2. Selamat datang, mentari (?)

543 24 1
                                    

Ada banyak ribuan kata di dunia ini. Tapi aku hanya ingin mengatakan "aku menyayangimu"
-Adarusa-

Ada banyak alasan mengapa beberapa manusia tidak menyukai musim panas, salah satunya adalah sinar matahari yang menyengat menimbulkan kegerahan dan mungkin ada juga yang ingin janji-janji mereka terbatalkan. Tapi itu semua tidak berlaku untuk Jinandara Abbiyya, justru musim panas adalah sambutan awal yang baik. Remaja itu senang kalau sudah berada di lapangan basket meskipun cuaca sedang terik saat ini. Atau mungkin, dia punya alasan lain mengapa ia menyukai musim panas.

Meskipun begitu, ia juga tidak membenci hujan, ia selalu bersyukur seperti apa yang dikatakan Bunda dulu. "Kita gak boleh mencela cuaca, nak, mau itu hujan atau panas kita harus bersyukur, bersyukur karena kita masih bisa merasakan itu semua."

Di sisi lain Malik Daviandra juga tidak kalah senang apabila musim panas tiba, karena pekerjaannya menjadi lebih mudah. Terlebih pakaian Jinan harus kering kalau tidak bocah itu akan mendumel sepanjang hari.

Bulir-bulir keringat jatuh membasahi tanah di mana ia berpijak. Tangan yang berlapis sarung dengan noda semen yang mungkin susah dihilangkan. Malik menyeka keringat yang membutakan mata untuk memastikan siapa orang yang datang menghampirinya.

"Lik, ayo makan dulu, itu gue beli nasi bungkus buat lo," ucap salah seorang pekerja di sana.

"Eh, iya, bang makasih banyak, ya."

"Mau pulang ya lo?"

"Hehe, iya bang biasa." Malik menyengir membuat sang lawan bicara geleng-geleng kepala. "Ijin bentar, ya, bang."

"Yoi, hati-hati lu di jalan."

Kayuhan sepeda tua itu terdengar seperti lelah. Malik sendiri sudah menggunakan sepeda ini selama 4 tahun lamanya. Setelah segalanya pergi, hanya Jinandara dan sepeda inilah yang masih setia di sisinya. Sepeda ini dulu milik kakeknya itupun dia menemukannya dengan tidak sengaja saat kabur dari rumah dulu.

Memang tidak jauh letak tempat kerja dengan rumahnya, tapi dengan mengendarai sepeda ini, jauh dua kali lipat lebih mudah untuk ditempuh. Bangunan paling ujung yang dipagari oleh Bunga Bougenville adalah naungannya sejak kecil hingga masuk sekolah dasar. Masih membekas dimana Bunda selalu menyirami tanaman kesukaannya itu di pagi dan sore hari setiap berkunjung ke rumah kakek. Dan di sebelahnya ialah tempat di mana sepeda tua ini bersandar untuk mengistirahatkan rodanya.

"Jinan?"

Pintu rumah terbuka lebar, Malik berpikir bahwa mungkin saja adiknya itu sudah lebih dulu pulang darinya. Namun pergerakannya terhenti saat melihat orang lain sedang duduk di kursi ruang tamu. Jantungnya seolah berhenti berdetak, orang tersebut menoleh seiring dengan tatapan tak percaya dari Malik.

"Hai, long time no see Malik Daviandra". Senyumannya seterang mentari pada hari itu.

===

"Woy! Raka!" yang dipanggil menoleh dengan alis yang bertaut.

"Kata Leo lo abis gebukin si Hanan, ya?" Jinan sangat menanti apa jawaban sahabatnya itu. Pasalnya raka ini memang suka ngegas orangnya, tapi pasti ada alasan kenapa dia bisa hilang kendali seperti itu.

"Iya, kenapa? Mau gue gebuk juga lo?" Tanyanya dengan nada yang sewot abis, Jinan berani bertaruh kalo ia meladeni ucapan si pendek ini, bisa-bisa digebuk beneran walau awal niatnya bercanda.

"Selaww dong brader, tanya doang aelah kan kita bestai jadi harus saling berbagi cerita." Jinan sendiri sebenarnya sedikit ngeri kalau Raka sedang dalam mode maung begini.

"Tanya aja sana sama abang lo."

"Hah? Apa hubungannya sama si Malik?"

"Ya kalo semisal abang lo gak ngasih tau gue Hanan lagi balapan mana mungkin gue gebukin tuh bocah."

Seketika Jinan tak berkutik di tempatnya. Abangnya memergoki Hanan yang sedang balapan bersama anak sekolahan lain, kalau begitu apakah abangnya juga melihatnya di antara anak-anak jalanan di sana? Jinan akui kalau ia memang sering datang ke arena bukan untuk balapan melainkan karena bosan di rumah.

"Lah, si tiang tadi nanya sekarang malah bengong." Tepukan di bokong berhasil menyadarkan Jinan dari lamunannya.

" Eh anu, lo serius?"

Raka menatapnya dengan datar, "Muka gue ada tampang tukang ngibul kah emang?" Ia sendiri geram dengan bocah yang diajak bicara ini, rasanya ingin menendangnya ke ujung bumi.

"Oke kalau gitu, gue duluan." Jinan bergegas pergi meninggalkan gerbang, sementara itu Raka yang sedari tadi sedang menahan emosinya hampir memukul belakang kepala bocah itu, namun sayangnya tidak kena. Silakan ingatkan Raka untuk memukul bocah itu besok pagi.

Di tengah perjalanan Jinan terus berfikir, apakah yang dilakukannya selama ini sudah tepat atau belum. Tapi yang pasti hari ini Jinan ingin menanyakan semuanya kepada abangnya, apakah selama ini ia memata-matainya dan untuk apa ia melakukan itu semua. Perasaan tak nyaman muncul di benaknya. Seharusnya abangnya marah, kan? Tapi, mengapa semuanya berjalan seperti biasanya?

Dari kejauhan Jinan bisa melihat sang kakak yang sedang berada di depan pintu rumah, namun menghadap ke dalam rumah seperti sedang menatap sesuatu. Persetan dengan apa yang dilakukan abangnya pokoknya ia harus menanyakan semuanya sekarang juga.

"Bang!" Jinan menghentak-hentakan kakinya, kebiasaan saat ia sedang kesal.

"Jinan? Kamu baru pulang, toh, kirain tadi udah di rumah." Malik ingin menggandeng tangan Jinan untuk mengajaknya masuk, namun remaja itu menepisnya.

"Gue mau tanya, selama ini lo ngikutin gue ya!" Malik bingung dengan pernyataan tiba-tiba dari adiknya.

"Apa sih, Nan, ngikutin apa?"

"Halah, abang ngikutin aku setiap kemana pun aku pergi kan? Ngaku bang! Buktinya abang tau tentang Hanan yang balapan kemaren, udah gitu ngadu ke Raka lagi." Jinan tidak suka kalau ada seseorang yang mengadu domba temannya terlebih yang melakukan adalah kakaknya.

"Jinan, abang cuma gak sengaja lewat dari sana. Terus pas balik abang liat Raka, abang kasih tau dia biar dia bisa selamatkan Hanan dari pergaulan kayak gitu. Itu gak bagus, Nan."

Malik berusaha untuk terus memberi pengertian kepada sang adik berharap bisa paham apa yang telah dilakukan temannya itu bukan contoh yang baik. Malik juga enggan mencampuri urusan Jinan, tapi teman-teman Jinan sudah seperti adiknya sendiri dan ia tak mau mereka salah pergaulan. Dan soal mengikuti Jinan, apa benar remaja ini baru saja mengakui kesalahannya sendiri?

"Halah giliran gini aja sok belain anak orang! Alasan doang kan pasti lu buntutin gue, kan?"

Helaan napas kasar terdengar dari ruangan itu yang tampaknya sudah jengah dengan perdebatan keduanya.

"Nan, daripada lo marah-marah gak jelas kayak gitu mending lo jadi adek gue aja," ucap seseorang yang sedari tadi menyimak percakapan mereka dari ruang tamu.

Jinandara menoleh hanya untuk mendapati seseorang itu tersenyum lebar kepadanya. Senyuman itu, senyuman sang mentari.

"Kak Julia?"

Raka Putra Arjuna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raka Putra Arjuna

ADARUSA | Park Jisung (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang