"Sayang, ayo masuk. Udaranya dingin."
Saat ini, Maurin duduk di atas kursi roda di teras rumahnya. Sedaritadi, pandangannya lurus ke depan seolah menantikan kehadiran seseorang.
Sudah satu Minggu sejak hari di mana dirinya kecelakaan, dia tak lagi bertemu dengan Elang.
Cowok itu menghilang. Maurin juga tak pernah melihat lampu di rumah Elang menyala.
Semuanya nampak gelap. Bahkan, dia sulit sekali dihubungi. Baik ponselnya, maupun telepon rumahnya.
"Elang malu ya temenan sama cewek lumpuh kayak aku?" tanya Maurin tiba-tiba.
Shanna terdiam. Sejujurnya, dia baru saja mendapat kabar dari tetangganya ketika membeli sayur tadi pagi. Mereka bilang, Anggara—Papanya Elang maninggal satu Minggu yang lalu.
Itu artinya, tepat di mana Maurin mengalami kecelakaan.
Mereka juga bilang, kepergian Anggara diduga atas kasus pembunuhan. Katanya juga, semenjak hari itu ... Rumah milik Elang lampunya tak pernah menyala. Ada juga yang mengatakan, Elang tidak ada di rumah.
Shanna bahkan merasa bingung karena Elang sama sekali tak memberitahunya soal ini. Atau ... Karena dia merasa tidak enak karena Maurin juga tengah terkena musibah?
Shanna sudah mencoba datang ke rumah Elang tadi sore. Namun, gerbangnya digembok. Sepertinya, dia betulan tidak ada di rumah.
"Maurin, Elang enggak mungkin kayak gitu. Kayaknya, dia lagi ada urusan yang enggak bisa ditinggal."
"Tapi Elang enggak bilang apapun sama aku, Ma." Maurin menunduk menatap kakinya yang sama sekali tak bisa dia gerakan.
Bagaimanapun caranya, Shanna juga harus menemui Elang. Dia harus memastikan keadaan sahabat dari putrinya itu.
Biar bagaimanapun, dia yang selalu menjaga Maurin ketika dirinya tidak ada di rumah. Rasanya, jahat sekali jika kali ini Shanna memilih tak acuh pada Elang.
"Sekarang Maurin masuk, ya. Besok Elang pasti dateng." Shanna tersenyum mencoba membujuk putrinya.
Maurin masih diam. Akhirnya, gadis itu mengangguk menyetujui permintaan Mamanya.
Shanna tersenyum. Didorongnya kursi roda milik Maurin ke dalam rumah dan diantarkannya ke kamar Maurin yang baru.
Jika dulu gadis itu tidur di lantai atas, kini pindah di lantai bawah. Melihat kondisinya, sama sekali tidak mungkin jika Maurin bisa tidur di kamar atas.
"Kalau malam ini Elang datang, Mama bangunin aku, ya?"
"Iya, nanti Mama bangunin." Shanna tersenyum. Wanita itu membantu Maurin untuk naik ke atas kasur.
Setelah memastikan Maurin berbaring dengan sempurna, Shanna mencium keningnya dan memilih pamit keluar.
Di dalam kamar dengan suasana berbeda yang sudah Maurin tempati selama dua hari ini, dia menatap langit-langit kamar dengan pandangan sendu.
Biasanya, setiap malam dia akan duduk di koridor dan saling melambaikan tangan dengan Elang yang berdiri di koridornya sendiri.
Elang akan mengiriminya pesan. Menemaninya lewat telepon. Atau, sesekali dia menyalakan kembang api.
Maurin benar-benar merasa sedih jika Elang meninggalkannya hanya karena kondisi Maurin yang sekarang.
Karena, Elang bukanlah orang yang seperti itu. Dia tidak pernah memilih harus dengan orang seperti apa dia berteman.
Tiba-tiba, Maurin merasa haus. Gadis itu melirik ke arah meja di sebelahnya. Namun, tak ada air di sini.
Akhirnya, gadis itu meraih kursi rodanya dan naik ke atas sana dengan susah payah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG [End]
Teen FictionKehidupan Elang, awalnya berjalan layaknya seorang remaja. Nongkrong, sekolah, pulang. Namun, semuanya berubah 180° semenjak hari di mana ia datang ke acara makan malam keluarga. Kejadian masa lalu yang menimpanya, ternyata belum bisa diterima oleh...