Prolog

9.7K 466 38
                                    

Hay hay hay!
Aku bawa cerita baru^^ ini cerita entah ke berapa aku juga lupa.
Kalian juga pasti tahu kalau ini cerita squel dari A2:)
Aku saranin kalian baca dulu A2 biar gak pusing^^

Aku berharap kalian suka sama cerita kali ini:))

Kasih vote sama komen juga😘

Happy reading and i love you<3


****

Bunyi alat medis menggema di dalam ruang rawat inap, di sana terlihat pula seorang gadis yang memiliki pasar cantik namun terkesan lugu, dia hanya terbaring tak berdaya dengan berbagai selang yang melekat di tubuhnya.

Ruangan itu begitu sunyi, bahkan hanya suara alat medis saja yang terdengar, tidak ada sanak saudara yang menemaninya. Gadis yang malang.

Cklek!

Suara pintu berdecit ketika masuk seorang perawat rumah sakit, dia memeriksa segala alat medis dan berharap gadis yang masih terbaring itu segera sadar.

Kurang lebih sudah enam bulan lamanya gadis tersebut terbaring tak berdaya, hanya alat-alat itu lah yang menopang hidupnya.

Tiba-tiba jari lenting gadis tersebut bergerak dengan perlahan membuat sang perawat cukup terkejut melihatnya. Dia segera berjalan mendekar ke arah brankar.

Mata yang tertutup rapat itu kini mulai membuka secara perlahan, bahkan sangat-sangat perlahan. Pandangannya buram namun lama kelamaan pandangan itu pun kian semakin jelas, ruangan bernuansa putih itulah yang pertama kali menyapa penglihatannya.

"Mbak? Mbak butuh sesuatu?" tanya sang perawat pada gadis tersebut.

Sang gadis menatap perawat dengan mata sayunya, kesadarannya belum pulih secara sempurna.

"Mbak bisa dengar saya?" tanya perawat itu lagi. "Jika mbak bisa mendengarnya, tolong kedipkan mata dua kali!" intrupsinya.

Merasa dia bisa mendengar apa yang di katakan sang perawat, gadis itu berkedip dua kali membuat sang perawat tersenyum lega.

"Saya akan panggilkan dokter dulu, jika ada apa-apa mbak tekan tombol ini!" ucapnya dengan menunjukkan tombol di samping brankar, kemudian pergi meninggalkan kamar rawat itu.

Mata gadis itu menyusuri setiap sudut ruangan. "Gue masih hidup?" tanyanya dalam hati. Senyumnya mengembang namun sepersekian detik senyum itu luntur saat sadar bahwa dirinya bukan berada di ruang operasi.

"Sebenernya gue dimana?!" kesalnya.

Cklek!

Mendengar pintu di buka, gadis tersebut sontak menatap ke arah dua orang yang baru masuk. Mereka dokter dan juga perawat tadi.

"Ada keluhan, Rima?" tanya sang dokter sembari mengecek keadaan gadis yang bernama Rima itu.

"Saya ... baik-baik saja, dok," ucapnya dengan suara serak.

Dokter tersebut mengangguk mengerti.

"Rima!!"

Terikan dari seorang wanita membuat mereka semua menengok ke arah orang tersebut.

"Kamu sudah sadar, Rim! Tante khawatir banget sama kamu, takut kamu gak bangun-bangun," ucapnya dengan mengecek semua tubuh Rima.

"Maaf, tante siapa?"

Gerakan wanita tersebut sontak terhenti. Dia memandang Rima dengan pandangan bingung, "gak lucu ya, Rim. Kamu gak usah ngelawak, kamu gak ada bakat!" sewotnya.

Rima hanya mampu menatap dia dengan bingung, "tapi saya beneran gak kenal tante,"

"Dok! Kenapa sama keponakan saya?! Dokter yang bener dong! Cek sekali lagi keadaannya, saya bayar mahal di sini bukan buat dokter leha-leha ya!" kesalnya membuat dokter tersebut mengangguk cepat.

Sang dokter kembali mengecek di bantu perawat, namun hasilnya tetap sama, semuanya terlihat normal.

"Saya baik-baik aja, kenapa kalian pada ribut?" tanya Rima dengan malasnya.

"Kamu tadi pura-pura ya, Rim?" selidik tantenya.

Rima memutar bola matanya jengah, harus berapa kali dia berbicara? Dan apa tadi, Rim? Jelas-jelas dia bukan Rima.

"Plis ya tante, saya gak kenal sama tante, dan nama saya bukan Rima, tapi Abel Feranika!" jelasnya membuat mereka semua bingung.

"Loh dok! Keponakan saya kenapa bisa lupa namanya sendiri?!" sewotnya pada dokter.

Dokter tersebut mengusap tengkuknya bingung, kemudian berdehem. "Sepertinya Rima mengalami amnesia, separuh ingatannya mungkin hilang akibat meminum racun-"

"Apa?! Saya minum racun?! Yang bener aja dok, meskipun hidup saya sengsara, gak pernah kepikiran buat bunuh diri dok! Gila," sela Rima atau yang katanya Abel itu.

Tante dari Rima menatap keponakannya prihatin. "Kayanya emang bener dia amnesia dok,"

Dokter tersebut mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. "Kalau begitu kami undur diri, jika ada apa-apa ibu bisa memberitahu kami. Permisi!" pamitnya dan tante itu mengangguk mengerti. Sang dokter pergi di susul oleh perawat di belakangnya.

"Tante?"

"Ada apa, Rim? Butuh sesuatu?" tanyanya dengan suara lembut.

"Bisa bantu aku ke kamar mandi?" tanyanya yang di balas dengan anggukan singkat. Tante dari Rima pun membantunya menuju kamar mandi.

Setelah sampai di kamar mandi, Rima atau Abel itu kini hanya mampu termenung mengingat kejadian-kejadian aneh tadi.

Deg!

Jantungnya seakan berhenti berdetak saat dia menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin. Itu ... bukan wajahnya, apa dia oprasi plastik sampai berubah seperti ini? Pikirnya. Namun dengan cepat dia menggeleng, itu terlalu konyol.

Atau ... transmigrasi?!

"Gak mungkin?!" teriaknya dalam hati.

Bersambung .....

Second Life (Sequel A2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang