3 ▪️ Happy Nggak? Happy Dong..

23 9 2
                                    

"Ayo, naik Dek, Cah Ayu.."

Rio sedang mendekatkan motor maticnya dihadapan gadis cantik yang sedang menenteng tas keranjang, didepan pintu pagar masuk kostnya.

Hari ini Rio kebagian tugas menemani Celia berbelanja mingguan, pada Sabtu sore hari. Biasanya, Celia akan ditemani oleh Ningsih, penghuni kost putri yang paling dekat hubungannya dengannya. Tetapi hari ini karena Ningsih harus lembur kerja dan pulang terlambat, jadilah Rio yang diserahi tugas tersebut. Sebenarnya masih ada Wendy yang hari ini libur, tapi dia tak punya motor, sedangkan Pak Broto tak akan mengijinkan Celia berbelanja sendirian.

"Pegangan yang erat dong, Dek. Nanti jatuh gimana?" ujar Rio sesaat setelah Celia naik motornya.

Sejujurnya Celia selalu berpikiran rumit pada Rio. Lelaki itu terkadang membuatnya kesal saat tingkah lakunya mulai konyol, tetapi tidak ada rasa benci, dan malah menganggapnya seperti kakak sendiri. Apalagi Rio memang sudah seperti dianggap kakak tertua dari semua penghuni kost.

"..udah Mas. Buruan jalan!"

"Belum pegangan gitu lho.."

"Heleh, nggak usah ngebut!"

"Entar orang kira kita lagi musuhan. Duduk boncengan aja berjauhan. Biar kayak orang pacaran, mumpung malam minggu ini lho." Kekeh Rio menggoda.

Celia hanya mendengus kesal, "..buruan jalan!" akhirnya tangannya memegang pinggang Rio, walau sebenarnya hanya ujung pakaiannya saja yang dipegang.

"Ya, udah jalan ya?"

"Ih, buruan!"

"Udah bismillah belum?"

"Udah."

"Memang calon istri sholehah." Rio nyengir sendiri.

"Mas, kalo nggak jalan jalan, aku turun aja, naik angkot!" Celia mulai mengancam.

"Eh, jangan! Iya, ini jalan. Hehe.."

Diperjalanan, emosi Celia sepertinya terus diuji. Bagaimana tidak, cara Rio mengendarai sepeda motornya teramat sangat.. pelan. Celia yakin nih, kalo balapan sama siput juga pastinya mereka akan kalah. Sementara si gadis terus ngomel di belakang, si pengemudi justru makin asyik bersiul tak menanggapi omelannya.

Di perempatan lampu merah, ketika lampu menyala kuning, tanpa aba-aba mobil didepan tiba-tiba ngerem mendadak. Rio yang kaget juga spontanitas ngerem, hampir mengenai mobil didepannya, terpaut beberapa centimeter. Untung saja tidak ada kendaraan lain dibelakangnya jadi terhindar dari tabrakan beruntun.

"WOY MAS.. SEENAKNYA SAJA MAIN REM MENDADAK, SAYA KAN JADI KESENENGAN!" teriak Rio yang sontak mendapat sorotan dari orang-orang dipinggir jalan.

Pengemudi mobil yang terkaget kemudian menoleh dari balik kemudinya sembari memasang wajah bingung, "..lho kok--"

"Dapat hantaman empuk dari belakang." Rio tertawa keras, yang langsung mendapat toyoran dihelmnya dari belakang.

Pengemudi mobil yang tadinya kebingungan, kini malah ikut tertawa, setelah paham maksud Rio. "Semangat mas, malam mingguannya."

"Pasti dong.."

Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanannya tanpa hambatan.

Di pasar, mereka belanja kebutuhan bahan makanan selama satu minggu kedepan. Rio berlagak seperti pengawal pribadi Celia, seolah-olah tidak boleh ada satu orang pun yang boleh menyentuhnya. Bahkan, Celia tak diijinkan memegang belanjaan satupun, semua barang Rio yang bawa.

Mereka baru selesai belanja, dan tiba di rumah jam delapan malam. Rio berdalih jalanan mecet, Sholat Maghrib dulu di jalan, dan mampir makan malam di warung sate kambing. Alhasil, aktivitas yang biasanya hanya memakan waktu dua hingga tiga jam jadi molor hingga lima jam.

Semua hal sengaja Rio lakukan agar bisa berlama-lama dengan Celia. Kapan lagi coba, bisa berduaan apalagi malam minggu. Kalo bukan karena terpaksa, boro-boro Celia mau diajak jalan, mau diajak ngobrol aja sudah merupakan prestasi tersendiri.

Sesampai di rumah, Rio kembali mengantarkan belanjaan hingga kedalam rumah. Jika sudah berada di rumah Pak Broto, dirinya tak akan berani bertingkah, berusaha sesopan mungkin, meskipun tak melihat Pak Broto didalam rumah.

*

Ono sing teko, ono sing lungo.
Dunyo ora ono sing kuwoso kajobo sing Maha Di Pujo.
Kabeh bakal ilang nyiso cerito.
Sing digowo gur jiwo, dudu bondo.

Pitu jajar rogo sukmo.
Dalanmu agung tanpo godo.
Sawang searah searus jodo.
Sing enom dadi penebus doso.

Kuatno roso, asah rumongso.
Ra ono noto tanpo molo.
Petengmu kui nyoto.
Digdoyo kui eling-eling waspodo.

Lantunan syair itu terus bergema dipikiran Pak Broto, bahkan semalaman terdengar berkali-kali dalam mimpinya. Lantunan syair yang susah beliau mengerti maksudnya, meskipun beliau paham artinya dalam bahasa Jawa.

Sedari pagi hingga malam Pak Broto hanya duduk termenung di belakang rumahnya. Suasananya tenang, hanya terdengar suara pancuran air di kolam berisi ikan koi menemani kesendirian Pak Broto. Tempat itu seperti menjadi tempat favorit yang beliau tuju saat banyak pikiran.

Jika sudah demikian, Celia paham benar bahwa bapaknya tak ingin diganggu. Dia hanya menengok untuk mengantar makanan saja. Bahkan setelah pulang dari belanja pun, tak ada suara saling sapa.

Pak Broto masih melamun, pandangan matanya kosong kedepan, tapi pikirannya berkelana entah kemana. Di meja hanya ada dua bungkus rokok yang hampir habis isinya, asbak yang penuh dengan abu rokok, tiga gelas kopi yang sudah kosong, dan piring kotor bekas makannya.

'Mungkinkah itu dia? Jangan usik ketenangan keluargaku!'

Pak Broto hanya mampu mengeratkan giginya, jika mengenang kisah masa lalunya. Insiden yang membuatnya mengalami trauma yang mendalam.

*

"Bang, kenapa parfumnya yang kecil!" Irsan sewot begitu Rio tiba di kamar kostnya.

Tadi ketika tahu Rio mengantar Celia belanja, dia sekalian nitip beli parfumnya yang sudah habis.

"Lah.. yang penting kan merknya sama." Jawab Rio tak merasa bersalah.

"Tapi kan ini harganya enam puluh ribu, Bang!"

"Iya, kan ada tulisannya."

"Aku kan mintanya yang botol gedhe, Bang!" Irsan mulai geram.

"Alah, gambar yang kamu kirim harganya sembilan puluh tujuh ribu lima ratus, gila aja cuma sisa dua ribu lima ratus! Kamu kira biaya administrasi kantor kelurahan!" balas Rio tak kalah sewot.

"Kan udah janji dilebihin dua puluh ribu, banyak amat ambil untungnya! Enam puluh ribu kek rentenir, Bang!"

"Sabar.."

"Sabar, apanya!"

"Dengerin dulu.."

"Ini dari tadi dengerin!"

"Gini Irvan--"

"--IRSAN! Suka seenaknya ganti nama orang!"

"Hehe..lupa. Gini, kamu kan tahu Celia itu anak semata wayang Bapak.."

"Ya, terus?"

"Jadi harus diperlakukan special. Jalan kan butuh bensin, belum parkirnya, beliin sate kambing sama es cendol dawet--"

"..deritamu!"

"Ya bukan deritaku lah, orang bayarnya pakai duitmu." Rio malah cekikikan.

"Halah, preetttt!!" kesal Irsan menghentakkan kakinya, berlalu kembali ke kamarnya, berdebat sama Rio memang selalu sia-sia.

Sementara Rio justru semakin terkembang senyumannya. Malam minggu ini jadi sejarah buatnya. Pertama kali bisa berduaan dengan Celia, si gadis pujaan hatinya.

Elegi 'Timur'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang