tiga hari perasaannya berubah, tapi mungkin ia bisa berubah pikiran.
---
Aku membaca chat di ponselku dari Gana, kemudian aku menatap langit-langit kamarku. Apakah aku harus menunggu Gana? Atau aku terima saja perasaan Ditya? Aku menghela napas berat kemudian menelungkupkan wajahku ke bantal. Kudengar ada yang membuka pintu kamarku dan duduk di sisi ranjangku. Aku bisa merasakan pergerakannya, pasti Leo, adikku.
"Kenapa lo?" tanyanya sambil memukul kepalaku dengan bantal. Melihat Leo, aku jadi ingin sedikit melakukan survey.
"Kalo... lo suka sama cewek, tapi lo malah ditembak cewek lain, terus lo pilih yang mana?" tanyaku penuh nada penasaran.
"Jadi, lo ditembak Ditya, tapi sukanya sama Nara?" Leo langsung bisa menebak arah pembicaraanku. Aku kembali menelungkupkan wajahku dan Leo kembali memukul kepalaku.
"Terima aja sih, Ditya," jawabnya enteng.
"Tapi Gana?"
"Emang udah pasti Nara suka sama lo?"
"Kayaknya sih." Aku melirik ke tempat lain karena setengah yakin, setengah tidak.
"No no no!" Leo menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
"Jangan percaya sama cowok sebelum dia bilang suka! Kalo akhirnya dia jadian sama cewek lain, lo bakal bilang dia ngasi PHP doang, padahal lo-nya aja yang terlalu berharap. Nggak ada yang namanya PHP kalo nggak ada harapan," terang Leo.
"Lagian Ditya not bad lah. Kalo Nara beneran suka sama lo, dia bakal nyoba ngerebut lo dari Ditya. Menurut gue ini cara yang bagus buat nyadarin perasaan Nara ke lo," tambahnya lagi.
Aku hanya mengangguk-angguk. "Gitu?" tanyaku memastikan. Leo mengangguk mantap.
---
Hari ini adalah hari yang dijanjikan itu. Ya! Hari ini aku akan mendengar jawaban dari Liana. Aku sudah menyiapkan diri jika akhirnya aku ditolak. Sabtu ini kami berjanji bertemu di rumahnya. Kami berdua masih duduk di teras rumah Liana tanpa suara.
"Ditya..." Liana menyebut namaku tapi aku tidak berani menoleh. Aku sudah cukup hanya dengan mendengar jawabannya saja.
"Aku mau jadi pacar kamu," lanjutnya membuatku menoleh tak percaya.
Sudah kubilang, aku tahu bahwa aku tidak bisa mengubah perasaannya, tapi mungkin saja ia berubah pikiran. Aku tersenyum menatapnya dan aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku saat ini.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
PRETENDING
Teen FictionRisha cuma pura-pura jadi fans Nara supaya punya banyak teman perempuan. Risha tidak ingin masa-masa SMA-nya berakhir seperti masa-masa SMP-nya yang tidak punya teman karena ia memiliki selera yang berbeda dengan teman-temannya. Karena sebagian besa...