Bagian 12

2K 418 98
                                    

Selama satu Minggu Elang memulihkan tubuhnya. Selama itu juga dia tak memegang ponsel. Ponsel miliknya tertinggal di rumah Tomi. Dan Elang sama sekali tak ada niatan untuk membawanya.

Galang dan Gara seringkali datang ke rumahnya. Namun, Elang tak membukakan pintu sama sekali.

Seminggu yang lalu, setelah Elang ditampar oleh Neneknya, mereka sama sekali tidak mengunjungi rumah ini.

Elang menghisap rokoknya dalam-dalam. Di balkon kamarnya, dia menatap ke arah balkon kamar milik Maurin.

Gadis itu sudah pulang sejak dua hari yang lalu. Elang tahu itu, dia melihatnya di sini.

Namun, untuk mengunjungi Maurin, rasanya ... Hanya akan membuat Elang kembali merasa dirinya bersalah dan menganggap dirinya sendiri pembawa sial.

Dia benci mengakui itu. Tapi, kenyataan itu tak bisa Elang tepis.

Elang mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Selama seminggu juga, Papanya tak lagi ada di rumah ini.

Biasanya, setiap malam dia akan masuk ke kamar Elang dan memastikan apakah Elang sudah tidur atau belum.

Mereka akan berbincang sebentar, sebelum akhirnya masing-masing memilih pergi untuk tidur.

Dan sekarang, Papanya sudah pergi. Dia juga sudah tidur dengan waktu yang selama-lamanya.

Elang memilih menekan rokok yang dia pegang pada asbak. Rokok mati. Kemudian, Elang beranjak dan meraih jaketnya.

Elang mengeluarkan motor dari dalam garasi dan membawa motor itu pergi meninggalkan rumah.

Selama hampir satu jam Elang mengelilingi Jakarta. Tak ada yang membuat hatinya merasa lega.

Akhirnya, Elang memutuskan untuk berhenti di pinggir jembatan. Dia naik dan duduk di atas sana seraya menatap luasnya sungai.

"Bro, punya korek?"

Elang menoleh. Di belakangnya, seorang lelaki dengan tato di bagian lehernya memegang satu batang rokok di tangannya.

Elang mengambil korek api di saku celananya. Kemudian, dia memberikannya pada orang bertato itu.

Orang itu menerimanya dan menyalakan rokoknya.

"Lo percaya gak? Dari kecil, gue udah punya cita-cita jadi air sungai."

"Cita-cita lo aneh." Elang menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.

Orang itu tertawa. "Emang."

"Mau tau alesannya?" tanyanya lagi.

"Kalau mau cerita, gue dengerin," jawab Elang.

Dia naik ke atas jembatan dan duduk di sebelah Elang. Kini, keduanya menatap luasnya sungai yang berada tepat di bawah mereka. "Air sungai itu ngalir, satu arah. Biarpun ada batu yang ngalangin, dia tetep jalan. Maksud gue gini lho, kehidupan itu kan ngalir, ya. Nah setiap kehidupan pasti ada aja masalah, tuh. Nah, gue maunya, gue kayak sungai. Ya mau masalah gue gede, atau kecil, gue pengen terus maju buat gue hadapin. Terserah apa kata orang."

"Dan gue, mau jadi kayak air sungai yang bebas kemanapun dia pergi. Gue suka menentukan jalan hidup gue sendiri."

"Mau dengan cara salah ataupun benar, selama itu bisa bikin orang disekitar gue aman ... Gue enggak akan pernah keberatan."

Elang menoleh. Dia menghela napasnya pelan kala mendengar ucapan itu.

"Ada masalah?" tanya cowok itu. Sesekali dia menghisap rokoknya.

"Gue butuh kerjaan."

"Gue lihat-lihat lo masih anak sekolahan."

Elang diam dia menunduk menatap kembali pada air yang mengalir begitu derasnya. "Gue mau berhenti."

ELANG [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang