Bagian 14

2K 373 141
                                    

Jam 6 pagi, setelah Elang pulang ke rumah untuk bersiap berangkat sekolah, Elang menyempatkan diri mengunjungi Haikal.

Biar bagaimanapun, Elang harus memberitahu Abangnya perihal kepergian sang Papa satu Minggu yang lalu.

Di depan kamar yang sudah ditempati Haikal selama bertahun-tahun, Elang berdiri mematung.

Dia benar-benar tidak siap untuk masuk ke dalam sana. Berbicara dengan Haikal, dan Elang yakin ... Endingnya Elang akan keluar dengan wajah babak belur seperti biasanya.

Elang memejamkan matanya. Siap tidak siap, Elang harus memberitahu Haikal.

Akhirnya, kaki milik Elang melangkah masuk. Di dalam sana, Haikal tengah duduk dengan tangan yang memegang garpu di tangannya.

Di depannya terdapat makanan sebagai teman sarapan. Ada dokter Amanda juga di sana.

"Bang," panggil Elang pelan.

Haikal menoleh cepat. Dia yang awalnya tersenyum lebar mendadak menatap Elang dengan sorot mata tajam. "Ngapain lo ke sini?!" Haikal berdiri. Tangannya mengacung garpu ke arah Elang.

Ketika Dokter Amanda hendak menghalanginya, Elang mengangkat satu tangannya memberi kode untuk dia tidak melakukan hal apapun.

Elang menjatuhkan kedua lututnya ke lantai. Dia menunduk tepat di hadapan Haikal. "Bang, maaf Elang enggak bisa jaga Papa dengan baik."

"Pergi dari sini! Gue enggak sudi didatangi sama pembunuh kayak lo!" Haikal memukul punggung Elang berkali-kali.

Namun, Elang sama sekali tak goyah. Dia masih bertahan di tempatnya. "Papa meninggal, Bang," ucap Elang.

Pukulan Haikal mendadak berhenti. Dia terdiam mematung menatap punggung Adiknya.

Namun, setelahnya, dia menggeleng kuat. "ENGGAK! GAK MUNGKIN!"

"Bang, Elang serius. Elang minta maaf karena—Arghh—" Elang sontak meringkuk di atas lantai ketika Haikal menancapkan garpu pada bahunya.

"PEMBUNUH!" teriak Haikal. Air mata Haikal menetes. Namun, dia sama sekali tak ada niatan untuk menghentikan aksinya.

Di saat itu juga, Dokter Amanda memanggil petugas untuk menahan pergerakan Haikal.

Elang masih meringkuk. Darah kini sudah membasahi seragam sekolahnya.

Elang meringis. Matanya terpejam kuat merasakan sakit yang begitu luar biasa.

"Lo denger ya, Anjing! Setelah bunuh Mama, dan masukin gue ke tempat orang gila ini, jangan pernah berpikir buat bunuh Papa juga! Gue yang bakal bunuh lo duluan!" Haikal terus berteriak ketika dirinya sudah ditarik oleh beberapa petugas.

Dokter Amanda menunduk, dia menyentuh lengan Elang dan membantunya untuk berdiri. "Lang, berapa kali aku bilang, jangan gegabah buat ketemu sama Haikal."

Namun, Elang justru mengabaikan ucapan Dokter Amanda. Teriakan Haikal di dalam sana masih membuat hatinya terasa sedih.

Haikal satu-satunya keluarga yang dia punya. Namun, sedari dulu ... Sesering apapun Elang menengoknya, Haikal tak pernah menerima kehadiran Elang.

Dia selalu menganggap Elang sebagai pembunuh Mamanya. Padahal, dia tahu betul kejadiannya seperti apa.

"Apa ... Bang Haikal bisa sembuh?" tanya Elang. Matanya menyorot kehampaan yang selama seminggu ini hinggap di hatinya.

Dokter Amanda tersenyum dan mengangguk. "Lang, Haikal pasti sembuh. Dia udah bisa ketawa. Kamu bisa lihat sendiri, kan?"

"Ketawa di depan Dokter. Tapi enggak di depan gue. Kapan gue sama dia bisa jadi Adik Abang yang selayaknya? Gue bener-bener kangen sama dia, Dok." Elang menunduk.

ELANG [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang