✨17✨

3.5K 474 24
                                    



🥀__🥀

Chenle mendesah lelah, teman disebelahnya ini sangat berisik. Sejak mereka berangkat sampai tiba temannya itu tidak berhenti mengeluh.

"Diem deh wi, atau lo gue kunci dimobil ini" apakah itu bisa membuat dewi diam?? tentu saja tidak.

"Kenapa harus rumah disabilitas sih? banyak tau tempat lain. Ada panti asuhan, ada kampung pinggir kota. Kenapa harus disabilitas yang mungkin komunikasi sama lo aja susah!!" Chenle menghela nafas panjang.

"Wi, hidup gue kayak sepi tau. Gue kayak udah gak bisa mensyukuri hidup sejak bunda hilang. Gue mau cari cara biar gue bisa bersyukur lagi. Mereka ini salah satunya. Mereka lahir kayak gini bukan atas kecerobohan orang lain atau apa, tapi mereka udah lahir dalam kondisi yang bahkan mungkin mereka sendiri gak bisa nerima hidupnya. Jadi please ya? Jaga sikap selama didalam, walaupun lo gak suka ya diem aja. Gue janji ini terakhir gue ngerepotin lo karna abis ini gue mau fokus nyari bunda gue Wi" Otomatis Dewi terdiam. Chenle jarang membahas tentang bundanya selama ini. Ia bahkan tidak terlalu tau apa yang gadis kecil ini alami, namun ia tetap menghargai apapun keputusannya.

"Yaudah, ayok turun" Dewi mendahului Chenle, sekarang terlihat seperti ia yang paling bersemangat untuk kunjungan ini.

Mereka disambut oleh ibu kepala, atau lebih tepatnya mereka diarahkan untuk memasuki kantor kepala dahulu untuk laporan dan menjelaskan maksud tujuan mereka berkunjung. Mereka diberi respon yang sangat baik, ibu kepala juga menjelaskan masing-masing dari kondisi anak disini.

"Anak-anak disini totalnya ada 20 orang, kasus mereka berbeda, ada yang tuna runggu, tuna wicara, lumpuh dan cacat mental"

"Semuanya diasuh bersamaan ibu?" Dewi bertanya dengan hati-hati, seolah jika ia berbicara akan ada peluru yang menembus kepalanya.

"Tentu saja tidak, karena mereka juga butuh penanganan yang berbeda-beda, jadi pola asuh mereka juga berbeda. Setiap harinya kegiatan mereka berbeda-beda juga. Kalian mau bertemu salah satu dari mereka?" Chenle mengangguk semangat, Ia dibawa berjalan menyusuri lorong lalu berbelok menuju taman yang sangat asri, aromanya sangat menyegarkan.

"Ini namanya Bayu, dia dari umur 5 tahun disini. Sekarang umurnya 7 tahun" Lalu ibu kepala menggerakkan tangannya, memberi bahasa isyarat. Dari situ Chenle dan Dewi mengetahui bahwa anak ini penyandang tuna runggu dan wicara. Karena setelah ibu kepala menyelesaikan gerakan tangannya, Bayu tersenyum dan membungkuk.

"Itu tanda salam dari dia" Dengan buru-buru Chenle dan Dewi ikut membungkuk. Bayu tertawa, matanya menyipit, suaranya putus-putus. Untuk beberapa saat obrolan berjalan begitu saja dengan Ibu kepala sebagai perantara. Yang membuatnya terharu, Bayu mendoakannya semoga cepat bertemu dengan bunda, dan bisa meminta maaf dengan langsung. Chenle ingin menangis, Ibu kepala juga ikut mendoakannya. Hingga ada salah satu pegawai yang menghampiri ibu kepala dan berbisik.

"Udah waktunya makan siang. Disini terbiasa pegawai dulu yang makan baru anak-anak. Mau ikut? Kalian sudah baik sekali mau mengunjungi anak-anak disini dan juga menyumbang dalam nominal besar. Jadi biar Ibu menjamu kalian ya??" Keduanya mengangguk, lalu berjalan keluar taman setelah pamit sama Bayu.


"Chenle?" Kaki Chenle melekat. Ia merasa familiar dengan suara itu, dengan segera ia menoleh, pusat dunianya seolah berhenti. Bahkan ia ragu apakah ia masih bernafas atau menahannya, air matanya berlinang. Bersyukur kepada Tuhan, ia masih diberi kesempatan untuk meminta maaf, untuk memperbaiki semua kesalahannya.


"Bunda....."
















🥀__🥀



why✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang