Malam ini, malam di mana Maurin mengadakan pesta ulang tahun, dia terlihat sangat murung. Padahal, dia sudah nampak begitu cantik dengan dress yang ia gunakan.
Di balkon kamarnya, dia menatap ke arah kolam berenang di rumahnya yang sudah dihias sedemikian rupa.
Mama dan Papanya juga sudah pulang sejak siang pagi tadi. Mereka juga yang mempersiapkan kekurangan ini semua.
Maurin menunduk, menatap ponselnya yang kini menunjukkan room chat dengan Elang.
Maurin sudah menghubunginya sedaritadi. Namun, tak ada satupun chat darinya yang dibalas.
"Sayang, temen-temen kamu sudah mulai berdatangan. Ayo ke bawah sekarang."
Maurin menoleh, dari arah kamar berjalan menuju balkon, seorang wanita cantik yang terlihat awet muda tersenyum tulus pada Maurin.
Namanya Shanna—Mamanya Maurin. Umurnya 40 tahun. Memiliki rambut hitam dengan panjang sepunggung. Dia sangat manis.
"Anak Mama kenapa?" tanya Shanna seraya menyentuh dagu Maurin dan membawanya untuk menatap ke arahnya dengan lembut.
Maurin menatap Mamanya dengan wajah murung. Gadis itu tidak menjawab. Namun, tatapannya malah beralih pada balkon kamar milik Elang di seberang rumahnya.
Shanna ikut menatap ke arah sana. Wanita itu tersenyum kala mengetahui asal muasal wajah murung Maurin. "Elang gak mau datang lagi?" tanya Mamanya.
Maurin mengangguk. Dia menunduk kembali menatap room chatnya dengan Elang.
"Maurin sedih, hm?"
Maurin lagi dan lagi mengangguk.
Akhirnya, Shanna memilih merangkul bahu putrinya dan merapikan rambut Maurin yang tidak ikut terikat. Wanita itu tersenyum lagi. "Elang juga pasti sedih kalau tau sahabatnya murung kayak gini."
Tak ada reaksi apapun yang Maurin tunjukan. Shanna menghela napas. Wanita itu akhirnya memilih melepas rangkulannya pada Maurin dan beralih menggenggam tangannya. "Yaudah, Mama tunggu di luar, ya. Jangan lama-lama di sini. Kasihan temen-temen kamu udah pada dateng."
Maurin mengangguk lagi. Setelah itu, Shanna melangkah pergi meninggalkan Maurin seorang diri.
Gadis itu berpegangan pada railing balkon dan menatap ke arah balkon di seberang sana. Biasanya, setiap malam, setelah dia pulang dari rumah Maurin ... Elang akan duduk di sana dan tersenyum ke arahnya.
Dia akan melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tidur untuk Maurin.
Setelah Maurin masuk, Elang akan ikut masuk ke kamarnya sendiri. Setelah lampu kamar Maurin dimatikan, Maurin juga sering melihat kamar Elang ikut mati.
Dia selalu menunggu Maurin terlebih dahulu. Dia selalu mengawasinya, dia selalu ada untuknya.
Namun, tidak untuk hari ulang tahun. Elang tidak pernah ada.
Kamar Elang menyala. Maurin yakin dia ada di sana.
"Lang, kalau lo masih gak mau bales atau telepon gue, gue habisin petasan lo yang ada di kamar gue." Maurin mengirim voice note di ponselnya pada Elang.
Centang yang semula abu-abu, kini berubah menjadi biru. Tak lama, Elang keluar dari kamarnya. Dia berdiri di seberang sana dan melambaikan tangan pada Maurin.
Maurin diam, saat Maurin hendak mengirim pesan lagi, suara panggilan telepon berdering. Pelakunya adalah Elang.
Maurin dengan cepat mengangkatnya.
"Jangan murung, dong. Masa udah cantik mukanya ditekuk, sih? Enggak lucu banget, tau."
Bibir Maurin bergetar menahan tangis. Apa Elang tidak sadar? Maurin hanya ingin Elang hadir di pestanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG [End]
Teen FictionKehidupan Elang, awalnya berjalan layaknya seorang remaja. Nongkrong, sekolah, pulang. Namun, semuanya berubah 180° semenjak hari di mana ia datang ke acara makan malam keluarga. Kejadian masa lalu yang menimpanya, ternyata belum bisa diterima oleh...