7 ▪️ Dobel Apes

19 9 1
                                    


Mungkin benar kata orang, roda kehidupan itu selalu berputar. Tidak akan selalu berada diatas maupun selamanya akan dibawah.

Akan ada waktunya kita berjaya, akan ada pula waktunya kita terpuruk.

Itulah yang kini dirasakan oleh Subardi, lelaki paruh baya yang diusia senjanya justru merasa sendiri. Sewaktu mudanya, Bardi, begitu nama panggilannya, hidup bergelimang harta. Bukan dari hasil kerja keras, melainkan hasil menjual harta warisan orang tuanya. Beberapa petak tanah yang luas dijual hanya untuk menikmati kesenangan duniawinya.

Terkadang, Bardi merasa karma hidup sedang menimpanya. Dulu semasa mudanya, dia yang tidak akur dengan Adiknya, terus berusaha mendapatkan apapun yang dia inginkan, termasuk dengan merebut harta warisan yang sudah menjadi hak milik Adiknya itu.

Harta warisan yang berhasil dia rebut kemudian dia jual, dan digunakan untuk bertahan hidup beberapa tahun, sekaligus untuk menikah lagi. Sayangnya, Bardi seperti selalu mengalami dejavu. Istri-istrinya akan menggugat cerai ketika melihat Bardi sudah tak lagi memiliki uang. Hingga kini, dirinya sudah pernah enam kali menikah, namun kini dirinya harus bersiap melewati masa tuanya sendiri.

Sekarang Bardi hanya tinggal di gubuk kecil yang dulu sebenarnya ingin diwakafkan oleh orang tuanya menjadi poskamling dikampung ini. Sayangnya Bardi menolak, sehingga terpaksa warga membangun poskamling lainnya di tempat berbeda.

Saat ini Bardi sedang berada didepan sebuah makam yang nampaknya terlihat sudah lama tidak dikunjungi. Tangan keriputnya menepuk-nepuk makam yang permukaannya sudah tertutupi debu sebanyak tiga kali. Tak berapa lama kemudian disapunya untuk menghilangkan debu-debu yang menempel, serta mencabuti beberapa rumput disekitarnya.

Bardi duduk dan menaburi bunga kemudian mengucapkan doa. Makam ini adalah makam istri pertamanya, yang meninggal saat mengandung. Disinilah Bardi selalu mengucapkan keluh kesahnya ketika sedang merasa sedih.

"Sayang.. aku datang lagi.."

Bardi menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah dan air matanya bersiap tumpah sewaktu-waktu.

"Ini yang terakhir, bantu aku sekali lagi ya.."

Bardi akhirnya menangis didepan makam itu. Dia tak peduli jika ada yang melihatnya.

*

Sebuah mobil Toyota Kijang berhenti didepan rumahnya disambut teriakan dua anak kecil yang sedang aktif-aktifnya bermain. Seorang lelaki paruh baya dengan pakaian dinasnya keluar dengan wajah lelah, setelah seharian bekerja.

Muhammad Abdulloh, begitulah namanya, yang biasa dipanggil Pak Dulloh, tetapi oleh warga sekitar dipanggil Pak RT, mengingat statusnya sebagai ketua RT setempat. Sempat menyapa kedua cucunya, beliau bergegas kedalam rumah untuk mencuci tangan dan muka. Rasa lapar yang sudah tak tertahan mendorongnya untuk segera kedapur untuk makan, tanpa menunggu waktunya makan malam.

Pak RT lebih memilih makan di ruang tamu, sambil sesekali mengawasi cucunya yang sedang bermain didepan rumah. Tanpa sadar, matanya menangkap sesuatu yang sudah lama tidak diperhatikannya. Sebuah piala satu-satunya yang beliau miliki yang diletakkan diatas sebuah lemari. Piala itu adalah piala yang beliau dapatkan ketika masih muda. Saat  Kesebelasan dikampungnya mampu memenangkan turnamen sepakbola sekecamatan.

Tergerak untuk bernostalgia masa lalu, diambilnya sebuah album foto lamanya saat masih muda. Sambil tetap makan, matanya terus melihat foto-foto jadul yang membuatnya tersenyum. Jika diingat lagi, mereka semua sudah terpisah-pisah berjauhan. Ada yang merantau ke luar kota. Ada yang pindah kampung setelah menikah, bahkan ada yang sudah meninggal. Hanya Broto satu-satunya teman sebayanya yang kini masih sekampung, itupun sekarang jarang ngobrol karena kesibukan masing-masing.

Elegi 'Timur'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang