Bagian 18

1.8K 349 78
                                    

"Mas?"

Panji menoleh. Pria itu membelalakan matanya kala mendapati Shanna yang baru saja membuka pintu kamarnya.

Wanita itu mematung menatap suaminya yang kini tak mengenakan atasan. Di sebelahnya, ada seorang wanita muda yang menutupi tubuhnya menggunakan selimut tebal.

"Shanna?"

"Ah, aku pulangnya kecepetan, ya?" Shanna tertawa pelan. Wanita itu memilih melangkah mundur kala Panji berdiri hanya dengan menggunakan celana ke arahnya.

"Na, ini ...."

"Apa?"

Panji terdiam. Pria itu berjalan lebih dekat dan meraih tangan Shanna. Pria itu menatapnya dengan tatapan kalut. "Shanna, ini enggak—"

"Enggak seperti apa yang aku lihat? Aku bukan anak kecil, Mas. Dengan ngelihat kondisi kamu sama wanita di dalem tadi, aku udah tahu apa yang kamu sama dia lakuin di belakang aku." Shanna menelan Salivanya susah payah.

"Shanna—"

"Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakuin ke Maurin Minggu lalu, Mas?" tanya Shanna.

Panji mengerutkan alisnya. "Maksud kamu—"

"Kamu pikir aku enggak tahu kamu berniat bunuh Maurin? Aku diem bukan karena aku enggak perduli sama Maurin. Aku diem, karena aku pengen tahu sejauh apa kamu bersikap kayak gini di belakang aku."

Shanna tertawa. "Dan aku rasa, Maurin juga bakal setuju kalau kita pisah."

"NGGAK!"  Panji berteriak. Pria itu mencengkeram rahang Shanna dengan kasar. "Kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Sampai kapan pun, aku enggak akan pernah izinin kamu buat pergi."

Shanna memberontak. Wanita itu berusaha menepis tangan Panji yang berada di rahangnya.

Namun, bukannya terlepas, cengkeramannya semakin erat. Matanya terasa panas menahan perih. Bahkan, air mata kini menetes di pipinya.

"Sayang, kamu gak boleh nangis." Panji mengendurkan cengkeramannya. Kemudian, tangannya terulur mengusap lembut pipi milik Shanna.

Shanna menepisnya. Dia hendak pergi. Namun, Panji lagi-lagi menarik tangannya dan mencengkeramnya dengan erat.

Pria itu menyeret Shanna menuju dapur. Kemudian, tangannya terulur meraih pisau dan dia todongkan ke arah Shanna. "Kamu kabur, pisau ini bakal nusuk kamu!"

Shanna memejamkan matanya kala dirinya disudutkan pada pintu kulkas. Ujung pisau sudah bersiap menancap pada lehernya. "Kamu enggak akan ninggalin aku, kan?" tanya Panji.

Shanna ingin menangis rasanya. Panji benar-benar seperti orang terkena gangguan jiwa.

Bahkan, ekspresinya benar-benar bisa berubah dengan hitungan detik.

Kadang tertawa, marah, sedih. Dan itu benar-benar membuat Shanna merasa dirinya tidak mengenal sosok di depannya.

"Kamu bukan cuman sakitin aku, Mas. Kamu juga sakitin Maurin. Aku enggak mau itu—"

"Nurut sama aku. Dan aku enggak akan perlakuin kamu sama Maurin dengan kasar—"

"Kamu berperilaku lembut, terus selingkuh secara terang-terangan?! Itu sama aja kamu sakitin hati Maurin, Mas! Aku enggak mau! Kesehatan anak aku lebih penting daripada mempertahankan kamu!" Shanna berteriak. Namun setelahnya, dia memekik kala pisau itu menancap tepat di lehernya.

Shanna memejamkan matanya. Rasanya begitu sakit, bahkan, tubuhnya kini melemas kala mendapat tusukan tanpa aba-aba itu.

"S-sakit—"

ELANG [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang