Sudah hampir satu jam, namun Dokter tak kunjung keluar. Setelah sampai rumah sakit, ketika tubuhnya terasa lemas, Elang langsung menghubungi Shanna—Mamanya Maurin, dan memberitahu kejadian yang menimpa Maurin.
Shanna langsung bergegas kemari. Wanita itu datang sendiri. Dan kini, di kursi koridor ... Elang dan Shanna duduk seraya menatap cemas pada pintu ruangan yang masih tertutup.
Elang sudah membersihkan darah di tangannya. Dia tidak mau Shanna cemas perihal luka kecil yang terjadi pada dirinya.
"Lang, kamu mendingan pulang dulu. Bersih-bersih. Kalau ada apa-apa sama Maurin, Tante pasti kabarin."
Elang diam beberapa saat. Namun detik selanjutnya, dia menggeleng. "Enggak, Tan. Elang mau nunggu Maurin."
"Lang, kamu kelihatan capek. Nurut sama Tante. Maurin pasti gak papa." Tangan Shanna terulur mengusap puncak kepala Elang layaknya seorang Ibu.
Elang lagi-lagi diam. Shanna, dia juga termasuk alasan Elang ingin selalu bersama Maurin.
Wanita itu, seperti sosok pengganti seorang Ibu di hidupnya. Biarpun Shanna jarang sekali bertemu dengan Elang karena tidak sering berada di rumah, tapi setiap bertemu ... Dia selalu memperhatikan hal-hal kecil pada Elang.
"Kalau Elang ikutan sakit, Maurin pasti sedih. Elang pulang dulu, ya. Bersih-bersih, makan, istirahat sebentar. Muka kamu pucet banget, Lang." Tangan Shanna turun membelai lembut pipi kanan milik Elang.
Akhirnya, Elang mengangguk pelan. Cowok itu beranjak dan mencium punggung tangan Shanna. "Kalau Maurin sadar, langsung kabarin Elang ya, Tan."
"Iya."
"Kalau gitu, Elang pulang dulu."
Setelah mendapat anggukkan dari Shanna, Elang memilih melangkah menyusuri lorong demi lorong rumah sakit.
Sampai akhirnya, langkahnya berhenti di samping motornya sendiri. Dia mendongak, menatap gedung rumah sakit yang menjulang begitu tinggi.
Helaan napas berat terdengar.
Elang memutuskan naik ke atas motornya dan melaju membelah jalanan yang nampak begitu ramainya.
Pikirannya melayang ke mana-mana. Segala kekhawatiran langsung menyerang begitu saja di pikirannya.
Hatinya cemas, tidak tenang, dan risau.
Rumah sakit, Elang benar-benar takut dengan gedung itu. Traumanya masih belum hilang, dia juga belum sepenuhnya percaya pada orang-orang yang berada di dalam sana.
Tidak semua orang bisa mereka selamatkan.
"Maurin kuat, Lang." Elang bergumam dengan tatapan kosongnya. Tangannya yang memegang stang motor, mengerat.
Sampai tiba-tiba, di sebuah jalanan komplek yang jarang dilewati orang-orang, Elang diberhentikan begitu saja oleh para pemuda yang tidak dia kenal.
Mereka mengenakan seragam dengan jaket yang membalut atribut mereka.
"Berhenti, berhenti!"
Elang tersadar dari lamunannya. Cowok itu sontak berhenti dan menatap orang-orang di depannya dengan heran. "Permisi, gue mau lewat," kata Elang.
"Lewat? Sini, gue kasih jalan lo buat lewat." Tiba-tiba saja Elang ditarik untuk turun dari motor.
Sontak saja motor milik Elang langsung jatuh begitu saja. Untungnya, mesin motor sudah Elang matikan, tadi.
BUGH!
Elang tersungkur akibat serangan mendadak itu.
Elang mendongak, dia masih berbaring di atas aspal. Darah sudah mengalir di hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG [End]
Teen FictionKehidupan Elang, awalnya berjalan layaknya seorang remaja. Nongkrong, sekolah, pulang. Namun, semuanya berubah 180° semenjak hari di mana ia datang ke acara makan malam keluarga. Kejadian masa lalu yang menimpanya, ternyata belum bisa diterima oleh...