18. The truth

235 17 0
                                    

Hidup ini bagaikan rollercoaster, semakin kau tinggi semakin rendah pula kau akan jatuh
-Adarusa-


Dug!

Malik meringis saat kepalanya terbentur sebuah balok kayu berukuran lumayan besar dari lengannya. Untung saja, tidak ada luka terbuka dan memar, hanya sedikit bengkak dan merah.

Beberapa pekerja mulai meninggalkan tempat yang menjadi sumber penompang hidup mereka. Malik hanya duduk dalam diam menatap orang-orang yang mulai menghilang dari pandangannya.

Bohong kalau bilang dia kuat setelah mendengar pernyataan dari Jinan. Nyatanya, perlahan luka-luka yang telah ia kubur dalam-dalam di hatinya sedikit terbuka. Perasaan aneh tiba-tiba saja muncul, Malik merasa seperti dijatuhkan untuk kesekian kalinya.

Sebenarnya, dirinya belum puas, Malik ingin tahu apa penyebab kebakaran itu, apa alasan orangtuanya di fitnah, dan yang lebih utama, siapa orang yang tega melakukan ini kepada keluarganya.

Julia, bahkan nama gadis itu tidak pernah sedikitpun terbesit di pikiran Malik. Entah apakah ia harus mempercayai Jinan atau orang yang sudah empat tahun membantu beban hidupnya. Lalu, jika itu memang faktanya, apa yang harus Malik lakukan? Menjebloskan gadis itu ke penjara? Sayangnya, Malik tidak setega itu.

Bulan Desember sudah menunjukkan eksistensi akhir tanggalnya, dan sebentar lagi akan genap lima tahun perjalanan Malik hingga ke titik ini. Isi kepalanya bertanya-tanya apa bisa di tahun ke-lima nanti semuanya kembali seperti sedia kala, dirinya juga orang-orang sekitarnya dapat hidup dengan semestinya.

Kedua tangannya naik untuk mengacak rambutnya yang sempat rapi, Malik tidak bisa menahannya lagi. Beberapa hari ini ia sudah sering menangis, kali ini bolehkah ia menangis lagi? Tanpa menunggu persetujuan dari siapapun, juga di temani bulan purnama yang bersinar terang, Malik kembali menangis.

Dia mulai mempertanyakan untuk apa ia hidup, untuk apa ia bertahan di dunia ini kalau saja Jinan tidak bersamanya. Kenapa ada orang yang jahat sekali hingga merusak keluarga kecilnya. Dia masih sembilan belas tahun, tapi rasanya Malik seperti sudah hidup setengah abad.

Kepada siapa dirinya harus marah? Ke tuhan? Punya apa Malik sampai berani menantang tuhan? Manusia lemah seperti dirinya hanya bisa bertahan dan berdoa.

"Ya tuhan, berikan aku kekuatan selalu agar bisa menjadi manusia yang bisa bertahan dalam setiap ujianmu."

Dengan gusar Malik menghapus jejak air matanya. Masih ada hari esok untuk kembali mengetahui fakta lainnya, air mata untuk hari ini cukup sampai disini. Karena Malik harus menyiapkan air mata untuk kehancuran selanjutnya.

"Malik."

"Eh, iya."

Seseorang yang merupakan atasan Malik datang menghampiri dirinya yang masih menikmati sisa-sisa air mata ratapannya.

"Sudah malam, pulang, adikmu pasti nungguin kamu."

Malik mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan orang itu meninggalkan tempat kontruksi yang sedari tadi mendengarkan isi pikirannya.




---

"Jinan, sudah bangun?" Bisik Malik di depan pintu kamar Jinan.

Tidak ada jawaban. Langkahnya membawanya masuk ke dalam ruangan yang terkadang sulit sekali untuk di kunjungi. Masih sama seperti dulu, keberadaan remaja itu tidak akan terlihat saat ia tidur. Tubuh bongsor nya akan sepenuhnya di sampuli oleh selimut yang tak kalah tebal. Kipas angin yang berputar sedang dan beberapa origami hasil karyanya sewaktu SMP masih tersimpan rapi. Malik juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba ia merindukan semua barang-barang di hadapannya ini meskipun bukan miliknya.

ADARUSA | Park Jisung (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang