Bagian 23

5.1K 517 207
                                    

Lampu ruang operasi mati. Gara, Galang, dan juga Tomi sontak menatap ke arah pintu dengan detak jantung yang tak beraturan.

Ketiganya berjalan cepat menghampiri kala pintu itu terbuka menampakkan seorang Dokter yang masih mengenakan seragam oprasinya.

"Dok, Elang enggak papa, kan?" tanya Tomi berharap.

Dokter menghela napas pelan. Dia tersenyum kecut, tangannya terulur menepuk pundak Tomi beberapa kali. "Temen kamu udah enggak papa."

Ketiganya mematung.

Ucapan Dokter itu tentunya begitu ambigu bagi mereka. Tomi terdiam kaku, matanya menatap ke arah Dokter dengan mata yang sudah terasa panas. "M-Maksudnya, Elang selamat kan, Dok?"

"Kami sudah melakukannya dengan semaksimal mungkin. Tapi, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pasien sudah menghembuskan napas terakhirnya."

Gara mendongak seraya mengigit bibir bawahnya. Tangan kanannya dia pakai untuk menutup matanya yang kini memanas bersiap menumpahkan air mata.

Galang berjongkok, menunduk dengan tangan kedua telapak tangan yang dia pakai untuk menjambak rambut bagian belakang. Dia menangis.

Tomi masih diam. Dia tertawa dan menggeleng, namun air matanya sudah jatuh melewati pipinya. "Gak mungkin, Dok, tolong jangan bercanda. Elang itu kuat, dia gak mungkin nyerah gitu aja!"

"Dok, bilang sama saya. Elang baik-baik aja, kan?" Tomi mendorong bahu Dokter yang terdiam di tempatnya. Kemudian, dia menerobos masuk ke dalam ruang operasi.

Di sana, Elang terbaring. Alat medis ta lagi terpasang di tubuh Elang. Suster yang sedang mengurusnya sontak menoleh ke arah Tomi.

"Lang, anjing lo, ya! Bangun, bangsat!" Tomi berjalan cepat dengan air mata yang mengalir. Kedua tangannya terkepal erat.

Mata Elang terpejam, bibirnya tersenyum, kulitnya pucat.

"Lang, bangun!"

"Lang—" Tomi menunduk.

Percuma. Percuma dia berteriak. Elang benar-benar sudah pergi.

Tomi menoleh ke arah wajah Elang. Dia terlihat tenang, luka di sekitar tubuh dan wajahnya masih menimbulkan bekas.

"Kenapa lo milih buat pergi, Lang?" tanya Tomi.

"Kenapa lo gak mau bertahan di sini? Lo masih punya gua."

Galang dan juga Gara masuk. Keduanya menatap Elang yang sudah tertidur dengan damai.

Melihat bekas luka di bagian tubuh dan wajahnya, Galang mengepalkan tangan erat. "Ini jalan terbaik buat Elang, Tom," kata Galang pelan.

"Ikhlasin. Ayo kita keluar, biarin suster sama Dokter buat urus Elang sebelum diistirahatkan." Setelah mengatakan itu, Galang memilih berlalu pergi.

Dia benar-benar tidak kuat jika harus melihat Elang berlama-lama. Galang tidak mau menangis di depan Elang. Dia tidak mau Elang merasa berat untuk melangkah pergi.

Gara menepuk bahu Tomi dan mengajaknya untuk keluar. "Biar gue yang urus buat pemakaman Elang," kata Gara.

"Lo di sini sama Galang, ya."

Dengan langkah lemas, Tomi berjalan mengikuti Gara untuk kembali keluar.

Setelahnya, Gara pergi. Jauh dari dalam lubuk hatinya, Gara merasa gagal menjaga Elang. Bahkan, dia sama sekali belum meminta maaf atas apa yang diperbuat oleh Papanya.

Tangannya mengepal erat. Sepanjang perjalanan, Gara menunduk.

Ketika sampai di parkiran, Gara membuka ponselnya. Cowok itu mencoba menghubungi Maurin sekali lagi.

ELANG [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang