Bagian 21

2.2K 375 121
                                    

Tomi dan Sheilla berhenti tepat di depan jendela yang menampakkan langsung di mana Elang terbaring dengan berbagai macam alat medis.

Cowok itu menghela napas pelan. Andai saja kemarin dirinya bisa menentang rencana Helga dan mencari solusi atas permasalahan yang ada, mungkin, kejadiannya tidak akan seperti ini.

Mungkin juga, Elang masih terbangun dan Helga masih hidup. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Mau disesali selama apapun, takdirnya sudah begini.

Dan jika saja Tomi tidak mendengar pembicaraan Helga dan Elang di dapur saat itu, mungkin saja ... Tomi tidak akan pernah tau apa yang sebenarnya tengah Elang alami.

Tomi menghela napas berat. Dia masih belum tahu alasan mengapa Elang bisa berada di sana. Tomi juga belum tahu alasan yang membuat Helga pergi.

Galang hanya bilang, Elang masuk rumah sakit dan dirinya tidak boleh memberitahu Maurin.

Kemudian, dia juga hanya diberitahu Helga meninggal. Ketika ditanya karena apa, Galang bilang nanti dia tanyakan pada Gara. Karena, Galang juga belum tahu. Dan akhirnya, cowok itu pergi meninggalkan rumah Maurin sekitar tengah malam menuju dini hari.

"Itu ... Siapa? Elang, kan?" tanya Sheilla.

"Iya, Elang. sahabat gue. Dia juga sahabat kecilnya Maurin."

"Oh, Maurin tau dia di sini?"

"Dia baru aja kena musibah, Shei. Kasihan kalau langsung dikasih tau soal Elang," jawab Tomi.

Sheilla memicingkan matanya. Gadis itu memukul bahu Tomi dengan sekuat tenaga dan membuat cowok itu sontak menunduk menatap kekasihnya yang jauh lebih pendek darinya. "Apaan, sih?!"

"Neneknya Maurin lagi proses ngebujuk Maurin buat ikut sama dia. Rencananya, besok bakal langsung dibawa. Bahkan, bisa jadi malam ini Maurin langsung berangkat."

"Yaelah, dia aja belum ngurus surat pindah di sekolahan!"

"Heh, P'A! Dengerin pake telinga lo yang enggak pernah dikorek ini." Sheilla menarik telinga Tomi seraya berjinjit.

"Masalah pindah kayak gitu bisa diurus asalkan ada duit, sehari beres! Neneknya si Maurin tuh gue yakin duitnya enggak sedikit. Dateng ke rumah Maurin aja mobilnya beuh, kinclong bener! Apalagi ini demi kebaikan cucunya."

Tomi menepis tangan Sheilla. Cowok itu mengerutkan bibirnya sebal. "Yaudah biasa aja enggak usah marah-marah."

"Lo harus kasih tau Maurin gimana pun keadaannya. Jangan bikin lo atau siapapun nyesel nantinya."

Tomi menghela napas pelan. Akhirnya, cowok itu mengangguk. Tidak mendengarkan perintah Sheilla sama dengan dirinya harus siap di diami gadis itu selama berminggu-minggu.

Tipe-tipe cewek yang menganut, kalimat ; Cewek selalu benar.

"Tau bakalan ribet pacaran sama dia, enggak akan gue godain tuh orang pas pulang sekolah satu tahun lalu." Tomi mendengkus seraya mendumel dan berjalan menjauhi Sheilla untuk menghubungi Maurin.

Baru saja dering pertama, panggilan langsung terhubung. Tomi memejamkan matanya, bagaimana cara dia mengatakan pada Maurin?

"Hallo, Tomi, kenapa?"

"Rin, sori. Harusnya gue bilang dari tadi, tapi ... Gue bener-bener enggak enak — Anjing!" Tomi mendesis pelan kala kakinya diinjak dengan tidak manusiawi oleh Sheilla yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya.

Tomi menoleh, cowok itu menunduk menatap kekasihnya yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada. "Gak usah basa-basi!"

"Hallo, Tomi? Kenapa?"

ELANG [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang