DUA PULUH TIGA: PERASAAN

6 1 0
                                    

"Liana, kita putus aja ya..." ucap Aditya sambil tersenyum tipis.

Liana hanya membeku. Senyumnya tiba-tiba lenyap berganti dengan ekspresi kebingungan. Ia pikir mungkin Aditya bercanda, tapi situasinya terlalu serius untuk dijadikan bercandaan. Otaknya masih mencoba berpikir apa yang sebenarnya terjadi. 

"Putus?" bisik Liana karena tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Iya, putus." Aditya menegaskan meski masih menggunakan suara yang lembut.

"Kenapa?" Liana membatin tapi tanpa sadar suaranya ikut keluar seperti berbisik. Ia juga terkejut saat mendengar suaranya sendiri.

"Masalahnya apa?" Liana mulai bisa mengumpulkan pikirannya kembali meski masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sampai beberapa menit yang lalu mereka tampak seperti pasangan yang bahagia. Ia tidak mengerti kenapa Aditya tiba-tiba memintanya putus. 

"Aku salah apa?" tanya Liana lagi.

Aditya tersenyum miris sambil menolehkan kepalanya ke arah lain karena tidak ingin melihat wajah Liana saat ini.

"Kamu bodoh, Lian." Aditya kembali menatap Liana. "Aku nggak tahu kenapa kamu terus mempertahankan hubungan ini padahal orang yang kamu sukai bukan aku, tapi Gana."

Liana menutup mulutnya, terkejut karena Aditya ternyata mengetahui bahwa ia menyukai Nara.

"Sejak kapan?" tanya Liana tertahan.

"Sejak awal, bahkan sejak sebelum kita pacaran aku tahu bahwa kamu suka Gana. Aku nggak ngerti apa yang bikin kamu nerima aku waktu itu, tapi kayaknya sekarang aku sedikit paham." Aditya kembali tersenyum miris sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya.

"Aku pikir mungkin seiring berjalannya waktu kamu bakalan bisa suka sama aku. Tapi kayaknya aku terlalu memaksakan diri." Aditya menertawakan dirinya sendiri. "Aku terlalu percaya diri bahwa aku bisa dapetin semua yang aku mau asalkan aku berusaha, tapi ternyata emang ada hal-hal yang nggak bakal bisa aku miliki walaupun aku udah usaha."

Mata Liana sudah berkaca-kaca mendengar pengakuan Aditya. Ternyata selama ini Aditya menyimpan perasaannya sendirian. Selama ia berpacaran dengan Aditya, Aditya selalu perhatian padanya dan selalu mencoba memahaminya. Aditya juga tidak pernah memaksakan kehendaknya meski ia tahu bahwa Liana menyukai orang lain. Liana sudah ingin menangis, tapi ia tidak ingin menangis di depan Aditya.

"Aku salah udah ngajak kamu pacaran padahal kenyataannya kamu suka orang lain, tapi kamu bodoh udah nerima aku padahal kamu suka orang lain. Aku tahu kamu cuma pingin memancing kecemburuan Gana supaya dia sadar dengan perasaannya ke kamu, tapi kamu bodoh karena nggak memperhitungkan kalo Gana bisa aja justru move on dari kamu."

Liana membelalakkan matanya, terkejut dengan kenyataan tersebut.

"Maaf aku bikin hubungan kita bertiga jadi runyam dan rumit begini," sesalnya sambil tertunduk dan kembali menggelengkan kepalanya.

"Ditya... aku yang harusnya minta maaf," ucap Liana sedih. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa, yang ia tahu ia harus benar-benar minta maaf pada Aditya, karena entah sadar atau tidak, selama ini ia sudah menyakiti perasaan Aditya.

---

Aditya mengantarkan Liana pulang meski suasana di antara mereka terasa canggung. Tidak ada obrolan di dalam mobil. Mereka berdua telah sepakat untuk putus. Meski begitu Aditya mengatakan bahwa mereka bisa tetap berteman seperti sedia kala sebelum mereka pacaran.

Aditya menurunkan Liana di depan rumahnya. Setelah itu ia kembali menjalankan mobilnya. Tapi tak berselang lama Aditya menghentikan mobilnya dan melirik kaca spion belakang. Ia melihat Liana belum masuk ke dalam rumah dan sedang membuka ponselnya seperti sedang mengetikkan sesuatu. Aditya tahu apa yang sedang Liana lakukan dan apa yang akan Liana lakukan. Ia tahu bahwa Liana akan menemui Nara. Meski sudah putus tapi hatinya masih nyeri. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba mengatur napas. Setelah tenang, ia kembali menyalakan mesin mobilnya dan melanjutkan perjalanannya.

Setelah turun dari mobil Aditya, air mata Liana langsung menetes. Ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Meski ia tidak menyukai Aditya, tapi ia menyayangi Aditya sebagai temannya. Ia sedih karena selama ini ia telah menyakiti Aditya. Ia terisak di depan rumahnya, ia tidak bisa masuk rumah dengan kondisi seperti ini karena orang tuanya pasti akan bertanya macam-macam padanya. Ia mengeluarkan ponselnya dan segera memesan ojek online.

Tak lama, ojek online tersebut tiba di depan rumahnya dan membawanya ke lokasi tujuan. Ia ragu untuk melewati pagar rumah di depannya. Tapi setelah memantapkan hati, ia membuka pagar yang tidak terkunci itu, lalu memasuki halaman rumah yang sudah sering ia kunjungi. Liana memencet bel rumah yang terdapat di samping pintu. Seseorang membukakan pintu, dan beruntung sekali itu Nara. Tanpa aba-aba, ia langsung memeluk Nara.

"Ganaaa..."

---

Nara mempersilakan Liana untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Nara memberikannya minum agar ia lebih tenang. Tapi sejak tadi Liana tidak juga membuka mulutnya. Ia hanya sibuk memandangi gelas yang berisi air di tangannya.

"Kalian putus?" tanya Nara akhirnya. Liana sedikit tersentak, sejak tadi ia melamun sehingga ia sedikit terkejut ketika mendengar suara Nara. Liana pun akhirnya mengangguk pelan dengan wajah sedih.

"Kenapa?" tanya Nara lagi, tapi Liana tetap diam tidak ingin menjawab. Nara mengembuskan napas berat.

"Ya udah, kalo nggak mau cerita nggak usah cerita," ucap Nara lembut.

"Gue cuma mau nenangin diri sebentar di sini, karena gue nggak mau pulang dalam kondisi kayak gini. Gue di sini dulu boleh kan?" tanya Liana dengan wajah memelas. Nara kembali mengembuskan napas berat.

"Iya, tapi jangan pulang malam-malam, bahaya!" Nara mengingatkan. Liana kembali mengangguk.

"Gue keluar sebentar," ucap Nara kemudian membuat Liana kembali terkejut. Liana sedikit kecewa, ia berharap Nara bisa sedikit menghiburnya dan tetap menemaninya meski ia tidak mengatakan apa-apa. Tapi ia tetap mengangguk membiarkan Nara pergi.

Nara berjalan ke luar rumahnya menuju mobilnya yang terparkir di depan rumahnya. Ia mengambil buku catatannya yang Risha letakkan di atas kap mobil. Ia menatap buku itu dengan tatapan sedih. Hari ini ia berhasil bertemu Risha, tetapi situasinya justru tidak baik. Ia ingin tahu apakah Risha sampai di rumah dengan selamat. Ia mencoba menelepon Risha, tetapi tidak ada jawaban membuat jantungnya berdetak tak karuan karena khawatir. Ia kembali meneleponnya, dan lagi-lagi tidak ada jawaban. Ia lalu melihat Liana sudah ada di depan pintu rumahnya.

"Gue udah mendingan, gue pamit pulang dulu, ya!"

Nara mengangguk. "Mau gue anterin pulang?" Liana hanya menunduk. Ia tampak bimbang harus menerima tawaran tersebut atau tidak.

"Gue anter pulang aja daripada ada apa-apa di jalan," putus Nara akhirnya.

Bolehkah Liana sedikit berharap? Nara tampak masih perhatian padanya. Mau tidak mau ia kembali merasakan debaran itu. Kini ia sudah putus dengan Aditya, apakah masih ada kesempatan bagi mereka untuk bersama? Meski Nara saat ini masih berpacaran dengan Risha, tapi ia rasa ia masih lebih unggul dibandingkan Risha. Ia lebih cantik dan lebih lama mengenal Nara, dan meski tak yakin, ia merasakan bahwa Nara juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Ia juga merasa bahwa hubungan Nara dan Risha tak sungguh-sungguh.

Selama di perjalanan, Nara hanya diam, Liana juga tak ingin membahas apa-apa. Tapi sejak tadi Liana memperhatikan bahwa Nara terus sibuk dengan ponselnya. Wajah Nara juga tampak seperti sedang gusar.

"Kenapa, Gan? Bahaya lho nyetir sambil lihat HP!" Liana mengingatkan.

"Dari tadi gue nelpon Risha nggak diangkat, gue khawatir," ucap Nara tanpa berusaha menyembunyikan wajah cemasnya. 

Liana terdiam. Hatinya terasa nyeri. Apakah prasangkanya salah?

"...tapi kamu bodoh karena nggak memperhitungkan kalo Gana bisa aja justru move on dari kamu."

Kata-kata Aditya kembali terngiang di telinga Liana.

---

PRETENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang