DUA PULUH DUA: SADAR

3 1 0
                                    

Sejak tadi Nara terus memandangi ponselnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Risha. Seminggu ini Risha tampak dingin padanya dan hanya bicara seperlunya saja padanya. Ia tidak tahu apa salahnya hingga Risha tiba-tiba seperti sedang marah padanya. Tapi rasanya ia tersiksa karena tidak bisa bebas bercanda dan berbicara seperti biasanya pada Risha. Ia bahkan merasa bahwa Risha sedang menghindarinya. Ia ingin menelepon Risha tapi ia tidak punya alasan yang tepat.

Ini hari Minggu tapi sejak tadi ia hanya rebahan di kamar. Ia ingin bertemu dengan Risha, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tidak mungkin ia membuat alasan seperti minggu lalu, ditambah sepertinya Risha sedang menghindarinya. Maka akan semakin sulit untuk bertemu dengan Risha. Nara menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, mengacak rambutnya frustasi.

Nara bangkit dari tempat tidurnya dan mondar-mandir di kamarnya sambil memegang ponselnya. Tiba-tiba ia teringat bahwa Risha sempat meminjam buku catatannya saat ia izin setengah hari karena ada keperluan keluarga. Sebenarnya Nara tidak terlalu membutuhkan catatan itu makanya ia tidak pernah menagihnya, tapi sepertinya Risha juga lupa mengembalikannya.

"Halo?" sapa Nara cepat begitu mendengar suara telepon diangkat.

"Ya?" jawab Risha singkat, tidak terdengar nada malas atau kesal seperti biasanya, tapi terasa dingin dan jauh.

"Buku catatan gue ada di elo ya?"

"Catatan?" Risha tampak berpikir. "Oh, catatan Bahasa Inggris?"

"Iya, itu, bisa lo balikin sekarang nggak? Udah selesai belum nyalinnya?"

"Udah, besok aja ya di sekolah, kan besok juga nggak ada pelajarannya."

"Gue butuhnya sekarang!" Nara mendesak membuat Risha mengernyit heran. Nara sadar bahwa Risha merasa ia aneh.

"Emm, gue mau belajar sekarang, soalnya besok mau belajar yang lainnya lagi." Nara memberikan alasan agar tidak terdengar terlalu aneh.

"Oh, gitu, oke," jawab Risha pendek, lagi-lagi terdengar dingin tapi tampaknya Risha tidak curiga. "Gue anter abis magrib ya?" tawar Risha karena hari sudah sore dan terlalu tanggung untuk keluar rumah.

"Gue aja yang ngambil ke rumah lo,"  saran Nara.

"Nggak usah, gue aja, kan gue yang minjem, lo nggak usah repot-repot."

"Nggak repot k..."

"Oke, abis magrib gue ke rumah lo ya." 

Tut.

Dan sambungan pun terputus. Risha berusaha menormalkan kembali detak jantungnya. Ia sengaja bersikap seperti itu karena ia tidak ingin Nara ke rumahnya. Jika Nara yang ke rumahnya, maka bisa dipastikan akan sulit untuk mengusir Nara, dan ia akan berlama-lama di rumahnya seperti biasanya. Sedangkan Risha sedang berusaha menghindari Nara. Ia ingin menormalkan lagi perasaannya, ia tidak ingin berharap dan berakhir kecewa, seperti kisahnya yang sudah-sudah. 

Selama seminggu ini ia cukup berhasil menetralkan kembali perasaanya. Ia merasa sudah cukup baik-baik saja, kemungkinan minggu lalu ia hanya sedang PMS, karena itu perasaannya jadi cukup sensitif, dan kenyataannya saat ini ia sedang datang bulan. Jadi jika sekarang ia harus ke rumah Nara dan bertemu dengannya, Risha rasa ia akan baik-baik saja dan bisa bersikap biasa saja seperti sebelumnya.

---

Nara sedang menunggu Risha datang ke rumahnya setelah shalat magrib. Ia bahkan sudah berada di ruang tamu sejak Risha mengirimkan pesan bahwa ia sudah dalam perjalanan. Ketika bel rumahnya berbunyi, ia segera beranjak dari sofa dan membukakan pintu rumahnya.

"Lian?" Nara tertegun karena justru Liana yang ada di depannya dengan penampilan yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Ada bekas air mata yang mengering di pipinya, dan air mata masih menggenang di pelupuk matanya.

"Ganaaa..."

Begitu melihat Nara, Liana langsung menghambur memeluk Nara. Tubuh Nara menegang. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya bisa diam tanpa bergerak melihat Liana tiba-tiba menangis sesenggukan sambil memeluk pinggangnya dan menyandarkan wajahnya di dadanya.

"Gu-gue... gue... putus sama Ditya." Liana mengucapkannya sambil sesenggukan. "Ditya..." Lagi-lagi ia sesenggukan. "Ditya... mutusin gue." Dan Liana kembali menangis, menumpahkan seluruh air matanya di dada Nara.

Tapi Nara tiba-tiba menelan ludahnya. Ia tidak lagi mendengar suara tangisan Liana. Pikirannya mendadak kosong. Risha sedang berdiri di pagar rumahnya, melihat Liana yang saat ini sedang memeluknya. Nara mencoba melepaskan pelukan Liana perlahan, tapi Liana memeluknya terlalu erat dan ia tidak mungkin kasar pada Liana, apalagi kondisi Liana saat ini sedang tidak baik.

"Gue taruh catatan lo di sini," ucap Risha dengan gerakan bibir dan tanpa suara. Ia meletakkan catatan Nara di atas kap mobil Nara yang terparkir tidak jauh dari pagar rumahnya.

"Gue balik dulu," ucap Risha lagi masih dengan gerakan bibir dan tanpa suara. Risha melambaikan tangannya sambil tersenyum. Tapi hati Nara justru sakit melihat Risha tersenyum padanya. Risha pun lalu berjalan pergi meninggalkan rumahnya. Ingin sekali ia berlari menyusul Risha dan meraih tangannya lalu menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Risha. Tapi ia tidak bisa meninggalkan Liana, dan lagi mengapa ia ingin memberikan penjelasan pada Risha? Mengapa ia tidak ingin Risha salah paham?

Nara mengepalkan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya karena tidak bisa berbuat apa-apa di situasi ini. Tapi kemudian ia mulai sadar akan semua ini. Kepalan tangannya mengendur dan ia mengembuskan napas berat. Ah, ternyata perasaannya tidak seperti yang ia kira. Ia memang menyayangi Liana, karena mereka berteman sejak lama, dan sudah lama pula menyukainya. Tapi ketika Risha hadir di hidupnya, perasaannya mulai teraduk, ia tidak lagi bisa membedakan perasaannya sendiri. Ia senang ketika bersama Risha, tapi juga masih merasa sayang pada Liana. Semula ia menyayangi Liana sebagai sahabat dan sebagai wanita, tapi perasaan sayang terhadap wanita itu telah berpindah pada Risha dan yang tersisa untuk Liana hanyalah rasa sayang sebagai sahabat. Karena itu saat ini ia tidak bisa meninggalkan Liana, tapi ia juga tidak ingin Risha salah paham.

Nara memejamkan matanya, membiarkan Liana menangis sampai puas. Dan semakin lama ia semakin sadar bahwa Liana sudah tidak ada lagi di hatinya. Ia tidak lagi menginginkan Liana. Yang ia lakukan saat ini hanyalah bentuk kebaikan kepada seorang sahabat yang baru putus dari pacarnya.

---

Risha bergegas berjalan menjauh dari rumah Nara. Ia segera memesan ojek online untuk kembali pulang ke rumah. Ia meremas bajunya di bagian dada karena merasa sakit. Dia menggigit bibirnya agar tidak menangis. Tidak, ia tidak boleh menangis di sini. Saat sampai di rumah, Risha langsung berlari menuju kamarnya. Bahkan ia mengabaikan ajakan makan malam dari orang tuanya dan mengatakan bahwa ia tidak lapar. Begitu sampai di kamar, tubuhnya langsung luruh ke lantai dan air matanya tidak mau berhenti keluar.

"Nyebelin! Ngapain sih gue nangis?" Risha berusaha mengusap air matanya dengan kedua tangannya tapi air matanya justru semakin deras. 

"Iiih, sebel! Gue benci!" Risha terus menangis sambil memaki dirinya sendiri dan memukul-mukul dadanya.

"Kenapa gue nangis?" Dan air matanya semakin menderas. "Rishaaa, ngapain sih lo nangis gini?" Ia sendiri ingin berhenti menangis, tapi ketika ia berusaha menghentikannya dadanya terasa sesak, jadi ia membiarkan dirinya untuk menangis sepuasnya hingga sesenggukan.

"Bego banget sih lo, Sha. Kan udah tahu bakal kayak gini, harusnya lho tahu batas." Risha masih memaki dirinya sendiri. "Kan udah tahu dari awal kalo dia suka cewek lain, harusnya lo lebih bisa ngontrol perasaan." Dan Risha kembali menangis menyesali dirinya sendiri. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu yang mengganjal di sana dan Risha ingin mengeluarkannya dengan cara menangis.

Setelah cukup lama menangis, ia mendengar ponselnya berdering. Ternyata Nara yang meneleponnya, ia tidak ingin bicara dengan siapa-siapa dulu saat ini. Karena jika mereka mendengar suaranya, maka mereka akan tahu bahwa ia sedang menangis, dan ia tidak ingin ada yang tahu bahwa ia sedang menangis. Jadi ia tidak mengangkat telepon dari Nara. Tapi Nara terus meneleponnya. Karena berisik, Risha mengatur mode senyap pada ponselnya. Ia letakkan ponselnya di laci meja belajarnya. Saat ini ia tidak ingin melihat apapun dan berinteraksi dengan siapapun. Risha hanya ingin tidur dan berharap besok pagi perasaannya sudah kembali seperti semula.

---

PRETENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang