4. Filosofi nasi bungkus

274 24 5
                                    

Kalau memang itu mau mu aku bisa apa?
-Adarusa-

"Halo Jinandara."

Jinan mengerjapkan mata dengan cepat untuk memastikan apa yang dilihatnya sekarang. Seorang perempuan berambut sebahu dengan setelan kemeja merah muda tengah duduk manis di ruang tamunya. Bagaimana bisa gadis itu ada disini? Yang Jinan tahu, ia sedang bersekolah di luar negeri.

"Kak Julia? Ini serius Kak Jul?"

"Iya sayang, ini kakak." Jinan berlari menghambur ke pelukan Julia. Aroma bayi dari shampoo yang sering digunakan Jinan, sudah pasti Malik yang membelikannya. Dia selalu menganggap adiknya ini masih bayi. Padahal sudah duduk di bangku SMA.

"Apa kabar Jinan?" tanya Julia.

"Baik kak, hehe." Entah mengapa Jinan merasa canggung dengan Julia padahal biasanya dia sering memalak gadis ini dan meminta hal-hal aneh lainnya.

"Julia, kamu kok bisa ada disini? Bukannya kamu lagi di luar negeri?" Malik ikut menimpali obrolan mereka.

"Gue ambil cuti liburan, Dav, pusing gue belajar terus. Lagian gue kangen banget sama Jinandara," ucapnya sembari mengelus kepala Jinan yang tengah menatapnya.

"Oh, iya, ini ada hadiah buat kamu Jinandara. Taraaa." Julia mengeluarkan sebuah kotak dari paperbag yang dibawanya. Memberikannya kepada Jinan yang sedari tadi melamun, entah ada apa dengan bocah itu.

"Aku buka, ya, kak."

Jinan membuka kotak itu dengan hati-hati barangkali ada barang pecah belah di dalamnya. Tapi ternyata ia salah, isi dari kotak itu adalah sepasang sepatu olahraga berwarna merah. Sepatu futsal yang sangat di idam-idamkan Jinan selama ini. Spontan Jinan memeluk kembali Julia dan berterima kasih karena mewujudkan keinginannya lagi.

"Kak makasih, sekali lagi makasih banyak."

"Sama-sama Jinandara."

"Kakak kok bisa tahu aku pengen sepatu futsal?"

"Apa sih yang gak kakak tau tentang kamu," kata Julia sambil mencubit hidung Jinan.

Malik sendiri sudah masuk ke dalam rumah. Ia tidak mau mengganggu adiknya yang sedang bahagia. Jinan itu suka marah kalau diganggu saat bersama Julia. Jadi, Malik lebih memilih pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang Jinan. Nasi bungkus yang ia bawa dari tempat kerjanya adalah makan siang sehari-hari Jinan. Malik tidak pernah memakannya di sana, selalu ia bawa pulang mengingat adiknya juga pasti lapar.

Apabila Jinan makan tidak habis, barulah ia akan memakan sisanya. Selalu seperti itu.
Malik akan selalu mengatakan hal yang sama, "Jinan ini buat kamu, abang udah makan tadi di sana. Kalau gak abis jangan dibuang, ya."

Mungkin kedengarannya seperti ia mengharapkan sisa makan adiknya. Tapi itu memang benar, sebab ia harus menghemat pengeluaran hanya untuk makan sehari-hari. Perutnya dibiarkan kosong di siang hari demi menanti sisa suapan di malam hari.

"Jinan, makan dulu," panggil Malik kepada Jinan yang asik bersenda gurau dengan Julia.

"Kak, aku makan dulu, ya." Jinan beranjak dari duduknya, namun tangannya dicekal oleh Julia.

"Makan sama kakak yok, kita makan diluar. Kamu ganti baju dulu kakak tungguin. Buruan sana," ucapan Julia membuat Jinan terdiam beberapa saat.

"Oke, deh aku ganti baju dulu, ya, kak." Ia berlari kecil menuju kamarnya sehingga membuat Julia merasa gemas.

"Jinan makaaann," teriak Malik dengan langkah menuju ruang tamu. Tak ada eksistensi adiknya di sana, hanya Julia yang asik menatap sekeliling rumahnya yang tidak terlalu besar.

ADARUSA | Park Jisung (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang