05

4.9K 353 45
                                    

Hay!

Kangen gak?

Maaf ya udah buat kalian nunggu:(

Jangan terlalu berharap banyak sama cerita ini ya:)

Jangan lupa vote+comen yang banyak biar aku seneng^^

Selamat membaca dan i love you<3







***



Dua hari berlalu, berarti sudah tiga hari Abel berada di dalam tubuh Rima, semuanya baik-baik saja, kecuali Abel belum pernah melihat sosok orang tua dari Rima, dengar-dengar dari tante juga pembantu Rima bahwa orang tua Rima pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan.

Malang sekali nasib Rima, Abel pun merasa kasihan dengan nasib dia, tidak dapat di pungkiri bahwa dulu dia juga merasakan apa yang Rima rasakan, tapi di sini bukan lagi Rima, tapi Abel. Dia tidak akan perduli pada orang yang tidak perduli padanya juga.

"Non, pak Rudi sudah menunggu di halaman," ucap Tiwi-IRT di rumah Rima atau bisa di sebut keponakan dari Bi Ratih.

Abel mengangguk sebagai jawaban, dia segera mengambil ransel dan memakainya. Mari kita ulas bagaimana penampulilan dari Abel. Baju seragam kebesaran, rok di bawah lutut dan jangan lupa, rambutnya yang di kuncir kuda, terlihat bukan Abel sekali, bukan?

Alasan dia berpenampilan seperti ini tidak lain karena dia melihat salah satu foto Rima yang berpakaian seperti ini. Meskipun dia tidak terlalu nyaman, tapi akan dia usahakan.

Langkah kaki Abel terus melangkah ke arah mobil yang sudah siap di halaman, dia bahkan tidak sarapan. Bangun pun kesiangan, Abel hanya berfikir bahwa dia sudah lulus SMA.

"Pak Rudo tolong ngebut, ya?" pinta Abel setelah menutup pintu mobil.

"Baik non," balas pak Rudi, kemudian melajukan mobilnya.

Abel melihat jalan raya yang cukup padat akan kendaraan yang berlalu lalang, hembusan napas berat tersentar darinya. Oh ayolah, harusnya dia sudah lulus sekola bukan? Padahal Abel sangat malas sekali berurusan dengan segala mata pelajaran.

Dia melirik jam yang berada di ponselnya, masih ada 5 menit sebelum gerbang di tutup. "Pak, bisa lebih ngebut lagi?"

Pak Rudi menengok sekilas, "tidak bisa non, jalanan sedang padat-padatnya saya gak berani,"

Abel hanya mampu pasrah dengan apa yang pak Rudi sampaikan, dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Abel pun telah sampai di depan gerbah sekolah Rima. Dapat dia lihat dengan jelas papan nama sekolah di atas gerbang. 'SMA BAKTIJAYA' begitulah tulisannya.

Segera dia keluar dari mobil setelah berucap terima kasih pada pak Rudi.

Abel menatap sekitar sekolah dengan bingung, gerbang sudah di tutup lalu bagaimana caranya dia masuk?

"Pak! Pak satpam bukain dong!" teriak Abel dengan mendekatkan wajahnya di gerbang.

Senyum Abel merekah ketika melihat pak satpam menghampirinya.

"Tolong bukain pak, please," ucapnya dengan senyum memperlihatkan giginya.

Pak satpam menggelengkan kepalanya pelan. "Aduh jam segini baru datang, mau jadi apa anak muda zaman sekarang. Kenapa baru datang, tumben-tumbenan mbak Rima telat,"

Abel menggaruk pipinya yang tak gatal, kemudian kembali tersenyum meringis. "Kesiangan, pak."

Pak satpam segera membukakan gerbang membuat Abel tersenyum dan menegakkan tubuhnya.

"Bapak ganteng deh," ucap Abel dengan mengedipkan sebelah matanya.

Sedangkan pak satpam hanya mampu menggelengkan kepalanya heran. "Tumben banget mbak Rima bersikap kaya  gini, biasanya mbak Rima nunduk mulu,"

Tiba-tiba suasana menjadi sangan canggung, Abel pun tak mampu membalas perkataan dari pak satpam. Dia mencoba bersikap senormal mungkin seraya berdehem pelan, "saya masuk duluan, pak. Terima kasih,"

Abel berlari meninggalkan pak satpam yang heran sendiri. Setelah merasa jaraknya cukup jauh, Abel segera berjalan dengan normal dia mencari-cari dimana kelas dari Rima.

"Eh, sorry. Lo tau dimana kelas gue?" tanya Abel pada salah satu perempuan yang lewat.

Perempuan tadi menatap Abel dengan heran. "Lo sehat? Setelah lo balik dari luar negeri ternyata lo jadi berubah ya?"

"Apasih maksud lo?" balas Abel tak kalah heran.

"Noh di sana kelas lo!" ujarnya dengan menunjuk salah satu kelas.

Abel pun segera mengangguk mengerti. "Dari tadi ke, tapi makasih," ucapnya dan berlalu begitu saja.

Meskipun merasa ada yang janggal, Abel tetap melangkah menuju kelas Rima.

Setelah berdiri depan pintu kelas, dia segera memegang kenop pintu dan membukanya secara perlahan.

"Rima? Ngapain kamu di situ?" tanya seorang guru berkaca mata kira-kira berusia lima puluh tahunan.

Dengan susah payah Abel mencoba membentuk senyuman. "Maaf bu, saya telat."

Guru tersebut berjalan melangkah ke arah Abel dengan pandangan menelisik. "Kamu lihat ini jam berapa?" tanyanya dengan menunjuk jam di dinding. "Sudah siang, bukan? Lalu kenapa jam segini baru datang, HAH?!" teriaknya membuat semua orang berjengkit kaget termasuk Abel.

"Ma-"

"Saya tidak butuh alasan apapun, sekarang kamu berdiri di lapangan dengan hormat ke bendera!" suruhnya membuat Abel menatap tak percaya guru tersebut.

"Loh bu ..."

"Mau bantah?" potongnya.

Abel menatap seluruh penjuru kelas dan dapat dia lihat semua orang menatap prihatin padanya. Dia menghela napasnya pelan kemudian berlalu dari sana tanpa memperdulikan sopan santun.

"Mentang-mentang guru, seenaknya aja sama murid kaya gue," gerutunya dengan menghentak-hentakkan kakinya.

"Males banget gue harus sekolah lagi," lesunya dengan menendang-nendang udara.

Prak!

Abel menghentikan langkahnya ketika dia tak sengaja menendang botol pada kepala salah satu murid laki-laki yang sedang bermain bola basket.

"Woy! Punya mata gak lo?!" teriak laki-laki tersebut.

Abel menghembuskan napas malasnya, ayolah dia sangat-sangat malas berurusan dengan orang-orang.

"Gak punya mata, lo?" tanya laki-laki tadi yang kini sudah berada di hadapan Abel.

"Gue tanya, di sini yang gak punya mata siapa? Lo gak liat gue punya mata? Nih!" Dia menunjuk matanya. "Atau emang mata lo katarak?" sambungnya dengan nada merendahkan.

Tangan laki-laki itu terkepal, dia merasa geram dengan apa yang Abel katakan. "Lo ... berani sama gue?"

"Menurut lo? Kenapa gue harus takut sama lo? Lo anak presiden? Gubernur? Atau insinyur?"

Abel tertawa pelan bermaksud meremehkan, "lo makan nasi 'kan? Oh gue tau, lo pasti makan batu makannya gue harus takut sama lo,"

Darah laki-laki tadi terasa mendidih saat mendengar setiap ejekan yang keluar dari mulut Abel. "Asal lo tahu, gue Devon kapten basket di sini!"

Abel memalingkan wajahnya sembari memutar bola matanya malas. "Gue gak nanya,"

"Lo ..."

"Dev! Buruan ke sini, latihan udah mau di mulai!" teriak salah satu anggota basket membuat Abel dan Devon memandang ke arahnya.

Devon menatap bola mata Abel dalam. "Urusan kita belum selesai."

Lagi-lagi Abel memutar bola matanya, tidak penting pikirnya. Baru saja dia mulai bersekolah, sudah ada saja masalah. Dia juga ingin hidup tenang juga tidak ada beban yang dia pikul.

"Gini amat idup gue," gumamnya pelan dan melanjutkan langkah menuju lapangan.



Bersambung ....

Second Life (Sequel A2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang