18

1.4K 55 10
                                    

Haiii

Semoga nyambung ya huhu

Jangan lupa vote+komennya ya

Happy reading guys!!









"Nilai kamu anjlok!"

Baru saja Abel memasuki rumah tiba-tiba ucapan itu menyambutnya. Menghela napas beratnya Abel mencoba tidak memperdulikan kedua orang yang kini tengah duduk di ruang tv.

Merasa di abaikan jelas dia sangat tersinggung. "Rima!" Nada suaranya naik satu oktaf membuat langkah Abel terhenti.

Laki-laki yang tak lain adalah ayah dari Rima sontak mendekat ke arah Abel.

"Sejak kapan kamu jadi anak pembangkang? Kamu gak liat jam berapa hah?!"

Jarum jam tentu saja menunjuk angka 10 menurut Abel ini belum begitu larut tapi bagi keluarga Rima tentu saja ini sudah sangat malam.

Ayah Rima kesal sekaligus marah, dia merasa Rima tidak lagi patuh padanya. Banyak perubahan besar yang terlihat terlebih lagi dia memiliki koneksi dimana-mana tentu saja dia tahu kelakuan anaknya.

"Masih jam sepuluh," saut Abel dengan tak minat.

Kaget, tentu saja. Dengan santainya dia menjawab seperti itu di hadapan kedua orang tuanya.

"Kamu..." ucap papanya dengan begitu kesal dengan menunjuk ke arah Abel.

"Pah, aku tau aku anak kalian, kalian yang udah biayain hidup aku. Tapi bukan berarti kalian berhak ngatur semuanya!"

Wajah dari ayahnya merah padam menandakan ada kemarahan di sana namun Abel sama sekali tidak perduli. Dia ingin keadilan untuk Rima, tidak ada paksaan apa lagi aturan yang memuakan.

"Kurang ajar kamu!" Teriak ayahnya membuat Abel meringis mendengarnya.

Dia jadi merasa Dejavu dengan adegan ini, dia ingat persis bagaimana ayahnya meneriakinya namun tak dapat di pungkiri kalau ayah Abel bisa bersikap sebagai seorang ayah tidak seperti ayah Rima.

"Terserah kalian aku gak mau di atur-atur lagi," gumam Abel dan berlalu tanpa menghiraukan panggilan dari kedua orang tuanya.

"Anak itu harus di beri pelajaran," gumam laki-laki itu pada istrinya sembari memijat kepalanya yang mulai terasa pening.

Mama Rima tidak mengeluarkan suaranya sama sekali dia merasa semakin heran dengan tingkah anak satu-satunya itu, bagaimanapun dia ini ibunya jelas sekali dia bisa merasakan perubahan yang terjadi.

Malam yang cukup panjang pun kian berganti menjadi pagi yang sejuk namun tidak dengan suasana di ruang makan.

"Terima kasih bi," ucap Abel pada artnya.

Dentingan sendok dan garpu berbunyi ketika beradu dengan piring, suasana canggung begitu terasa padahal mereka adalah keluarga.

Rumah yang harusnya menjadi tempat pulang ternyata tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Cukup memilukan ketika tahu bahwa rumah ini tempat paling menyedihkan.

"Pak Abi nelpon mama,"

Kalimat itu sontak membuat Abel menatap ibu dari Rima, alisnya sedikit terangkat menunggu kata berikutnya.

"Kamu harus ikut ekschool basket!" Tegasnya.

"Kenapa?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.

"Ini bisa jadi nilai tambahan buat kamu, nilai kamu yang semakin anjlok bisa bikin posisi kamu tergeser,"

Penjelasan dari ibunya sungguh di luar dugaan, apa sepenting itu nilai dan posisi bagi mereka?

"Aku gak mau,"

Second Life (Sequel A2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang