19. Maaf, belum ikhlas

347 22 0
                                    

Sejak kapan kata ikhlas itu mudah?
-Adarusa-


Januartha Setiawan merasa hari ini adalah hari yang paling menakutkan di sepanjang hidupnya. Sungguh, ia bergetar di setiap langkahnya menuju luar kafe. Seseorang tergeletak di seberang jalan kafetaria dengan pecahan kaca yang berserakan di sekitarnya.
Ia merasa harus memastikan siapa orang itu meski menahan perih di tangannya yang melepuh karena terkejut dengan suara dentuman yang membuat air panas yang ia pegang tumpah mengenai punggung tangan pemuda itu.

Banyak orang berlarian kesana kemari mencari bantuan, Proporsi tubuh orang itu seperti ia kenal lantas, ia mempercepat langkahnya. Mengabaikan beberapa pengunjung yang baru datang ke kafetaria miliknya. Sedikit berdesak-desakan, akhirnya ia bisa melihat dengan seutuhnya wujud korban kecelakaan yang diduga berasal dari sebuah taksi.

Otaknya masih mencerna bahwa orang yang tergeletak tidak berdaya ini adalah remaja yang sangat ia kenal. Sahabat adiknya yang sering mengunjungi kafetaria dan memesan kue coklat dengan taburan meses yang banyak. Tapi kali ini, remaja yang lebih muda satu tahun dari Jun itu dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan genangan yang Janu yakin, berasal dari tubuh remaja itu sendiri.

"J-jinan."

Janu mengguncang perlahan tubuh Jinan, sayup-sayup ia dapat mendengar suara ambulans disekitarnya. Dibawanya tubuh remaja itu ke dalam pelukannya untuk diangkat kedalam mobil ambulans. Janu tidak peduli dengan darah yang mengotori apron dan kemejanya, yang ia pikirkan hanya satu, yaitu bagaimana cara agar bisa menyelamatkan nyawa Jinan.

Ia sudah lupa akan kafetaria miliknya, dan saat teringat dengan segera Janu menelpon adiknya sembari mengatur napasnya agar tidak terlihat khawatir.

"Tolong, ya. Jaga sebentar."

"Mas kemana sih?"

"Ada keperluan penting, nanti Mas kabarin lagi, pokoknya jangan ditinggal sebelum Mas suruh."

"Iyaa."

Mobil ambulans melaju dengan cepat, Janu terus mencoba merapalkan doa untuk Jinan. Hingga ia teringat dengan Malik, genggamannya pada ponsel sedikit mengerat. Ragu, apakah harus menghubungi sekarang atau nanti. Yang ia tahu, mungkin saja Malik sedang bekerja hari ini. Beberapa perawat mulai mengerubungi ambulans yang baru saja tiba. Janu sudah siap untuk menjadi wali bagi Jinan, terlebih saat melihat tubuh Jinan di dorong di atas brankar, Janu merasa bersalah pada Malik. Ia hanya takut terlambat.

Dan siang itu, untuk pertama kalinya Janu bertemu dengan Dimas. Wajahnya menatap tegas ke dirinya seolah meminta kejelasan atas apa yang terjadi. Janu baru tahu kalau laki-laki ini adalah Kakak dari sahabat Jun yang sering dipuja-puja oleh remaja itu karena ketampanannya. Dan juga baru menyadari kalau rumah sakit yang ia singgahi ini adalah tempat dimana Dimas memulai magangnya.

"Maaf, tapi bisa lo jawab pertanyaan gue tadi?"

"Ah, iya. Gue lihat dia terkapar di pinggir Jalan tadi, dan setelah itu gue bawa kesini."

"Lo tau gimana kronologi kecelakaannya?"

Janu menggeleng pelan, ia benar-benar tidak tahu karena saat itu sedang fokus dengan pesanan. Pemuda di sebelahnya menghela napas berat.

"Sudah hubungi Malik?"

Lagi-lagi Janu menggeleng, ia terlalu kalut untuk mengabari pemuda itu.

"Raka kasih tau gue, katanya Malik sama Jinan pergi jalan-jalan hari ini. Tapi, gimana bisa Malik gak ada ditempat kejadian?."

"Jinan naik taksi, dan sopir taksi nya kayaknya tadi selamat, cuma luka-luka aja. Mungkin kita bisa interogasi dia nanti."

"Sopirnya di rawat disini juga 'kan?"

ADARUSA | Park Jisung (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang