15 ▪️ Kalung Liontin

66 4 3
                                    

Andaikan waktu dapat diulang, kita akan selalu ingin memperbaiki hal yang kita anggap buruk di masa lalu. Sayangnya waktu adalah musuh utama bagi semua manusia. Sejauh, seberat, atau sesulit apapun,kita semua tak akan pernah lepas dengan yang namanya penyesalan.

Dalam sebuah film, peran protagonis selalu berisi hal yang positif. Wajahnya sering diisi oleh pemeran yang ganteng atau cantik. Perilakunya yang baik disejajarkan dengan malaikat. Tawanya bak keindahan yang turun dari surga. Air matanya selalu dinilai sebagai sebuah kemuliaan. Kesalahannya dianggap sebagai ketidaksempurnaan manusia. Bahkan sisi gelapnya pun selalu diterjemahkan sebagai sifat yang unik.

Berbeda halnya dengan peran antagonis yang dilihat hanyalah hal negatifnya. Sekalipun pemerannya ganteng atau cantik, orang akan tetap jijik melihatnya. Perilaku yang baik akan dicurigai sebagai modus. Tawanya disamakan dengan tawa setan yang sedang mendapat teman nerakanya. Air matanya dijadikan bahan untuk menyudutkannya. Kesalahannya dianggap sebagai jati diri iblis dalam dirinya. Dan sisi terangnya pun akan diabaikan, sekalipun dia menyelamatkan banyak nyawa.

Seperti itulah takdir.

Bardi tak pernah berharap dirinya dianggap sebagai orang jahat. Seburuk apapun tingkah lakunya, akan selalu ada sisi baik dalam dirinya. Tapi apakah semua orang peduli? Tentu saja tidak.

Peribahasa, 'Karena nila setitik rusak susu sebelanga', itu benar-benar ada. Orang-orang di kampungnya hanya melihat hal buruk dari perilakunya setelah kedua orangtuanya meninggal.

Bardi kecil hidup dalam keadaan ekonomi keluarga yang kesulitan. Dia bahkan rela putus sekolah saat masih berada di Sekolah Dasar, hanya agar bisa membantu meringankan beban perekonomian keluarganya. Dia membantu kedua orangtuanya bekerja di sawah dan membiarkan adiknya bersekolah tinggi, agar mampu mengangkat derajat keluarganya.

Dari yang awalnya hanya menggarap lahan milik orang hingga Bapaknya mampu membeli lahan sendiri bahkan sampai beberapa tempat, Bardi ikut merasakan peluhnya keringat kerja keras itu. Maka tak heran, saat kedua orangtuanya meninggal, Bardi meminta lebih banyak warisan, karena dia merasa ikut andil dalam kerja keras Bapaknya.

Sayangnya, beberapa warga pendatang yang tidak mengetahui kisah awalnya banyak mencemoohnya. Ditambah lagi bahkan adiknya yang saat itu sudah berstatus PNS, dan hidup lebih baik, justru mendapat banyak pujian dan perhatian dari warga sekitar.

Jadilah, sejak saat itu Bardi yang murka bersumpah, tak akan membiarkan adiknya sendiri hidup bahagia. Apapun caranya akan dia lakukan.

"Ngapain kamu di sini, Bardi?" Tegur Pak RT, sepulang dari sholat subuh berjama'ah di masjid, secara tidak sengaja melihat Bardi sedang berdiri di jembatan sebelah Timur rumah Pak Broto.

Bardi menyalakan rokoknya, hari masih gelap, Sang ufuk belum menunjukkan batangnya.
"Mengunjungi saudaraku. Apa ada yang salah?"

"Begitukah caranya mengunjungi saudara sendiri?" Pak RT masih menatapnya dengan tatapan sinis.

"Aku punya caraku sendiri, Dulloh."

"Jangan sampai ada korban lagi, seperti tujuh tahun yang lalu!" Kali ini ada nada ancaman dalam ucapan Pak RT.

"Dulloh, Dulloh.. semua orang tahu, Tina meninggal karena kecelakaan, bukan karena aku.."

"Cih.. jangan pura-pura naif, Bardi!" Pak RT mendengus dingin.

Bardi menghela nafasnya, dia sedang tak ada niat untuk berdebat. "Bagaimanapun juga, mereka adalah keluargaku.. Aku tak akan setega itu hingga sampai mengambil nyawa.."

"Mereka juga keluargaku! Keluarga besar dalam kampung ini yang harus ku lindungi!" geram Pak RT.

Bardi tersenyum kecil, sejenak menoleh ke rumah Pak Broto, dan kemudian pergi tanpa pamit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Elegi 'Timur'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang