Maurin tertidur. Ketika Elang menanyakan keberadaan Papanya Maurin pada Shanna, dia bilang, Papanya Maurin tengah ada urusan di luar kota. Sehingga, dia tak bisa pulang karena baru berangkat satu hari.
Dan kini, di koridor rumah sakit, Elang duduk bersama Tomi. Tomi sudah menawarkan diri untuk mengantar Elang pulang. Namun, Elang menolaknya.
Dia bilang, dia ingin menunggu Maurin di sini.
"Lang, Mamanya Maurin emang enggak sadar ya sama muka lo yang babak belur gini?"
"Udah biasa kayak gini. Bukan hal aneh."
Tomi menggaruk tengkuknya. Benar juga. Selama dia berteman dengan Elang, wajah babak belur yang ada padanya bukanlah hal aneh. Wajar saja Mamanya Maurin tidak bertanya.
Mungkin, dia mengira luka itu sudah ada sejak tadi.
"Terus soal anak-anak yang ngeroyok lo tadi, enggak ada niatan buat nyari tahu siapa dalangnya?"
"Enggak usahlah. Nyari masalah doang. Males, ribet."
"Yaudah, kalau ada niatan buat nyari tahu, gue siap 24 jam buat kawal lo. Nanti gue bawa pasukan gue."
Elang menggelengkan kepalanya pelan. Jika dirinya mencaritahupun, dia akan mencarinya sendiri. Melibatkan orang lain, sama saja memperkeruh keadaan menurutnya.
Mereka yang awalnya mengincar Elang, lama-lama pasti mengincar teman-temannya juga.
"Iya-iya. Ngebet banget lo jadi babu gue." Elang tertawa.
Tomi mendengkus. Dia beranjak dari duduknya. "Gue mau balik. Kamar kos gue seprainya banyak darah lo. Gue harus beres-beres."
"Makasih ya."
Tomi mengangkat satu tangannya. Setelah itu, dia memilih pamit pergi meninggalkan Elang sendirian di koridor.
Setelah Tomi pergi, Elang menghela napas pelan. Cowok itu menyentuh perutnya yang masih terasa begitu sakit.
Elang tidak tahu dalang dari semua ini siapa. Elang juga tidak tahu salahnya apa. Seingatnya, dia tidak pernah membuat masalah atau berurusan dengan orang-orang tadi.
Bahkan, bertemu saja baru pertama kali. Sungguh perkenalan yang sangat berkesan.
Elang berdiri. Kemudian, kakinya melangkah menuju kamar rawat Maurin.
Hal pertama yang dia lihat ketika membuka pintu adalah, Maurin yang masih terlelap di atas brankarnya.
Shanna juga tertidur. Namun, posisinya duduk di kursi sebelah brankar. Sehingga, kepalanya dia sandarkan pada lengan milik Maurin.
Melihat mereka tertidur, sepertinya ... Elang bisa pulang sebentar untuk membersihkan badannya.
Akhirnya, Elang memilih melangkah pergi meninggalkan kamar inap Maurin.
•••
"Bentar ya, Pak. Saya ambil uangnya dulu." Elang turun dari dalam taxi.
Ketika dia menapakkan kakinya pada teras, alisnya berkerut melihat pintu rumah yang sudah terbuka.
Dia lantas menengok ke arah garasi. Ternyata, Papanya sudah pulang.
Elang akhirnya memilih masuk ke dalam rumah. Namun, betapa terkejutnya Elang ketika mendapati Papanya yang terbaring tak berdaya di lantai.
"PAPA!" Elang sontak berlari mendekat. Dia bersimpuh dengan lututnya dan membawa kepala Papanya ke pangkuan.
Kemeja yang dia kenakan berlumuran darahnya sendiri. Darah mengalir di pelipis, hidung, dan sudut bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG [End]
Teen FictionKehidupan Elang, awalnya berjalan layaknya seorang remaja. Nongkrong, sekolah, pulang. Namun, semuanya berubah 180° semenjak hari di mana ia datang ke acara makan malam keluarga. Kejadian masa lalu yang menimpanya, ternyata belum bisa diterima oleh...