8 ▪️ Nasib..Nasib..

24 6 1
                                    

Hangatnya sinar matahari pagi selalu membawa keceriaan. Suara kicauan burung saling bersautan mengisi keheningan. Semangat pagi yang membawa harapan.

Tiga hari sudah sejak kejadian malam itu. Kondisi Pak Broto masih tetap sama, tubuhnya tak bergerak sedikitpun, semua syarafnya seperti tak berfungsi, matanya terus terbuka bak boneka. Untungnya ada Kristin, yang profesinya sebagai perawat, telaten merawat Pak Broto. Dengan bantuan Dokter kenalannya, Pak Broto terpaksa harus diinfus. Karena tubuh beliau juga membutuhkan nutrisi makanan.

Keadaan Pak Broto juga belum diketahui warga sekitar. Para penghuni kost tampak rapi menutupi keadaannya. Kebanyakan hanya tahu bahwa Pak Broto sedang sakit, makanya jarang terlihat keluar. Bahkan, Bu Yuyun, pemilik warung nasi di samping rumahnya, yang biasanya berpotensi sebagai Lambe Turah di kampung, juga belum mengetahui berita ini.

"Lo lama lama jadi mirip kek Bapak, Mas." Sapa Wahyu yang kini duduk di teras rumah.

Mirip yang dimaksud Wahyu, mungkin adalah kebiasaan Bapak yang selalu duduk santai di pagi hari sambil ngopi dan merokok.

Rio hanya tersenyum masam, dirinya merasa usianya bertambah beberapa tahun lebih cepat, saking banyaknya pikiran yang berkecamuk dibenaknya. Wajar, karena secara mendadak dipaksa oleh keadaan menjadi kepala rumah tangga secara tidak langsung, mengingat dia yang paling tua dan dianggap paling dewasa. Tak ada raut usil yang selalu menjadi ciri khasnya.

"Sejak kecil, aku selalu hidup susah. Setelah lulus SMA, dipaksa merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Namun dari beberapa tempat dimana aku merantau, baru kali ini menemukan tempat yang bisa ku anggap sebagai rumah."

"You know--Lo terlihat lebih dewasa."

"Kedengaran seperti pujian.."

"But, really.. serius--gue lebih suka melihat elo yang seperti ini--bukan berarti gue berharap kita punya masalah. Tapi terkadang emang sikap childish lo terlalu berlebihan."

Rio hanya terkekeh, "mungkin masalah memang memaksa cara pikir kita menjadi berkembang."

"Gue juga.." Wahyu yang kini duduk di sebelah Rio. "..meskipun dalam konteks yang berbeda. Keluarga gue hidup berkecukupan. Sejak kecil, meskipun gue termasuk orang berada, tapi susah dapat teman. I don't know--mereka menganggap gue dari dunia yang berbeda. Padahal kan yang kaya Papa gue. Itulah sebabnya gue nyaman disini, selain gue menemukan orang-orang yang mau berteman tulus..gue rasa disini gue merasa seperti back to home.."

Rio menarik nafas dalam, asap rokoknya terkebul, sembari menyeruput kopinya yang masih hangat.

"Aku nggak nyangka, Wahyu Sadewo yang anti sosial akan peduli sejauh ini.."

"Lo sendiri, Mas?"

"Entahlah.. mungkin kesamaan nasib."

"Bukan karena Celia?"

"Salah satunya.. aku nggak mau dia sedih. Tapi juga untuk kalian, teror itu sepertinya juga berlaku untuk kita, kamu ingat peringatan untuk Joni? Artinya, kemungkinan kita juga terancam." Rio sekali lagi menyeruput kopinya.

"Gue setuju. Kita bantu semampunya yang kita bisa."

Rio hanya membalas dengan senyuman.

*

Pak RT datang, atas undangan Rio. Beliau adalah satu-satunya teman masa kecil Pak Broto yang tersisa di kampung ini, sekaligus sahabat karibnya. Mungkin hanya Pak RT saja yang memanggil Pak Broto dengan sebutan 'Berot' karena kebiasaan kentut sembarangannya itu.

"Kasihan Broto, saya tidak menyangka dia akan seperti ini." Pak RT tampak lesu, setelah melihat keadaan teman seangkatannya.

Pak RT kini sedang duduk di ruang tamu ditemani Rio, Celia, Joni dan Wahyu.

Elegi 'Timur'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang