Ujian semester genap dimulai minggu depan. Siswa-siswi mulai sibuk mempersiapkan diri. Bel pulang sekolah sudah berdering setengah jam yang lalu, tapi sekolah masih ramai dengan siswa-siswi yang meng-copy catatan, mengerjakan soal-soal latihan, atau sekedar belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Risha bukan bagian dari mereka. Ia tahu benar apa yang ia cari, Falco.
Risha berjalan menyusuri koridor kelas XI sambil matanya mencari sosok seniornya itu. Di depan kelas Falco, Risha melambatkan langkahnya, kepalanya menoleh ke arah kelas Falco, tapi ia tak menemukan Falco di sana. Risha memutar bola matanya ke kanan dan ke kiri, berpikir kira-kira di mana Falco berada.
Kaki Risha pun melangkah menuju perpustakaan sekolah. Matanya kembali bergerilya menjelajah segala penjuru perpustakaan. Ia menemukan trio Nara-Liana-Aditya, tapi ia skip saja pemandangan itu hingga akhirnya matanya berhasil menangkap sosok Falco. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Risha berjalan mendekat, tapi ia tidak ingin mengganggu Falco yang sedang belajar. Ia hanya ingin menikmati wajah serius Falco ketika ia sedang berpikir. Menurut Risha, Falco paling keren saat sedang belajar dengan serius. Saat itu Falco tampak sangat berbeda dengan Falco yang biasanya santai dalam menanggapi sesuatu.
Falco seperti remaja pria pada umumnya. Bukan tipe yang terlalu kutu buku dan introvert, tapi bukan juga yang terlalu aktif berorganisasi. Ia sama seperti teman-teman seusianya yang suka bermain basket dan sepak bola. Ia juga menyukai musik-musik band. Sesekali ia pernah terlambat ke sekolah, atau menggambari buku catatannya dengan kartun favoritnya ketika sedang mengantuk di kelas. Falco bukan siswa sempurna, tapi yang Risha tahu, Falco tekun mengejar impiannya untuk berguna bagi negara. Itulah yang Risha kagumi dari Falco.
Risha tersenyum ketika sedang memikirkan Falco. Ia berjarak dua meja di depan Falco. Jarak itu tidak terlalu jauh, tapi Falco tidak menyadari keberadaanya karena sedang fokus menyusun resumenya. Tahukah kalian? Terkadang bagian yang paling kita sukai dari seseorang adalah bagian yang paling jauh dari jangkauan. Dalam kasus Risha, ia sangat menyukai Falco yang sedang serius, tapi di saat itu pula Falco tidak menganggapnya ada. Ada kepahitan dalam senyum Risha, entah sampai kapan ia harus menyimpan rasa dalam himpunan kosong. Dalam kepala Falco seolah tidak pernah mempertimbangkan Risha sebagai seseorang yang lebih dari teman.
Tiba-tiba Falco menutup bukunya dan beranjak dari tempat duduknya. Ia mengembalikan buku tersebut ke tempatnya semula. Sementara itu mata Risha terus mengikuti gerakannya, hingga Falco mengambil buku di rak yang lain dan membawanya ke meja petugas perpustakaan. Falco meminjam buku tersebut untuk dibawa pulang. Risha menghela napas berat saat Falco keluar dari ruangan perpustakaan.
Mata Risha kembali menangkap bayangan trio Nara-Liana-Aditya saat ia akan mengikuti Falco pulang. Ia memperhatikan Liana dan Aditya yang sibuk berdiskusi tetapi tak mengacuhkan Nara, seolah Nara hanya patung artistik di pojok ruangan yang indah tapi tak ada yang peduli. Tidak tega juga Risha melihatnya.
"Udah lama belajarnya?" sapa Risha sambil duduk di samping Nara. Nara menoleh dan mendapati Risha tersenyum padanya, entah bagaimana ia pun ikut tersenyum saat melihat Risha. Rasanya seperti seseorang baru saja memindahkan batu besar dari punggungnya.
"Dari mana aja sih? Ditungguin dari tadi." Nara pura-pura marah. Risha cuma nyengir.
"Lo ngajak Risha juga?" tanya Liana.
"Why not?" tanya Nara balik sambil mengangkat alisnya.
"Ya nggak papa sih," jawabnya dengan nada kecewa.
Nara mengangkat bahu. Selanjutnya Liana kembali sibuk berdiskusi dengan Aditya, sedangkan Nara kini punya teman diskusi, Risha. Beberapa kali Risha dan Nara sibuk berdebat hingga ditegur petugas perpustakaan. Mereka berdua hanya tenang sejenak tapi kemudian kembali berdebat. Aditya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka berdua, sedangkan Liana hanya bisa menatap cemberut ke arah mereka.
---
Risha sedang asyik nonton drama Korea di komputer ruang belajarnya ketika bel rumahnya berbunyi. Kedua orang tuanya sedang menonton televisi di ruang tengah.
Mama Risha setengah berteriak, "Sha, bukain pintunya!" Risha mendesah karena ia harus mem-pause saat sedang seru-serunya. Risha melihat jam dinding, jam setengah tujuh. "Ck, siapa sih jam segini ke rumah orang?" gerutunya sambil beranjak dari tempat duduknya.
Risha bengong saat membukakan pintu rumahnya. Di depannya berdiri seorang remaja dengan tas ransel menggantung di punggungnya. Ia tersenyum jahil pada Risha.
"Ngapain lo ke sini?" sambar Risha tidak ramah. Beberapa kali Risha menengok ke dalam rumah, khawatir ada yang keluar.
"Belajar lah, besok kan ujian Kimia."
"Terus?" Risha masih nyolot.
"Ya lo kan pinter Kimia."
"Kata siapa?"
"Deni. Dia bilang nilai Kimia lo yang paling tinggi di kelas waktu ulangan harian sama UTS." Risha mendecak.
"Terus, gimana bisa lo ke sini?" tanya Risha masih galak.
"Gue nanya Falco, langsung dikasih tau," jawabnya ringan. Risha kembali mendecak.
"Siapa, Sha?" Risha terlonjak karena tiba-tiba sudah ada ayahnya di belakang pintu.
"Te-temen Risha, Yah. Mau belajar bareng katanya," jawab Risha gugup. Nara tersenyum miring sambil mengulurkan tangannya pada ayah Risha untuk bersalaman.
"Nara, pacarnya Risha, Om." Nara memperkenalkan dirinya dengan senyum percaya diri. Risha menoleh sambil melotot, tapi tak dipedulikan Nara.
"Pacar?" Ayah Risha mengangkat sebelah alisnya kemudian menoleh pada Risha. Risha berusaha tersenyum dengan menampakkan gigi putihnya.
"He... he... he... Baru jadian kok, Yah." Risha canggung.
Ayah Risha akhirnya menyuruh Nara masuk ke dalam rumah. Risha mengajak Nara ke ruang belajarnya. Ruang belajar tersebut berada di samping ruang tamu dan berseberangan dengan ruang tengah. Ayah Risha dapat mengawasi mereka berdua dari ruang tengah karena pintu ruang belajar Risha tidak pernah ditutup.
"Ngapain sih lo pake bilang kalo lo pacar gue segala?" Risha kembali memarahi Nara saat dirasa ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka.
"Biar kita nggak backstreet, Yang," jawab Nara santai sambil senyam-senyum.
"Apa sih lo? Geli banget tau nggak?" Nara hanya tertawa. Entah sejak kapan ia merasa terhibur saat melihat Risha sebal.
"Gue udah nebak kalo lo takut ketauan sama ortu lo. Tiap mau gue anter lo selalu nolak pake alasan macem-macem." Nara tertawa.
"Jadi lo ke sini emang sengaja mau ngasih tau ortu gue kalo lo pacar gue?"
"Gitu, deh." Risha membuka mulutnya tak percaya. Menyesal sekali ia mau jadi pacar cowok ini. Sama sekali tidak tahu terima kasih, padahal ia sudah banyak membantunya. Tapi ini balasan Nara padanya? Sungguh sulit dipercaya.
"Ya kan gue perlu kenalan sama calon mertua," tambah Nara dengan senyum jahil.
"Ati-ati lo ya kalo ngomong. Ntar kualat lo. Kejadian beneran baru tau rasa lo." Risha memasang wajah serius.
"Gue becanda kali, Sha. Gue beneran mau belajar. Nih!" Nara menunjukkan tas punggungnya yang berisi buku pelajaran.
"Tapi...." lanjut Nara.
"Tapi?"
"Tapi sekalian ngerjain lo dikit lah." Risha langsung memukulinya dengan buku pelajaran sedangkan Nara hanya tertawa.
Malam itu mereka habiskan dengan berlatih soal-soal dari buku Kimia dan dari guru mereka. Guru Kimia mereka berbeda dan kebetulan yang membuat soal ujian adalah guru Kimia Risha sehingga Risha dapat memberi tahu kisi-kisi soal yang mungkin keluar. Nara pulang dari rumah Risha jam sembilan malam setelah berpamitan dengan ayah dan mama Risha.
---
Risha sedang menonton movie yang baru ia download saat bel rumahnya berdering. Risha segera beranjak sebelum mamanya berteriak dari dapur untuk menyuruhnya membuka pintu. Saat Risha membuka pintu, ia mendelik, "Ngapain lo ke sini lagi?"
---
KAMU SEDANG MEMBACA
PRETENDING
Teen FictionRisha cuma pura-pura jadi fans Nara supaya punya banyak teman perempuan. Risha tidak ingin masa-masa SMA-nya berakhir seperti masa-masa SMP-nya yang tidak punya teman karena ia memiliki selera yang berbeda dengan teman-temannya. Karena sebagian besa...